Hubungan Baik Jangka Panjang Jokowi dan Jangka Pendek Anies

Bencana banjir di Jakarta yang seharusnya mendapat perhatian dan dukungan moril dari seluruh warga Jakarta.

Selasa, 30 April 2019 | 07:32 WIB
0
933
Hubungan Baik Jangka Panjang Jokowi dan Jangka Pendek Anies
Joko Widodo dan Anies Baswedan (Foto: Malang Today)

Manusia adalah makhluk individu dan juga makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, manusia memiliki ciri khas berbeda satu dan lain sekalipun ia kembar identik. Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan komunitas atau kelompok tempat ia bernaung dan tidak dapat hidup sendiri, kendati ada keputusan menyendiri, hakikatnya berada untuk berinteraksi dengan sesama. Dalam arti, Ia membutuhkan kebersamaan dengan sesama dan saling bergantung di dalamnya.

Aristoteles memandang manusia sebagai makhluk berakal atau mampu berkomunikasi berdasarkan akal pikirannya. Ia pula dipandang sebagai makhluk berpolitik (Yunani = Zoonpoliticon), mampu membentuk peradaban (civilization) yakni keluarga, masyarakat, dan negara yang di dalamnya terkandung aturan-aturan yang harus diikuti guna terciptanya keadilan sosial.

Indonesia memiliki simbol negara, yakni Pancasila dan memiliki lima pilar kehidupan bernegara di dalamnya, salah satunya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Makna dari sila kelima ini cukup luas, antara lain adil di segala bidang kehidupan, jasmani dan rohani, dapat dinikmati oleh seluruh bangsa Indonesia secara merata berdasarkan azas kekeluargaan, yakni hubungan yang menimbulkan rasa dekat dan saling memiliki satu dan lainnya.

Hubungan ini tentunya identik dengan sikap-sikap dasar hubungan baik, yakni adanya penerimaan terhadap ide dan praktik individu atau kelompok lain yang berbeda, rasa belas kasih terhadap individu atau kelompok lain dan melakukan sesuatu terhadap kesulitan mereka dan memilki integritas berselaras dalam kata dan perbuatannya. Sikap-sikap ini memperlihatkan bagian-bagian dasar dalam membangun hubungan baik antar individu atau kelompok.

Pada dasarnya hubungan baik ingin dicapai dan dipertahankan oleh setiap orang, siapapun dia. Sayangnya, realita menunjukkan adanya hubungan sosial yang berjangka panjang dan pendek. Hubungan sosial berjangka panjang, bila dapat dikatakan, tatkala individu merasa dekat kepada individu lain dan hubungan tersebut bertahan lama. Ini tentunya kait mengait dengan sikap penerimaan, belas kasih, dan integritas individu tersebut terhadap individu atau kelompok lainnya.

Banyak figur dapat dijadikan contoh, salah satunya Presiden Jokowi, figur yang mampu membangun hubungan baik yang bertahan lama atau berjangka panjang. Salah satu contoh dari tindakannya membangun hubungan baik terlihat saat belum banyaknya dukungan partai politik kepada dirinya saat mencalonkan diri sebagai presiden di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 silam.

Namun seiring berjalannya waktu Presiden Joko Widodo berkonsolidasi dengan partai-partai politik yang berseberangan dengannya di Pilpres 2014 selama masa kepemimpinannya. Sangat jelas ia berhasil membangun hubungan baik dengan partai-partai lain sehingga di Pilpres 2019 hubungan yang terbangun selama hampir lima tahun itu berbuah manis, Presiden Joko Widodo memperoleh banyak dukungan partai-partai politik yang berpotensi mendulang suara signifikan untuk melanjutkan kepemimpinannya di periode berikut.  

Ini cukup menyimpulkan hubungan baik yang dibangun oleh Presiden Joko Widodo terhadap partai-partai politik yang dulu berseberangan dengannya menjadi cair dan kini bersinergi mendukung satu dan lainnya.

Hubungan sosial berjangka pendek, kurang lebih berlawanan dari sikap-sikap yang menunjukkan hubungan baik berjangka panjang, yakni lebih mengarah kepada kepentingan diri atau kelompok yang mendukungnya sehingga nampak sikap pengabaian ide dan praktik individu atau kelompok lain yang berbeda dengannya, sikap acuh memandang kesulitan individu atau kelompok lain, dan ketidaksesuaian individu tersebut dalam perkataan dan perbuatan.

Bila dapat diandaikan sebagai contoh, soal meluapnya sungai ciliwung beberapa hari lalu mendatangkan banjir di kota Jakarta dan sekitarnya dan menjadi headline di media-media sosial untuk beberapa waktu. Luapan sungai ciliwung menyebabkan ribuan penduduk Jakarta harus mengungsi dan menetap di permukiman-permukiman yang tidak terdampak banjir.

Perasaan warga Jakarta yang terdampak banjir mungkin beragam, sedih, marah atau bingung mencari cara mengatasinya. Mungkin perasaan itu juga dirasakan oleh Gubernur DKI, Anies Baswedan terhadap langkah-langkah taktis yang harus dilakukannya secara cepat. Menarik di sini, banjir dialami warga Jakarta juga dialami warga Tangerang Selatan dan Bekasi namun media-media online ramai membicarakan banjir di Jakarta dan mengaitkan banjir tersebut dengan kinerja Gubernur DKI, Anies Baswedan. Ia diolok-olok hanya dapat menata kata daripada menata kota.

Meme-meme ditimpakan kepadanya tanpa ada perlawanan (klarifikasi) berarti darinya. Seperti seorang jatuh ditimpa tangga, ia dibandingkan pula dengan gubernur sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dikatakan memiliki kemampuan manajerial tinggi dalam menata kota. Dalam arti, banjir yang disebabkan volume air berlebihan di sungai ciliwung hingga meluap dan menggenangi beberapa titik di kota Jakarta dikarenakan ketidakmampuan Anies dalam menata kota, terutama menormalisasi sungai sebagaimana telah dilakukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) ketika ia memimpin Jakarta.

Mengapa netizen ramai mempersoalkan kinerja Anies dan membandingkan dengan Ahok?  Tentu dapat dijawab dalam berbagai perspektif, salah satunya adanya sejarah polarisasi masyarakat yang cukup kuat pada masa Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2017 silam yang belum terselesaikan.

Sekalipun terlihat adanya tata kata Anies untuk merajut kembali kerukunan warga Jakarta pasca pilgub ternyata tidak nampak pada tataran konkritnya. Konsolidasi terhadap kelompok yang berseberangan dengannya saat Pilgub lalu tidak berbentuk atau terkesan dibiarkan.

Di sini menjadi catatan tersendiri bahwa membangun hubungan baik tentunya bermula dari kata atau janji. Janji merajut kembali kerukunan warga Jakarta yang tidak muncul di permukaan. Membangun hubungan baik tidak mudah, ia akan menjadi sementara atau berjangka pendek saat kata atau janji tidak terealisasi.

Bencana banjir di Jakarta yang seharusnya mendapat perhatian dan dukungan moril dari seluruh warga Jakarta, kini menjadi catatan betapa pentingnya membangun hubungan baik berjangka panjang.

***