Sindir Sandiaga Uno, Puisi Susi Lebih Mantap Dibanding Fadli

Kamis, 14 Februari 2019 | 21:07 WIB
0
303
Sindir Sandiaga Uno, Puisi Susi Lebih Mantap Dibanding Fadli
Puisi Susi kepada Sandiaga, Puisi Fadli Zon yang aneh [Kompasiana.com/tilariapadika]

Bisa jadi besok lusa kita bangun pagi menemukan puisi sudah punah. Ia terbunuh, tinggal tubuh. Jiwanya musnah, seperti kemasan roti tanpa isi, selayaknya sampah.

Generasi lima tahun mendatang akan tak kenal lagi elok rupa dan cantik jiwa puisi. Bukan karena orang-orang berhenti memilah kata dan merajutnya jadi kalimat jamak makna indah ditembang. Bukan! Adalah para politisi receh Senayan -polres- biang keroknya.

Para politisi itu menyobek-nyobek daster puisi, menungganginya dengan jiwa hampa, melilitkan rantai pada lehernya, dan menarik ke manapun mereka suka.

Mereka tak cuma jadikan puisi alat 'propaganda'. Demikian anak-cucu manikebu menjuluki puisi-puisi yang menceritakan senyatanya pahit hidup jelata. Tak mengapa jika begitu. Toh puisi-puisi 'propaganda' sudah bikin Indonesia merdeka, juga sudah bikin Soeharto tersungkur.

Kata-kata memang seharusnya memilih posisi, ngaceng setegak mungkin menantang kelas penguasa, jangan malu. Tetapi puisi 'propaganda' yang baik adalah yang tinggi seninya, tinggi politiknya.

Puisi-puisi di lini massa twitter politisi Senayan jauh rendahnya dari sebuah 'propaganda'. Paras puisi-puisi itu layaknya ikan-ikan betina dalam jejeran aquarium di  Mangga Besar. Pupur tebal dan goresan pensil alis melenceng 3 senti dari kewajaran tak mampu sembunyikan usia, lelah, juga jejak tembakau dan alkohol dari sana.

Sementara jiwa-jiwa puisi itu tak beda kondisi batin makelar ISIS seusai membaiat sepasang pengantin jadi anggota. Tak ada jiwa di sana, hanya golak amarah licik dan kebencian tanpa alasan.

Jika harus menuding biang kerusakan ini, ringan jemari saya menunjuk batang hidung Fadli Zon. Ia yang paling gemar menunggangi puisi, menyusun rangkaian kalimat vulgar menyudutkan lawan menjadi seolah-olah puisi hanya karena berima akhir.

Elit-elit politik lain cuma pengekor Fadli, para pembalas cemo'oh yang juga merangkai kata-kata menjadi seolah-olah puisi.

Di mulut Fadli dan para politisi pengekornya, puisi bukan lagi  sastra penyampai pesan-pesan kemanusiaan kepada khalayak luas dalam format mampat terkondensasi oleh bantuan unsur-unsur metafora. Puisi bukan lagi ungkapan sedih, marah, gembira, takjub, tercerahkan, dan lain-lain kedalaman rasa yang terbit dalam diri penulis oleh perenungan peristiwa spesifik, yang berguna disampaikan kepada khalayak sebab berkesuaian--oleh karena universalnya--pesan-pesan itu dengan peristiwa-peristiwa unik yang dijumpai tiap-tiap pembaca.

Puisi Fadli dan para pengekornya tidak lebih dari pernyataan langsung dan telanjang menyerang lawan-lawan politik, menggunakan diksi metaforis namun sebenarnya terang-benderang memanipulasi satu peristiwa sempit, mendikte pembaca memaknai peristiwa spesifik itu seturut kehendak penciptanya.

Lihat saja untaian kalimat menyerupai puisi yang berjudul "Doa yang Ditukar". Fadli merekonstruksi secara manipulatif peristiwa KH Maimun Zubair salah ucap nama dalam doa. 'Kau' yang dimaksud--meski Fadli mungkin oleh ketakutan dan inkonsistensinya membantah sendiri kata-katanya yang telanjang--adalah KH Maimun Zubair sendiri. Fadli menuding kyai sepuh itu menukar doa setelah direvisi bandar (ia maksudkan Presiden Jokowi) dan dibisiki kacung makelar (ia maksudkan Rommy Ketua PPP).

Fadli memanipulasi kelemahan orang tua yang kalah ingatan oleh cepatnya hari berlari. Fadli menjungkirbalikkan keadaan, dari kepikunan yang patut berhadiah simpati menjadi aib, seolah-olah seorang kyai sepuh sedemikian rendahnya berdagang doa. Bagi Fadli, tak ada sepuh, tak ada kiyai, hanya yang sepilihan politik dengannya patut dihormati.

Lazimnya para penyair mencuri peristiwa nyata dan menjadikannya metafor atau alegori agar perjumpaan subjektif dengan peristiwa itu menghasilkan pesan-pesan universal bagi pembaca saat berjumpa peristiwa masing-masing. Dalam "Doa yang Tertukar'  Fadli Zon justru sebaliknya. Segenap semesta diarahkan untuk memaknai satu perisiwa sempit--KH Maimun Zubair keliru mengucapkan nama dalam doa--seturut kehendak Fadli.

Mau bagaimana lagi? Fadli Zon sudah menciptakan tren baru, sudah jadi wabah menjangkiti elit-elit politik seperti demam berdarah berlocatan di tubuh anak-anak buruh di kampung pinggiran sungai.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti bahkan turut terjangkit demam menyampaikan pesan dalam untaian kalimat seolah-olah puisi. Namun syukurlah, Menteri Susi membuatnya jauh lebih bermartabat dibandingkan yang dipertontonkan Fadli Zon.

Di tepi pantai, entah pantai mana, sepertinya sebuah tanjung, berlatar pegunungan dan perahu-perahu tertambat sauh, berdeklamasi Menteri Susi.

"Kaubilang mama, kawan, papa,
dan semua orang dekatku
bicara begini dan begitu
Kutanya dan kucek,
ternyata kau bohong."

'Puisi' berjudul "Kau Bohong" tidak bersolek menor seperti 'puisi' Fadli.  Dua kalimat penyusunnya kering rima. Tetapi kita bisa temukan unsur metafor dalam puisi itu, yaitu 'mama, kawan, papa, semua orang dekatku'. Saya kira mereka bukan sungguh-sungguh mama, kawan, dan papa Menteri Susi.

Mereka bisa mengacu kepada siapapun, semua orang yang dikenali Menteri Susi, atau publik luas dan anonim. Saya menafsirkannya sebagai para nelayan, orang-orang yang Menteri Susi sudah anggap kawan, mama, papa sebab merekalah yang pertama-tama Susi pedulikan kepentingannya.

Lantas siapa 'kau' dalam puisi Susi?

Jika si 'kau' disandingkan dengan 'bohong' lalu ditempatkan dalam konteks peristiwa-peristiwa di sekeliling Menteri Susi, saya duga ia adalah Sandiaga Uno, special friend yang Susi maksud.

Akhir tahun kemarin, berlanjut hingga Januari ini, Sandiaga Uno banyak berkampanye di kalangan nelayan. Ia bertindak seolah-olah nabi yang menyuarakan penderitaan para nelayan.

Kenyataannya, ketika perwartaannya ditelusuri, Sandiaga lebih tampak sebagai koki amatiran yang melemparkan sembarang bumbu apapun yang bisa teraih ke tubuh ikan kakap merah dalam panggangan yang sejatinya hanya perlu olesan garam dan bawang putih. Hasilnya, jauh dari mengundang selera, kisah-kisah penderitaan nelayan itu lebih mirip iklan vitamin perusahaan multilevel marketing.

Maka sangat mungkin memang tentang Sandiaga dan kepada Sandiaga lah Menteri Susi berpuisi.

Tetapi terlepas dari dugaan saya, Susi menyembunyikan dengan baik peristiwa yang melahirkan puisi itu dan tentang siapa unsur-unsur dalam puisi itu. Ini berbeda jauh dengan puisi Fadli Zon.

Puisi Fadli Zon tidak bisa digunakan untuk merenungkan peristiwa-peristiwa lain. Cobalah membaca rangkaian kata "Doa yang Ditukar" itu, tak bisa kita enyahkan bayangan wajah KH Maimun Subair dan peristiwa ia salah menyebut nama di sana. Puisi yang tidak bisa merdeka dari maksud penyairnya adalah keping receh terkecil.

Berbeda halnya dengan dua kalimat 'seolah-olah puisi' Susi Pudjiastuti. Seorang remaja bisa saja membacakan itu kepada kekasihnya, dan si kekasih akan sungguh menyangka kata-kata itu merajam dirinya. Seorang istri  mungkin menyambut suami di pintu rumah sambil membacakan puisi itu. Sang suami, yang siang tadi begituan after-lunch dengan kawan kantor akan merasa semua rahasia terbongkar sudah dan segera berlutut mohon ampunan istri.

Prabowo dan Sandiaga boleh pula membacakan 'puisi' Susi Pudjiastuti saat usai Pilpres nanti mengevaluasi tim suksesnya atas lagi-lagi kegagalan menjadi presiden.

Puisi yang baik memang seharusnya mandiri, yang begitu lahir dari pena penyair segera berlari menuju pelukan tiap-tiap pembaca dan menjadi seperti apapun yang pembaca kehendaki.

Ya. Fadli Zon harus belajar banyak hal dari Susi Pudjiastuti. Dari Susi, ia bisa belajar membuat puisi yang benar, juga yang terpenting belajar bertanggungjawab mengerjakan tugas-tugasnya sebelum membuka mulut menyerang lawan-lawan poitik.

 

***