Corona Merajut Fitrah Manusia yang Sobek

Virus Corona tiba-tiba menyentak batin. Mengharubiru kemanusiaan kita. Menyadarkan kita bahwa Corona mudah sekali menular pada orang yang terdekat secara fisikal.

Selasa, 17 Maret 2020 | 14:26 WIB
0
271
Corona Merajut Fitrah Manusia yang Sobek
Ilustrasi rumah (Foto: Popbela.com)

Standarnya jelas. Setiap Tuhan memberi kenikmatan, di baliknya ada ujian. Setiap ada musibah, di baliknya ada hikmah.

Dan virus Corona (Covid-19) adalah musibah. Di balik musibah itu ada kandungan hikmah yang luar biasa dahsyat. Jauh lebih dahsyat dari pada sisi musibahnya.

Apa itu? Peluang merajut fitrah manusia sebagai mahluk berkeluarga yang sudah terkoyak.

Modernisme dan globalisasi telah memacu manusia menjadi super individualis. Layaknya air yang menciprat dari sebuah arus sungai. Kemudian jatuh di atas batu. Kemudian kering oleh sinar matahari. Arus sungai itu adalah keluarga intinya (batih).

Inti keluarga adalah suami, istri, anak. Wadahnya adalah rumah. Dan eksistensi rumah terbaik adalah "rumahku surgaku"(baiti jannati).

Secara formal dan fisikal, keluarga itu masih ada. Masih ada surat nikah, akta kelahiran, kartu susunan keluarga. Tinggal serumah.

Tapi, apakah secara substansial dan spiritual masih utuh? Bahkan apakah masih ada? Jangan-jangan sudah sobek. Bahkan mungkin sudah compang camping. Terserpih-serpih seperti daun dimakan ulat. Wujuduhu ka adamih (keberadaannya sama dengan ketidak-adaannya).

Rumah telah menjadi tidak lebih dari tempat persinggahan untuk tidur dan buang kotoran. Secara psikologis hampir tidak ada benang merah yang mengkaitkan para penghuninya. Layaknya sangkar yang dihuni beberapa ekor burung yang berbeda-beda dengan kicauan yang tak berirama.

Duduk bersama di ruang keluarga, tapi masing-masing asyik berkelana dengan gadgetnya. Suami istri seranjang tapi masing-masing mengalami orgasme dalam dunia virtualnya.

Berarti keluarga itu sedang diterjang penyempitan spiritual. Pendangkalan makna. Ibarat manusia yang hanya punya mata ekternal tetapi buta mata batinnya.

Dalam Kesadaran

Virus Corona tiba-tiba menyentak batin. Mengharubiru kemanusiaan kita. Menyadarkan kita bahwa Corona mudah sekali menular pada orang yang terdekat secara fisikal.

Orang yang terdekat adalah yang tinggal serumah. Batih yang terdiri bapak, ibu, anak.

Tiba-tiba bapak dan ibu khawatir anaknya terjengkiti. Jika sampai anak terjangkiti kemungkinan besar menjagkiti dirinya. Seorang anak tiba-tiba juga khawatir ibu, bapak, saudara sekandung terjangkiti. Merebak kekhawatiran jika sekeluarga terjangkiti semua, ada potesi keluarga itu tutup sejarah.

Dalam kesadaran itu tiba-tiba ada anjuran agar bekerja dari rumah. Banyak berdiam di rumah. Tidak banyak keluar rumah jika tidak perlu. Anak-anak belajar di rumah.

Intinya, kita ditarik untuk back to basic. Kembali ke fitrah manusia sebagai mahluk keluarga.

“Gara-gara Corona ini saya baru sadar tentang perintah untuk menjaga diri dan keluarga dari siksa api neraka,” kata seseorang.

Maksudnya adalah perintah Allah di Quran surah At-Tahrim 6: Wahai orang-orang beriman. Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.”

“Saat ini saya disadarkan untuk menjaga diri dan keluarga dari ancaman virus Corona. Kalau saja terjangkiti, kemungkinan akan menulari istri dan anak saya. Demikian juga istri atau anak terjangkiti, akan menulari yang lain,” tambahnya.

Tidak Bermakna

Dia sadar bahwa kehidupan rumah tangganya selama ini seperti bukan kehidupan yang seharusnya. Keluarga sakinah mawaddah wa rahmah yang dia citakan. Sebuah bangunan keluarga yang utuh lahir batin. Dunia sampai surga.

Tetapi telah menjadi kehidupan dengan aksi siklistis yang sia-sia. Pergerakan yang justru semakin lekang dari tujuan semula. Aksi pendular yang tidak bermakna.

Diawali dia dan istrinya berangkat kerja sebelum pukul 06.00. Jika sempat, istrinya masak nasi dan ceplok telor. Jika tidak, anaknya cukup diberi sangu untuk makan di kantin sekolah atau order go food di sekolah. Sering kali saat berangkat anaknya masih tidur. Nanti anak-anaknya mengurus diri sendiri pergi ke sekolah dengan antar-jemput.

Pulang kerja sama-sama sudah lewat maghrib. Mendapati anak-anaknya sedang ketawa-ketiwi gadgetan. Ortunya pulang pun tidak peduli. Mau makan malam tinggal pesan go food. Bapak-ibu sama-sama tidur seranjang. Masing-masing buka gadget untuk pengantar tidur sampai terbawa mimpi. Bapak mimpi dengan selingkuhannya. Ibu mimpi sedang selfie dis ebuah tempat yang instagramable.

Hari Sabtu dan Minggu memang libur. Apakah untuk keluarga? Ternyata tidak juga. Masing-masing bapak dan ibu ada agenda dengan komunitasnya. Terkadang ada kegiatan ekstra tempat kerjanya. Anak-anak sendri akhirnya hidup dengan kawan-kawannya.

“Ketika saya memperhatikan anak-anak saya dalam kaitan Corona, saya mendapati sosok anak saya yang jauh dari doa saya yaitu agar anak-anak saya menjadi anak yang saleh. Menjadi pemimpin orang-orang yang bertaqwa. Yang sedap di pandang mata. Sangat jauh dari impian saya. Dan itu kesalahan saya.

“Persepsi saya salah tentang aspirasi anak-anak saya. Saya bekerja keras agar kebutuhan mereka tercukupi. Bisa naik mobil. Kamar bagus. Sangunya banyak. Ternyata bukan itu yang mereka butuhkan. Yang mereka inginkan dari ortunya. Mereka begitu bahagia ketika saya ajak shalat berjamaah di rumah. Saya simak membaca Quran. Sebelum tidur saya dongengkan. Saya tanya ingin sarapan apa. Intinya mereka butuh kasih sayang ortunya,” katanya.

“Anak-anak saya ibarat tanaman yang tumbuh kurus dirambati tanaman gulma. Mereka seperti taplak putih yang sudah banyak noda. Kini saya harus habis-habisan mencucinya,”tambahnya.

Betapa dia kaget, ketika dia dan istrinya hendak keluar rumah, anaknya menghampiri dengan memberikan masker dan sanitizer. “Kan ayah kemarin bilang kita harus waspada Corona.”

Diam-diam dia meneteskan air matanya. Hal demikian tak pernah dilakukan anak-anaknya sebelum ini. Di balik sikap anak itu ada benang merah kasih sayang yang kembali terpintal.

Coronavirus adalah ayat Allah. Tergantung bagaimana kita membacanya. Menyikapinya. Apakah kita jadikan momentum cari popularitas. Mempertajam kebencian. Menyebar hoax. Mengeruk keuntungan bisnis. Korupsi. Menjadi kelompok ruwaibidhah.

“Apa ruwaibidhah itu?” tanya seorang sahabat.

Nabi menjawab, “Orang bodoh yang mau mengurusi masalah umum.”

Kira-kira kalau dalam kasus Corona ini orang yang sok tahu. Sok pintar. Sok tahu penangkal Corona tanpa penyelidikan ilmiah. Mengurusi bukan bidang keahliannya. Saat ini seolah semua orang tahu tentang Corona. Merasa berhak untuk berfatwa tentang Corona.

Saya sendiri juga khawatir, jangan-jangan menulis begini juga termasuk ruwaibidhah. Astaghfirullah. Gusti Allah nyuwun pangapura.

Allahu a’lam bis-shawab.

Anwar Hudijono, wartawan senior tinggal di Sidoarjo.