Anies Baswedan dan Kerangkeng Politik Nasdem

Apakah Anies akan berhasil menjadi kandidat presiden dengan naik kendaraan Nasdem? Tampaknya, kuncinya terletak di Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.

Senin, 19 Agustus 2019 | 12:21 WIB
0
686
Anies Baswedan dan Kerangkeng Politik Nasdem
Anies Baswedan dan Surya Paloh (Foto:Media Indonesia)

”Surya Paloh ketemu Anies, tuh!”

”Ngasih sinyal ke Megawati, kali…”

”Mungkin takut kena gusur Gerindra.”

”Kasih ancaman, biar Jaksa Agung tetap di Nasdem, tuh….”

”Hmmm… mungkin Anies sengaja dikandangin biar dijauhin dari pendukungnya yang dulu.”

”Wah, Tuan Takur emang paling-paling, deh, selalu gerak cepat duluan.”

Sore itu, tayangan televisi yang menyiarkan jumpa pers Surya Paloh dan Anies Baswedan langsung mendapatkan tafsir yang beragam. Teman-teman peneliti memang ”daya endusnya” cukup tajam untuk melihat gejala seperti ini. Dan, biasanya tak berapa lama kemudian sejumlah analisis wacana akan muncul di media massa. Kurang lebih nadanya serupa dengan apa yang telah terlontar seketika dari mulut teman-teman.

Pertemuan antara Anies Baswedan dan Surya Paloh dilakukan di kantor DPP Nasdem pada Rabu, 24 Juli 2019. Seusai pertemuan, Surya Paloh mengungkapkan kata-kata yang kemudian banyak ditafsirkan sebagai dukungannya kepada Anies jika ingin maju pada Pemilu 2024.

Dan, pertemuan serta ungkapan Surya Paloh itu memang kemudian menjadi bahan perbincangan yang cukup ramai, baik di media massa maupun media sosial. Sejumlah spekulasi pun muncul.

Spekulasi pertama, pertemuan itu sengaja dilakukan berbarengan dengan terjadinya pertemuan antara Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto untuk memberikan sinyal keras terhadap Megawati yang mungkin akan menerima Partai Gerindra sebagai koalisi PDI-P mendukung pemerintahan Joko Widodo.

Masuknya Gerindra ke dalam pemerintahan dapat dikalkulasi akan banyak mengurangi peluang kader Nasdem untuk duduk di kabinet. Terlebih terlihat tanda-tanda bahwa, baik Jokowi maupun Megawati, membuka peluang untuk koalisi baru pascapemilu. Bagi pemerintah, tentu memang lebih mudah menjalankan roda pemerintahan tanpa oposisi, selain untuk mengurangi dampak pemilu yang telah membelah aspirasi bangsa demikian tegas.

Dengan perolehan Gerindra (12,57 persen) yang di atas perolehan Nasdem (9,05 persen), wajar jika Nasdem dan partai-partai anggota koalisi Joko Widodo-Ma’ruf Amin cukup khawatir terhadap kemungkinan bergabungnya Gerindra dan partai-partai yang dalam Pemilu Presiden, April lalu, berseberangan. Terlebih setelah ada tanda-tanda Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional juga merapat ke kubu Jokowi.

Baca Juga: Risma yang Bakal Jadi Batu Sandungan Anies di 2024

Spekulasi kedua, momen pertemuan Surya Paloh-Anies dilakukan untuk memberikan sinyal kepada Presiden Jokowi agar tidak mengganti Jaksa Agung. Selama ini, telah berkembang rumors yang mengaitkan keberhasilan Nasdem meraih suara cukup tinggi karena peran Jaksa Agung dalam memonitor kepala-kepala daerah. Partai Nasdem diduga menangguk keuntungan dari banyaknya kepala daerah yang kemudian beralih kendaraan politik ke Partai Nasdem yang memegang rahasia hukum.

Di Sulawesi Utara saja setidaknya empat kepala daerah lompat partai. Sebut saja Bupati Minahasa Utara Vonnie Panambunan, Wali Kota Manado Godbless Sofcar Vicky Lumentut,  Bupati Bolaang Mongondow Yasti Soepredjo, dan Wali Kota Kotamobagu Tatong Bara, semuanya meneguhkan diri untuk berada di bawah naungan Partai Nasdem.

Di Sulawesi Selatan, Wali Kota Makassar Mohammad Ramadhan Pomanto, Bupati Bantaeng Ihamsyah Azikin, dan Bupati Luwu Basmin Mattayang dikukuhkan sebagai kader Partai Nasdem. Selain itu, juga terdapat nama Wakil Gubernur Sulawesi Barat (Sulbar) Enny Anggraeny Anwar dan mantan Wakil Gubernur Sulbar Aladin S Mengga.

Hasilnya, pada Pemilu Legislatif 2019, Partai Nasdem di Sulawesi Selatan meraup suara 684.533 dan menjadi partai nomor dua terbesar di provinsi ini, mengalahkan PDI-P dan Gerindra. Hal ini berarti suara Nasdem melonjak lebih dari tiga kali lipat dari pemilu sebelumnya (2014) yang hanya memperoleh 212.421 suara di wilayah ini.

Kaitan antara hasil pemilu Partai Nasdem, perubahan afiliasi partai sejumlah kepala daerah, dan jaksa agung memang menarik untuk ditelisik. Tak mengherankan jika media daring Kumparan pun mengupas secara eksklusif persoalan ini dengan judul ”Gertakan Surya Paloh untuk Koalisi Jokowi” pada 31 Juli lalu.

Spekulasi ketiga, yang rada-rada berbau konspiratif, adalah Nasdem sedang memainkan politik separasi, memisahkan Anies dari sejumlah partai pendukungnya, seperti Gerindra, PKS, dan PAN, serta dari ormas-ormas Islam FPI, HTI, dan alumni GNPF Ulama yang dalam Pilkada Jakarta 2017 turut andil besar dalam mengantarkan kemenangan bagi Anies.

Anies tampaknya dipandang memiliki kans besar memenangi Pemilu 2024 apabila tetap didukung oleh partai dan kalangan tersebut. Ini tentu cukup mengkhawatirkan partai-partai nasionalis.

Satu-satunya cara untuk memecah pendukung lamanya adalah membuat Anies menjadi ”lebih nasionalis” dan terkesan lebih lekat bergandengan tangan dengan partai-partai nasionalis agar mantan pendukungnya mencari sosok yang lain. Jika tiba saatnya, dapat saja Anies dilepas agar terkatung-katung tanpa partai pengusung. Maka, amanlah kubu nasionalis. Masuk akal, bukan?

Namun, apa risikonya bagi Nasdem, jika Anies diusung Nasdem lalu kalah, atau sebaliknya kalau Anies menang? Kalau menang, tentu Nasdem mendapat limpahan rezeki dua porsi lauk yang berbeda.

Baca Juga: Keajaiban Bernama Anies

Porsi pertama adalah posisi kader-kadernya di kementerian dan jajaran pemerintahan. Porsi kedua, suara partainya mungkin akan menjadi lebih besar. Bagaimanapun sosok Gubernur DKI Jakarta dapat punya pengaruh tidak hanya pada wilayah Jakarta, tetapi juga nasional.

Di tengah pembelahan aspirasi masyarakat yang sangat tegas setelah Pemilu 2019, menjadi ”partai tengah” bisa jadi peluang yang menguntungkan. Dapat sana, dapat sini. Lagian, bukankah Anies juga seorang nasionalis ketika mendukung Jokowi pada Pemilu 2014?

Apakah maksud ini yang tersirat di balik pernyataan Surya Paloh seusai pertemuan itu, ”Abang sarankan Anies untuk bisa lebih mengoptimalkan potensi kemampuan yang dimilikinya. Dari yang abang pahami, dia belum keluarkan itu semua. Jadi kalau skornya 10, Anies keluarkan baru lima. Lima lagi dimiliki Anies.” Lima kemampuan Anies yang lain barangkali pernah ditunjukkan ketika turut memenangkan Jokowi, dahulu.

Sebagai ketua partai dan pemilik media, pastinya Surya Paloh sangat berpengalaman membaca bahwa kemampuan praksis orang ada batasnya, yang tidak berbatas adalah kemampuan ideologis elite politik. Rentang ideologis ini bisa sangat ke kanan atau sangat ke kiri, agak kanan dan kadang agak kiri.

Jejak dua kaki Anies, Islam dan nasionalis, mungkin cukup cocok dengan agenda Nasdem menjadi partai tengah. Terlebih, Anies adalah salah satu deklarator ormas Nasional Demokrat, cikal bakal Partai Nasdem.

Saat ini, meskipun Anies berhasil meraih kursi gubernur karena diusung oleh Partai Gerindra, PKS, dan PAN, ia bukan kader dari salah satu partai tersebut. Jika Nasdem berhasil memberi ”label” sebagai kader partainya, tentu lebih memuluskan jalan partai tersebut.

Sebaliknya, kalaupun Anies kalah pada 2024, setidaknya Nasdem sudah cukup kenyang dengan menyantap satu porsi lauk kedua. Setelah itu, Nasdem tidak harus menjadi oposisi, tetapi bisa bergabung dengan pemerintahan presiden terpilih.

Bukankah politik tidak hanya cara meraih kekuasaan, tetapi juga cara berbagi kekuasaan? Kalau suaranya banyak, mungkin bisa dapat kursi yang lumayan di pemerintahan. Dengan demikian, dua porsi lauk tetap tersedia bagi Nasdem, hanya kuali masaknya yang berbeda. Jadi, tidak ada ruginya mendukung Anies lebih awal, bukan?

Spekulasi keempat, agak sulit dibilang spekulasi, karena strateginya dapat dibaca secara lebih jelas dari rekam data Nasdem.

Partai Nasdem merupakan partai yang terfavorit untuk diajak berkoalisi. Ini terjadi karena Nasdem agresif dalam inisiatif mengambil peluang pertama mengusulkan nama calon kepala daerah yang diusungnya. Kecepatan dan ketepatan menentukan siapa yang akan diusungnya membuatnya lebih mudah menggalang koalisi lebih dulu daripada partai-partai lainnya.

Dalam Pilkada Jawa Barat, misalnya, walaupun hanya memiliki lima kursi di DPRD, Partai Nasdem menjadi partai pertama yang mengusung Ridwan Kamil (RK) sebagai calon gubernur. Langkahnya kemudian disusul oleh PPP (9 kursi), PKB (7 kursi), dan Hanura (3 kursi).

Pilkada Jawa Barat menjadi pertarungan strategi partai yang paling alot karena beberapa partai besar sempat merapat ke sosok RK, sebelum akhirnya memunculkan calon pasangannya sendiri. Golkar yang tadinya hendak mengusungnya kemudian memilih mencabut dukungan karena tidak tercapai kesepakatan soal posisi calon wakil gubernur.

Soal ini juga sempat membuat PPP dan PKB nyaris bubar. Bahkan, PDI-P yang sempat memberi peluang bekerja sama dengan RK akhirnya tak mendapatkan titik temu dan memilih mencalonkan pasangan lain. Hanya Nasdem, sebagai pengusung pertama, yang tak tergoyahkan oleh kecamuk pilihan sosok.

Nasdem juga tercatat menjadi partai pertama yang mendeklarasikan dukungannya kepada Jokowi dalam Pemilu Presiden 2019, baru kemudian diikuti oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Golkar, PPP, Hanura, Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), dan PDI-P. Kemenangan Jokowi tentu menjadi kredit tersendiri bagi Nasdem sebagai partai pengusung pertama.

Agresif sejak 2015

Debut Partai Nasdem cukup fenomenal sebagai partai yang baru ikut pemilu pada 2014. Pada Pilkada 2015, Partai Nasdem menempati posisi kedua sebagai pemenang pilkada dengan meraih kemenangan di 100 daerah, hampir dua kali lipat dari perolehan Golkar yang hanya menang di 53 daerah. Posisi pertama dipegang oleh PDI-P dengan raihan 125 kemenangan.

Baca Juga: Polah Paloh

Koalisi yang melibatkan Partai Nasdem juga menjadi pemenang paling banyak pada Pilkada 2015. Dari 93 kali koalisi dengan dengan PDI-P, Nasdem memenangi 51 kali sehingga menjadikan koalisi kedua partai tersebut sebagai koalisi paling strategis dalam Pilkada 2015. Koalisi partai-partai lain hanya meraih kemenangan di bawah mereka. Posisi Nasdem dalam Pilkada 2015 seakan menggantikan PAN yang dalam pilkada 2005-2007 menjadi partai paling fenomenal dalam menjalin koalisi kemenangan.

Berkat strateginya, Nasdem juga menjadi partai pemenang kedua terbanyak pada Pilkada 2017 yang diikuti oleh 101 daerah. Nasdem berada di posisi kedua dengan 47 kemenangan, hanya kalah dari Golkar yang meraih 54 kemenangan. Namun, kedua partai itu tercatat sebagai koalisi yang paling kokoh dengan memenangi paling banyak pilkada (32 kali).

Rupanya, setelah kalah telak dalam Pilkada 2015, baik Golkar maupun Nasdem, cenderung memiliki strategi yang serupa. Mereka memetakan terlebih dahulu kandidat yang berpeluang menang, lalu melakukan pendekatan ke kandidat tersebut. Karakteristik Golkar dan Nasdem yang tidak tergolong sebagai partai kader ataupun partai ideologis memudahkan mereka bergerak fleksibel menerima sosok baru, di luar kader mereka.

Kondisi ini sangat berbeda dengan PDI-P yang dalam menentukan kandidat cenderung mengutamakan kader sendiri. Menjadi masalah bagi PDI-P, ketika kemudian kader-kader potensial telah habis terpakai, PDI-P seakan kembali merangkak dari bawah. Setelah kemenangan fenomenal dalam Pilkada 2015 dengan menyabet 125 kemenangan, PDI-P seolah mulai kehabisan kader sehingga pada Pilkada 2017 hanya menang di 45 daerah, di bawah perolehan Golkar dan Nasdem.

Pemenang terbanyak Pilkada 2018

Partai Nasdem menjadi partai terbanyak memenangi pilkada pada 2018. Dari 171 pilkada yang diselenggarakan serentak di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, Nasdem memperoleh kemenangan di 86 daerah.  Jumlah kemenangan Nasdem terpaut cukup jauh dengan partai-partai besar yang lain, seperti PDI-P (78), Golkar (76), dan Gerindra (70).

Di tingkat provinsi, Nasdem menang di 11 daerah dan menjadi partai terbanyak menempatkan sosok yang diusungnya menjadi gubernur. PDI-P sebagai partai terbesar hanya berhasil menang di empat provinsi. Sementara Golkar di delapan provinsi. PDI-P hanya berhasil mengungguli Nasdem di tingkat kabupaten, dengan menang 62 kali, selisih sedikit dari Nasdem yang 59 kali.

Sementara itu, Golkar hanya dapat mengungguli Nasdem pada tingkat pilkada kota, yaitu di 20 daerah, sedangkan Nasdem 16 daerah. Dibandingkan dengan Gerindra, Nasdem lebih banyak mengumpulkan kemenangan di berbagai level, baik provinsi, kabupaten, maupun kota.

Jumlah kemenangan Nasdem di sejumlah daerah yang mengungguli partai-partai besar, khususnya pada level provinsi, dapat menjadi sumber referensi yang penting bagi calon-calon kepala daerah pada masa mendatang untuk memilih diusung oleh Partai Nasdem daripada partai-partai lain.

Oleh karena itu, bisa dimaklumi apabila sejumlah tokoh daerah, termasuk yang sudah menjabat, rela pindah ke Partai Nasdem demi keberlangsungan kekuasaannya. Terlebih jika dijanjikan akan diusung partai tersebut pada pilkada mendatang.

Pertemuan Surya Paloh dengan Anies Baswedan, lontaran kepercayaan Paloh terhadap kepemimpinan Anies di DKI Jakarta, serta sinyal dukungannya untuk Pemilu 2024 (meskipun dikatakan harus melalui mekanisme partai) sudah cukup menggambarkan dua hal.

Baca Juga: Memahami Pola Pikir Anies Baswedan

Pertama, Anies mungkin dipandang Nasdem memiliki peluang terbaik untuk menang pada Pemilu 2024. Kedua, Nasdem tampaknya sedang mengatur strategi ke arah kemenangan itu. Di samping itu, pertemuan itu juga ingin mengingatkan kembali bahwa Nasdem adalah partai pertama yang dulu mengusung Jokowi.

Namun, apakah Anies akan berhasil menjadi kandidat presiden dengan naik kendaraan Nasdem? Tampaknya, kuncinya terletak di Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Lho? Ya, mampukah Nasdem membujuk agar figur calon pemimpin paling kuat di PDI-P ini dikerangkeng di Jakarta saja, kalau perlu di Bantargebang, Bekasi.

Bambang Setiawan, Litbang Kompas

***

Keterangan: Analisis ini sebelumnya sudah tayang prioritas di Kompas.id.