Polah Paloh

Ia tidak ingin dilecehkan, disepelekan, apalagi diabaikan. Paloh ingin tetap posisi tawarnya bernilai tinggi di mata para politikus lainnya.

Jumat, 26 Juli 2019 | 09:47 WIB
0
764
Polah Paloh
Surya Paloh

Tak diragukan lagi, peristiwa politik paling seksi yang muncul ke permukaan beberapa hari belakangan adalah pertemuan antara Surya Paloh dengan Anies Baswedan yang terjadi pada Rabu, 24 Juli 2019. Karena seksi, pertemuan itu menyedot perhatian publik, khususnya pecandu politik mutakhir Tanah Air.

Bukan seksi karena orangnya; satu bercambang lebat satunya lagu kelimis bersih, melainkan seksi karena peristiwanya itu sendiri, mengalahkan peristiwa yang tak kalah fenomenalnya, yaitu pertemuan dua big boss Prabowo Subianto dengan Megawati Soekarnoputri pada hari yang sama.

Surya Paloh adalah boss Nasdem yang juga pemilik MetroTV, sedangkan Anies Baswedan adalah Gubernur DKI Jakarta saat ini. Prabowo adalah capres yang dalam dua kali pertarungan melawan orang yang sama, Joko Widodo,  bergandengan tangan dengan Megawati selaku cawapres pada Pilpres 2009. Meski juga kandas.

Kedua peristiwa bertajuk "pertemuan" itu, seolah-olah rentetan dari peristiwa fenomenal sebelumnya, yaitu saat dua musuh bebuyutan dalam dua kali Pilpres, yaitu presiden terpilih Joko Widodo dan penantangnya Prabowo Subianto, bertemu di stasiun MRT. Pertemuan berlanjut dengan safari politik se-MRT bersama untuk makan siang berdua. Oh, damainya dunia!

Ketiga rangkaian pertemuan itu, yaitu Jokowi-Prabowo, Paloh-Anies, Prabowo-Megawati, tidak lepas dari hajatan Pilpres 2019 itu sendiri, khususnya langkah ke depan dalam penyusunan kabinet. Memang banyak yang gede rasa saat persyaratan rekonsiliasi diajukan, misalnya pembagian kekuasaan (baca kursi kabinet) dengan usulan perbandingan 55-45, sesuai perolehan suara pemilu.

Baca Juga: Meja Makan Surya Paloh

Tetapi syarat yang sempat diajukan pendiri PAN Amien Rais ini tergolong keterlaluan, masak iya yang kalah harus diberi porsi sebanyak itu. Selain itu, ini pasti akan membuat guncang di tubuh koalisi parpol pendukung Jokowi yang berharap mendapat kursi menteri yang banyak. Bagaimana jadinya kalau jatah kursi itu menjadi berkurang karena masuknya Gerindra atau PAN sebagai konsekuensi dari apa yang disebut rekonsiliasi itu.

Untuk itulah Paloh membaca, pertemuan antara Prabowo dan Megawati selaku boss PDIP, meski tidak menyertakan Joko Widodo yang katanya menerima putera mahkota Abu Dhabi, tidak lain sebagai pembagian jatah kursi menteri sebagai konsekuensi dari rekonsiliasi itu.

Sebagai politikus, Paloh paham, pamor Nasdem, partai yang didirikannya, bakal meredup atau dianggap angin lalu atas masuknya Gerindra. Ada jatah kekuasaan yang pasti akan berkurang.

Itu sebabnya pertemuan Paloh sebelumnya dengan para ketua parpol koalisi pengusung Jokowi, yaitu  Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, dan Plt Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa, harus dibaca sebagai kegelisahan luar biasa atas pertemuan Jokowi-Prabowo di MRT itu. Secara kebetulan, menyusul terjadinya pertemuan Prabowo-Megawati.

Paloh menjadi tuan rumah pertemuan yang dihelat di kantor DPP Nasdem pada Senin 22 Juli 2019 atau dua hari sebelum bertemu Anies. Perihal ketidakhadiran Megawati selaku boss PDIP, Paloh berkilah karena pertemuan berlangsung spontan tanpa diagendakan sebelumnya. “Ya memang kalau bisa hadir bersama bisa lebih baik. Tapi ini spontan saja kebetulan sedang kumpul di kantor Nasdem,” katanya.

Spontan apa spontan? Begitu celetuk anak milenial meledek pernyataan Paloh yang terkesan basa-basi itu, sebab tidaklah mungkin keempat boss parpol spontan bertemu di satu tempat dalam waktu yang bersamaan, memangnya mereka punya hati bagai pinang dibelah empat!

Baca Juga: Betapa Nakal dan Liarnya Manuver Surya Paloh

Toh pada akhirnya Paloh mengakui memang tidak mengundang perwakilan PDIP untuk datang ke kantornya, tapi anehnya ia menyebut tiga ketua umum parpol yang datang itu juga tak diundang. seperti jelangkung. “Memang yang datang tidak diundang. Itu semua spontan datang kebetulan sekali mereka adik-adik saya,” kilahnya.

Apa isi pertemuan empat boss parpol sekoalisi minus PDIP itu? Menurut Paloh, tidak ada pembahasan spesifik, hanya masing-masing saling bertukar pikiran terkait konsolidasi politik pasca Pilpres 2019. Apakah dalam pertemuan itu dibahas konsekuensi rekonsialisi berkurangnya jatah kursi menteri yang tergambar dari pertemuan Jokowi-Prabowo? Pasti soal ini akan ditampik Paloh mati-matian.

Reaksi atas aksi

Pertanyaannya, apakah manuver Paloh itu salah? Apakah manuver bertemunya Paloh dengan para big boss parpol yang dipuncaki pertemuannya dengan Anies itu menyalahi etika?

Dalam politik tidak ada salah-benar, bahkan etika pun bisa abu-abu. Salah satu seni berpolitik itu adalah kemampuan membaca tanda-tanda, membaca sasmita atas serangkaian peristiwa, kemudian dikaitkan dengan peristiwa sebelumnya dan langkah yang harus ditempuh pada masa mendatang. Sebagai seorang politikus, Paloh sudah memainkannya peranannya dengan baik. Apa kata orang, ia tutup telinga.

Kalau dalam konteks novelis Mario Puzo, pertemuan keempat big boss parpol itu telah menempatkan Paloh sebagai "The Godfather". Ia bertindak selaku penentu, Kingmaker. Ia tidak ingin dilecehkan, disepelekan, apalagi diabaikan. Paloh ingin tetap posisi tawarnya bernilai tinggi di mata para politikus lainnya. "Antum jangan main-main sama ane," demikian kira-kira perumpaannya.

Wa bil khusus pertemuannya dengan Anies, orang membaca ini untuk kepentingan Pilpres 2024 yang masih jauh. Meski masih jauh dan kalau diibaratkan luka Pilpres 2019 saja belum kering, toh manuver menuju ke sana sudah dimulai sejak sebelum Presiden RI hasil Pilpres 2019 belum dilantik. Tak pelak lagi, Palohlah yang memulainya jauh-jauh hari.

Modal "gambling politik" semacam itu sudah ada di Pilkada Jawa Barat dan Sumatera Utara di mana Nasdem yang mengelus-elus kedua jagoan Jabar dan Sumut, Ridwan Kamil dan Edy Rahmayadi, berhasil menjadikan keduanya kepala daerah. Paloh ingin memainkan peran serupa untuk kepala negara alias Presiden RI dengan jagoannya, Anies Baswedan.

Mengapa Anies? Tentu bukan tanpa perhitungan. Sama halnya dengan Ridwan dan Edy, Anies juga lepas dari parpol manapun. Ibarat tanah tak bertuan alias "terra incognita", Paloh segera menancapkan tonggak untuk menandai Anies sebagai miliknya. Ibarat singa menandai wilayah dengan air kencingnya, Paloh telah mengencingi (baca; menandai) Anies dengan air kencingnya sendiri.

Kasar? Belum tentu. Real politiknya memang begitu, siapa cepat dia dapat. Siapa dapat panggung, dialah yang menangguk tepuk tangan penonton, tidak peduli pujian atau cibiran. Perolehan suara Nasdem yang dikonversi ke kursi DPR lumayan naik juga membuat Paloh percaya diri, tidak peduli naiknya itu juga sebagai "coattail effect" karena mendukung Joko Widodo.

Bagi Paloh, Anies meski tokoh antagonis dalam sebuah drama, toh punya nilai gertak yang tinggi, terkait reputasinya di Pilkada DKI yang memobilisasi sentimen SARA. Dengan menunjuk Anies, di sini Paloh seolah-olah bermaklumat kepada trio Prabowo-Jokowi-Megawati, "Awas ya lo lo pade, ane juga bisa memainkan ini!"

Polah Paloh menunjuk Anies ibarat pedang bermata dua; di satu sisi ia mengancam kepada trio Prabowo-Jokowi-Megawati agar jatah kursi menteri hak Nasdem tidak dikurangi, di sisi lain ia memainkan peranannya sebagai Kingmaker, "The Godfahter" bagi bos-bos partai politik lainnya.

***