Keajaiban Bernama Anies

Itu sebenarnya alasan terbaik Jokowi untuk sesegera mungkin memindahkan ibukota, mengingatkan bahwa ini kota yang semestinya sudah lama dan segera harus ditinggalkan.

Kamis, 25 Juli 2019 | 07:51 WIB
0
812
Keajaiban Bernama Anies
Anies Baswedan (Foto: Detik.com)

Membicarakan Anies Baswedan (AB) di hari ini, sungguh seperti orang kurang kerjaan. Bagai mengusap-usap lampu yang kita berharap ajaib. Seajaib karakter dan kepribadian sosok hyper-antagonis ini. Lain di muka, lain di punggung.

Saya sesungguhnya sudah malas betul menuliskannya, karena sungguh membebani, membayangkan kami sama-sama lahir dan dibesarkan di kota yang sama. Kota yang saya masih harapkan masih menyisakan hal-hal yang bersifat keluhuran. Sialnya saya nyaris hidup tanpa ambisi, sebagaimana umumnya orang Jawa khas Jogja, yang hidup sekedar mampir haha hehe. Hidup yang bersahaja saja.

Sebaliknya dia sedemikian ambisius, akseleratif, sangat instant, dan tentu saja nyaris tanpa bekal rasa malu. Ia sungguh laki-laki yang yang beruntung, bagaimana tidak?! Sepulang sekolah dari Amerika ia tiba-tiba bisa jadi rektor, tanpa pernah mengecap punya status jadi dosen. Apalagi sekedar Ketua Jurusan, seorang Dekan, atau malah Pembantu Rektor.

Bummm... tiba-tiba jadi rektor. Di sebuah perguruan tinggi yang konon dilahirkan oleh cendikiawan Islam Indonesia paling otentik!

Ketika ia menang jadi Guberneur dengan menggunakan masjid sebagai basis kampanye, dengan menggunakan agama sebagai alat menangguk suara, bahkan secara keji menyisihkan rivalnya dengan isu penistaan agama. Sesuatu yang harusnya selesai dengan permohonan maaf, tapi secara sukarela harus dilakoni pelakunya dengan hukuman 2 tahun penjara.

Masalahnya adalah bila bicara di mimbar, seolah ia keturunan nabi ke sekian. Anehnya sampai hari ini, ia belum lagi menunaikan rukun Islam kelima untuk beribadah haji. Apakah ia tidak mampu? Harusnya lebih dari mampu.

Dalam dunia retorika "mampu" itu sesuatu yang dianggap sama sekali tidak penting. Karena yang lebih penting adalah "mau". Hal ini menjelaskan mengapa nyaris semua program kerja yang dijalankan AB adalah berdasarkan "keinginan"-nya pribadi dibandingkan "kebutuhan" warga Jakarta yang sebenarnya menjadi tempatnya untuk mengabdi dan melayani.

Pemimpin sejenis ini akan selalu berlindung di balik sifat populis, tapi sebenarnya tak pernah benar-benar punya gerakan riil. Dia tergila-tergila dengan bambu, tapi nyaris tak pernah memahami makna kearifan di dalamnya.

Ketika ASIAN Games berlangsung, ia menggunakan bambu sebagai tiang bendera negara peserta. Belakangan baru orang tahu bahwa nilai perbambu untuk proyek-proyek seperti ini hampir seharga Rp300 ribu perbatang. Nyaris tiga puluh kali lipat dari harga riil sesungguhnya di tingkat pasar.

Hal sama yang diulang pada karya instalasi Getah Getih di Bundaran HI, yang beberapa hari lalu dibongkar.

Dalam kasus terakhir sebenarnya debatable tentang nilai proyeknya. Karena harga Rp550 juta itu bisa sangat relatif bagi sebuah karya seni. Bisa sangat mahal bila dinilai dari harga material dan biaya tenaga kerjanya, tapi bisa sangat murah bila dilihat gagasan atau reputasi senimannya.

Masalahnya adalah, ketika ia kemudian malah melecehkan bambu itu sendiri sebagai materi untuk berkarya. Ia bilang wajar belum lagi setahun bambu itu dibongkar, karena tidak tahan lama, rawan polusi, bla bla bla.

Mungkin ia lupa, sebelum ada jembatan beton, semua jembatan di Jawa pada masa lalu terbuat dari bambu yang tahan puluhan tahun, terpapar hujan dan terik matahari. Pun demikian, banyak rumah bambu karena perlakuan pra-konstruksinya sangat baik. Direndam dalam air berbulan lamanya, ia bisa tahan dari bubuk selama puluhan bahkan nyaris seratus tahun. Lah ini?

Saat pengumuman hasil Pilpres lalu, tiba-tiba ia pergi ke Jepang untuk urusan yang tak seorang pun menganggap penting. Dianggap "tinggal glanggang, colong playu", meninggalkan rumah dan warganya, seolah cuci tangan. Saat ia pulang, tiba-tiba ia berfoto ikut menandu korban yang tak lain adalah pelaku kerusuhan. Ia mengabaikan begitu saja warga yang lainnya, yang tak lain justru adalah korban tak bersalah, tak bermasalah, tapi menjadi korban yang dijarah.

Dari sini saja, sudah sangat jelas ke mana arah selera politiknya ke depan. Maka menjadi tak aneh bila seorang HTI-ist seperti Felix Siauw bebas berkeliaran di Masjid Balai Kota, bahkan seolah lalai ia mengundang HTI sebagai ormas resmi yang sebenarnya sudah terlarang.

Bila kemudian ia berbohong tentang pulau-pulau reklamasi, yang dulu dalam kampanye ditentangnya habis, tiba-tiba malah diberinya IMB secara diam-diam. Lalu apa yang aneh? Justru yang aneh, bila kita merasakan hal itu suatu keanehan!

Dan bila hari-hari ini, bila banyak yang kembali nyinyir karena ia seolah menyembunyikan atau menutup rapat isu bahwa ia punya istri kedua. Bahkan untuk memanipulasinya di depan publik, menyebut istrinya sebagai first lady, media kembali gondok! Ia dianggap lebay! Bukan saja karena danggap "nggege mangsa", mendahului kehendak yang kuasa bahwa seolah ia bakal jadi presiden selanjutnya.

Isu seperti ini sebenarnya hal basi yang sudah lama terdengar, dan dengan mudah dapat ditunjuk hidung siapa si perempuan itu! Mangsalahnya buat kita? Apa setelah kita bisa membongkarnya lalu ia jatuh malu, lalu bersedia mundur? Atau sebaliknya lalu kita bisa buat petisi untuk memecatnya? Tak ada perlu dan gunanya!

Anies Baswedan itu ajaib! Ia bisa dengan seenaknya membolak-balik logika! Ia selalu mendapat previlege untuk berjalan di atas alur yang tidak normal. Tidak ada orang yang mencintainya, tapi banyak yang menginginkan dan membutuhkannya. Ia anomali! Dan anomali dalam batas-batas tertentu memiliki daya tahan yang luar biasa.

Pelan-pelan saya makin bisa memahami, mengapa ia yang akhirnya terpilih jadi gubernur untuk kota seperti Jakarta. Ia memang pantas untuk waktu yang tepat! Kota ini sendiri adalah gudang dan biangnya birokrasi yang anomali: yang mungkin nyaris 90% ASN-nya adalah para penikmat korupsi, pelaku manipulasi dan penggemar kroni-isme. Kota yang membuat frustasi siapa pun yang ingin memperbaiki.

Setiap hari yang dilakukan Anies adalah menantang kehendak alam. Ia melecehkan logika kewajaran dan niat baik kewarasan. Sebenarnya tugas kita sudah semakin ringan (asal kita mau bersabar) menanti alam menunjukkan kuasanya! Kehancuran sesungguhnya yang tak terperi...

Itu sebenarnya alasan terbaik Jokowi untuk sesegera mungkin memindahkan ibukota Indonesia! Mengingatkan bahwa ini memang kota yang semestinya sudah lama dan segera harus ditinggalkan.

***