Memahami Pola Pikir Anies Baswedan

Menjadi populis itu lebih menyenangkan daripada menjadi orang yang sepanjang hari mulut nyerocos ngomel- ngomel karena masyarakatnya yang bandel.

Minggu, 9 Juni 2019 | 11:36 WIB
1
1375
Memahami Pola Pikir Anies Baswedan
Anies Baswedan (Foto: Youtube)

Sejak kampanye untuk menjadi calon gubernur Jakarta. Anies Baswedan selalu menjadi penantang utama dari arus perubahan yang dikampanyekan Joko Widodo dan diteruskan oleh Ahok. Mungkin ia lelah setelah menjadi jubir pemenangan Jokowi lalu rasa terimakasih Jokowi membuat Anies melenggang manis menjadi mendikbud.

Tetapi kemesraan dengan Jokowi tidak bertahan lama. Jokowi lebih menyukai menteri yang eksekutor dan kurang suka dengan rekan kerja yang terlalu sering beretorika.

Begitulah akhirnya Anies Baswedan harus merelakan jabatan mentrinya lepas. Ia sejenak diam menghilang dari hiruk pikuk politik, sampai kemudian prabowo menawarinya kerjasama untuk menjadi calon gubernur berduet dengan Sandiaga Uno yang sebetulnya digadang- gadang menjadi calon nomor satu DKI.

Jakarta di Tangan Anies

Dengan politik njelimet akhirnya Prabowo memilih Anies Baswedan yang lebih mempunyai kans untuk menang melawan Ahok. Di sisi lain dengan politik tingkat tinggi pula Ahok terjerembab dengan kasus penistaan agama. Desakan gerakan 212 dengan kentalnya politik identitas telah menjebak Ahok hingga akhirnya harus meringkuk di penjara Brimob di Cimanggis Depok selama 2 tahun.

Otomatis kans politik Ahok hilang dan dengan masifnya perang ideologi di media sosial Ahokpun tumbang. Sedangkan Jarot tidak berdaya menghadapi serangan- serangan masif kecurangan yang dialamatkan kepadanya yang dengan setia membela Ahok.

Anies pun sukses menjadi gubernur sebuah ibu kota besar tempat masyarakat menggantungkan harapan untuk sebuah perubahan karakter ibu kota. Tetapi rupanya Anies lebih peduli pada Jakarta tempo dulu yang “Manusiawi” . Jakarta yang bahagia dengan segala keunikannya. Ia mempersilahkan warganya tidak terlalu stres memikirkan aturan birokrasi yang keras dan meledak- ledak.

Anies membiarkan orang miskin ikut tersenyum karena bebas melanggar aturan. Jakarta tidak harus seperti Singapura yang terlalu ketat aturannya. Bukannya Jakarta sebagian  warganya pendatang.

 

Baca Juga: Jangan Cuma Salahkan Anies

Anies melihat bahwa keberagaman Jakarta akan lebih menarik jika Pak ogah/polisi cepek(yang akan marah dan menggerundel jika benar- benar dikasih uang cepek, minimal ya 500 rupiahlah jangan pelit bos!), para preman di Tanah Abang yang suka – suka mencatut uang parkir.

Tidak perlu mengejar kota- kota maju dunia. Jakarta tersenyum penuh suka cita merayakan kebebasan, merayakan takbiran tanpa intimidasi dan pengawasan petugas. Bukankah anak muda perlu wahana kreatif untuk memeriahkan Jakarta yang sepi ditinggal pemudik yang lebih suka berhahahihi di kampung halaman mereka. Pemudik memang keterlaluan sih mereka membuat dosa di Jakarta tetapi bermaaf- maafan di desa. Aneh bukan?

Kreatif itu Jika Berani Melawan Arus

Maka Gubernur dengan kreatif mengijinkan anak muda yang masih tersisa melakukan takbiran keliling. Bunyi petasan, peserta yang lupa keselamatan diri dengan menanggalkan helm itu salah satu wujud kebahagiaan, tawuran ah, itu masalah kecil, bukannya sejak dulu tawuran menjadi warna tersendiri. Jakarta aneh tanpa tawuran Bung.

Di Jakarta menjadi bahagia itu susah bung. Para pekerja sudah harus bangun pagi- pagi, setelah bersembahyang langsung siap- siap memacu motor dan mobilnya menuju tempat kerjanya. Sampai larut para pekerja suntuk dan lupa matahari sudah surut dan tenggelam di sudut cakrawala di mana pemandangannya didominasi oleh kondominium dan gedung menjulang tinggi.

Toh suara takbiran tidak akan menyentuh mereka yang tinggal di puncak gedung, hanya sayup sayup, sementara yang melakukan pawai kebanyakan adalah mereka yang berumah di perkampungan dengan hiburan televisi judi kartu domino untuk sekedar melewatkan malam dengan masalah berjejal sepanjang hari.

Orang Jakarta perlu bahagia, sesekali menembus jalan Jakarta yang congkak oleh berbagai aturan. Yang harus diam saat lampu Apul menyala merah dan membandang saat lampu baru menguning belum sepenuhnya hijau.

Betapa Jakarta itu unik, Pengendara motor dengan sengit memaki – maki pejalan kaki. Pengendara motor merasa benar meskipun mereka mengokupasi pedestrian demi target kecepatan terutama ojek online yang dengan tanpa dosa menembus laju kendaraan dengan melawan arus (sebuah keberanian yang diacungi jempol terutama tentu oleh setan- setan iblis yang lebih suka hidup dalam ketidakberaturan).

Jakarta juga tidak butuh Jembatan penyeberangan, terlalu ribet dan tidak manusiawi terutama pada kaum disabilitas. Beri saja lampu merah. Simple khan. Anies Baswedan memang visioner. Ia tidak peduli pada kritikan oleh mereka yang mengaku cerdas dan berharap Jakarta setara dengan Singapura dan kota- kota besar dunia lain.

Jakarta tidak perlu sama, Yang cerdas tidak usah belagu, Menjadi bahagia itu jika pejabat- pejabat kembali santai tidak perlu harus sepanjang hari mengupload foto untuk dilaporkan pada atasannya. Tidak perlu kerja berat, yang bagus adalah bagi- bagi kebahagiaan, dengan proyek proyek untuk menghabiskan anggaran berjalan.

“Sopirpun ditegur ketika Anak- anak ABG yang  gagah dan tidak merasa berdosa berdiri di atas bus trans Jakarta. Kenapa mereka dibiarkan berdiri di atap Bus sih, Bro..Nanti saya buatkan aturan dan sangsi pada sopir yang membolehkan para pemuda tanggung berdiri tanpa dosa di atap bus.”

Sopirpun bingung yang nekat mereka kenapa saya yang disalahkan?bathin sopir tersebut.

“Harusnya sopir menegur supaya mereka tidak menginjak- - injak atap bus.”

“Waduh bingung harus menjawabnya Lay, Mereka mana mau dinasehati yang ada malah ditimpuki batu jika berani menegur. Jadi yang salah siapa sih?”Kepala sopir itu muyer-muyer pusing.

Menjadi Gubernur harus Mengerti Kemauan rakyat?

Ya sudah, setiap pemimpin pasti ingin dikenang sejarah. Anies tentu ingin dikenang sebagai gubernur yang sangat mengerti suka duka rakyatnya. Tidak perlu bertemu di balai kota. Dari bisikan angin senjapun ia tahu apa yang sedang menjadi gundah gulana rakyatnya.

Baca Juga: Hubungan Baik Jangka Panjang Jokowi dan Jangka Pendek Anies

Maka aneh juga jika Ahok yang hampir sepanjang hari ngomel- ngomel melihat kelakuan sebagian warganya.Anies cukup tersenyum dan bisa menyelesaikan semuanya, itu kata staf ahlinya. Itulah bedanya Ahok dan Anies orang bodoh seperti saya mana bisa menjangkau pikiran Gubernur.

Kau tidak perlu mengkritik dan nyinyir. Sekali nyinyir 58 % penggemar gubernur akan mengeroyokmu.  Aku tidak akan mengkritik tetapi hanya menyurati sang gubernur dengan tulisan unyu unyu yang mungkin tidak dilirik.

Menjadi pahlawan bagi rakyat itu yang utama, sesedikit mungkin menyakiti perasaan rakyatnya. Maka peraturan- peraturan berat yang menjajah kebebasan warga harus disingkirkan. Bukankah menjadi populis itu lebih menyenangkan daripada menjadi orang yang sepanjang hari mulut nyerocos ngomel- ngomel karena masyarakatnya yang bandel.

Ya sudah, Berbahagialah kita yang mempunyai gubernur yang pengertian. Gubernur bawel ke laut saja?Tapi yang bawel itu ternyata ngangenin juga. nah lho! Salam damai selalu.

***