Kenapa Politisi Tidak Pantas Nyinyir?

Di percaya jadi Menteri pun malah tidak menghasilkan apa-apa, begitu turun dari kursi Menteri, barang inventaris pun diangkut kerumahnya.

Senin, 18 Januari 2021 | 11:20 WIB
0
214
Kenapa Politisi Tidak Pantas Nyinyir?
Foto:Lycheum.id

 "Selama rakyat belum mencapai kekuasaan politik atas negri sendiri, maka sebagian atau syarat-syarat hidupnya baik ekonomi maupun sosial maupun politik diperuntukan bagi yang bukan kepentingannya bahkan bertentangan dengan kepentingannya." (Soekarno)

Inilah yang terjadi sebenarnya, bahwa rakyat belum memiliki kedaulatan secara politik, keberadaan mereka diwakili oleh kader partai politik, tapi hak dan kesejahteraan rakyat dibawah wakilnya di parlemen.

Ketika wakil rakyat 'nyinyir' di parlemen, dan mengatasnamkan rakyat, sesungguhnya mereka tidak sedang membela nasib rakyat, yang sedang mereka perjuangkan adalah partai politiknya. Meskipun pada dasarnya mereka digaji dari uang rakyat.

Wakil rakyat itu konstruksi berpikirnya sangat konstruktif, dan intlektual, sehingga tidak pantas kalau nyinyir. Kalau mereka kritis dengan konstruksi berpikir yang positif, dan argumentatif, itu tandanya mereka sedang membela kepentingan rakyat.

Tapi ketika mereka cuma nyinyir setiap hari, selalu berpikir negatif, itu pertanda mereka sedang mempersiapkan panggung, agar mereka selalu dibicarakan media, meskipun apa yang dibahasnya hal yang tidak produktif, bahkan cenderung provokatif.

Rakyat menempatkan wakilnya di Parlemen untuk hal-hal yang berguna bagi kepentingannya, bukan menjadikan parlemen sebagai panggung untuk menyuarakan kepentingan politik partai atau pun pribadi.

Suara wakil rakyat adalah suara rakyat, dan suara rakyat adalah suara Tuhan. Tidak ada alasan sama sekali wakil rakyat hadir di parlemen cuma untuk nyinyir yang tidak produktif. Tidak pantas wakil rakyat nyinyir, aspirasi yang disampaikan haruslah sesuai dengan kapasitasnya.

Rakyat pantas nynyir terhadap wakilnya yang tidak produktif di parlemen, karena rakyatlah mereka bisa duduk di parlemen, bukan karena partai politik. Partai hanyalah sarana untuk masuk ke parlemen, tanpa dukungan rakyat tidak mungkin bisa duduk di parlemen.

Apa yang dipertontonkan Andy Nurpati baru-baru ini adalah sesuatu yang memalukan, begitu juga apa yang di perlihatkan Ribka Tjiptaning. Andy Nurpati bicara tentang Risma tanpa memasang mata dan telinganya, hanya sekadar nyinyir untuk memuaskan pimpinan partainya.

Begitu juga dengan Ribka, bicara dengan meletup-letup, seakan-akan hanya untuk memuaskan kepentingan pribadi dan sakit hatinya. Apa yang dipertontonkan adalah cerminan kualitas diri mereka sendiri.

Ada juga politisi yang sangat membanggakan gelar S2, dan almamaternya, tapi kualitas dan kapasitasnya, sama sekali tidak mencerminkan kualitas gelar, dan kampus almamaternya. Karena apa yang selalu dia nyinyirkan, tidak sama sekali mencerminkan bobot intlektualitasnya.

Di percaya jadi Menteri pun malah tidak menghasilkan apa-apa, begitu turun dari kursi Menteri, barang inventaris pun diangkut kerumahnya.

Baca Juga: Gara-gara Ribka Seorang Rusak Susu Sebelanga

Kalau saja mereka tersebut sadar terhadap kapasitas intlektual yang dimiliki, mereka akan menjaga marwah jabatan seorang wakil rakyat, dan akan hati-hati dalam mengeluarkan pernyataan, karena suara mereka adalah suara rakyat.

Tapi, ketika rakyat merasa mereka tidak mewakili kepentingan rakyat, maka rakyat pun mempertanyakan, mereka mewakili kepentingan siapa? Tidak mustahil mereka mewakili kepentingan para pihak yang membutuhkan power yang mereka miliki.

Politisi tidak pantas nynyir, mereka harus selalu kritis dengan konstruksi berpikir konstruktif. Kritis itu beda dengan nyinyir, kritis itu sangatlah produktif, sementara nyinyir cenderung untuk tujuan populis. Hal yang bersifat populist, muatannya sangat pribadi.

***