Politik Islam Pasca Suksesi; Mencari Kambing Hitam

Indonesia takkan terpecah-belah akibat suksesi politik karena sejatinya mereka bangsa yang sangat menghargai dan menghormati keragaman dan toleransi!

Rabu, 1 Mei 2019 | 07:05 WIB
0
212
Politik Islam Pasca Suksesi; Mencari Kambing Hitam
Ilustrasi (Foto: Berdakwah.net)

Dalam sejarah panjang politik Islam di Indonesia, selalu saja ada yang menyatukan berbagai perbedaan pandangan teologis: adanya kambing hitam. Sejak abad ke delapan belas, pemerintah kolonial memberlakukan berbagai tekanan politik terhadap Islam, bahkan dalam banyak hal mereka benar-benar memandang Islam sebagai kekuatan politik yang paling ditakuti.

Wajar, jika kemudian pemerintah membuat banyak aturan yang membatasi ruang gerak Islam politik. 

Dari mulai kebijakan peradilan agama, pengawasan terhadap perkawinan dan pendidikan Islam, ordonansi guru, hingga pengawasan terhadap kas masjid dan ibadah haji, semata-mata diberlakukan demi membatasi aspek kepolitikan umat Islam. 

Perbedaan-perbedaan aliran teologis dan kebudayaan dalam Islam di Indonesia, berhasil disatukan dengan membuat kambing hitam bahwa Belanda merupakan "pemerintahan kafir" sehingga harus dilawan bersama-sama.

Jauh diwilayah luar Nusantara, abad ke sembilan belas dan awal abad kedua puluh, Barat mempersepsikan bahwa komunisme merupakan kambing hitam sehingga harus dilawan melalui cara-cara politik. 

Di bawah kendali Ronald Reagen, komunisme menjadi kambing hitam yang mendorong persatuan dunia Barat sehingga komunisme terpaksa bertekuk lutut dan mengalami kegagalan akibat sistem internalnya sendiri yang tidak efisien ditengah kuatnya arus kapitalisme global. 

Pendulum politik kemudian berubah, segera setelah komunisme mengalami kehancuran, dunia Barat mencari kambing hitam baru dan mereka menemukannya pada fundamentalisme Islam. Teroris-teroris Timur Tengah, Palestina, Libya, dan Syria dalam film dan pers Barat dijadikan musuh utama dalam kepentingan politik mereka.

Kekhawatiran atas apa yang digambarkan Barat sebagai gerakan fundamentalisme Islam, saya kira, sulit untuk diubah hingga saat ini. tidak salah, ketika Edward Said memberikan sketsa yang begitu sempurna dalam bukunya "Covering Islam" yang melukiskan betapa pers Barat seringkali berada dalam pengaruh-pengaruh kepentingan politik yang senantiasa memerlukan kambing hitam. 

Bukan suatu kebetulan, ketika fundamentalisme Islam diasumsikan sebagai penebar teror dan ketakutan sebagaimana tuduhan mereka kepada para pemimpin politik di Timur Tengah. Contoh paling konkrit barangkali perang Irak melawan Kuwait yang notabene ditunggangi Amerika Serikat dan didukung Perancis dan Inggris yang tentu saja memberikan keuntungan kepada Kuwait.  

Untungnya, Islam Indonesia memiliki kekhasan tersendiri yang sulit dianeksasi pihak asing, bukan karena sistem ideologi keagamaannya yang menancap kuat, namun --sebagaimana pandangan Wilfred Cantwell Smith-- sebagai "satu-satunya kelompok Muslimin di dunia dewasa ini yang memiliki liberalisme pribumi yang kuat dan kuno".

Islam politik di Indonesia sekalipun memiliki sejarah rangkaian yang panjang dalam mendapatkan berbagai macam tekanan politik --sejak masa kolonial bahkan berlanjut di era Orde Lama bahkan Orde Baru-- tidak pernah sedikitpun meninggalkan jejak fundamentalis-nya yang dipandang sebagai musuh Barat secara politik.

Keunikan Islam di Indonesia barangkali sesuai dengan apa yang diungkap Smith, sebab memiliki "liberalisme pribumi yang kuat", dimana struktur budaya dan nilai yang telah lebih dahulu tertanam dalam benak masyarakat, serasi dengan nilai-nilai Islami yang dibawa oleh para penyebarnya terdahulu. 

Hal ini jelas dapat dibuktikan dalam berbagai kenyataan sejarah, betapapun umat Islam berpolemik dalam konteks politik-kekuasaan, namun hampir tak pernah terjadi konflik berkepanjangan atau perang saudara yang memecah-belah kekuatan-kekuatan politik Islam. Polemik tak lebih dari persaingan "aliran" ideologis yang berkutat pada masalah-masalah yang kurang prinsipil.

Jika suatu kesatuan politik senantiasa mencari kambing hitam, maka menarik ketika kita melihat Islam politik di Indonesia pasca suksesi nasional ini. 

Sekalipun kenyataan politik belakangan tampak begitu sengit dalam mempropagandakan kemenangan-kemenangan dalam hal suksesi politik nasional, namun sepertinya ada upaya pengkambing hitaman yang sedemikian massif yang digelorakan oleh "umat Islam", yaitu kecurangan dalam hal perhitungan suara. 

Saya menyebut "umat Islam" karena sejatinya kelompok inilah yang dirasa menonjol dalam berbagai lini media konvensional terlebih media sosial. Mereka yang kerap diasosikan sebagai kelompok "fundamentalis" seolah juga dijadikan kambing hitam oleh sementara kalangan demi meyakinkan kebenaran-kebanaran klaim politis mereka.

Politik Indonesia pasca suksesi nasional seolah mempertontonkan klaim kambing hitam yang pada akhirnya dapat menjadi ajang persatuan bagi masing-masing kelompok, dan "umat Islam" tentu saja paling mendominasi dalam konteks perebutan wacana politik saat ini. 

Saya sendiri cenderung meyakini, bahwa pertarungan dalam mencari kambing hitam akan terus berlanjut, bahkan selepas ketetapan siapa yang memenangkan ajang kontestasi politik lima tahunan ini. 

Bukan tidak mungkin, isu-isu komunisme, tenaga kerja asing, liberalisme, dan fundamentalisme akan selalu mewarnai diskursif kepolitikan di negeri ini. Itulah barangkali, "personifikasi" kambing hitam yang sengaja dipersiapkan dalam rangka menyatukan berbagai kekuatan politik yang ada.

Tak perlu heran atau bertanya-tanya soal mengapa agama seringkali menjadi "skenario religius" dalam berbagai persoalan politik, khususnya di Indonesia. Jauh-jauh hari, Bapak Ilmu Perbandingan Agama, Abdulfatah Muhammad bin Abdul Karim asy-Syahrastani (1077-1153) dalam suatu karyanya "al-Milal wa an-Nihal" mengeluhkan bahwa "semua pertikaian dan fitnah dalam bidang agama dimulai dari bidang politik". 

Sekalipun zaman berubah, toh pertikaian dan persaingan politik seringkali timbul oleh gesekan-gesekan "ideologis" yang pada akhirnya menimbulkan semangat keagamaan dengan menghadirkan sebuah kambing hitam dalam konstelasi politik. 

Dalam internal muslim Indonesia sendiri, "fundamentalisme" yang dituduhkan kepada para pengikut Wahabi pernah menjadi kambing hitam yang menjadikan kelompok tradisionalis bersatu membendungnya.

Hasil akhir dari suatu kontestasi politik nasional, tentu saja bagaimana caranya mereka mencari kambing hitam yang pada akhirnya sedikit banyak akan mempengaruhi siapa pada akhirnya yang "secara politis" memenangkan ajang kontestasi. 

Pertarungan mencari kambing hitam ini begitu sangat dirasakan, terutama dalam ruang-ruang non verbal di media sosial. Bukan tidak mungkin, bahwa media-media Barat juga tampaknya memiliki kepentingan atas suksesi politik di negeri ini dengan tidak mendukung kalangan "fundamentalis" yang sejauh ini dipersepsikan mereka. 

Jika Barat memandang "fundamentalisme" sebagai kambing hitam dan tentu saja tidak mendukung salah satu kontestan yang dianggap mendapat dukungan kaum "fundamentalis", maka secara internal, "umat Islam" Indonesia sepertinya mengkambing hitamkan kecurangan perhitungan suara dan liberalisme Barat sekaligus. 

Namun yang pasti, sekalipun masing-masing seringkali menggaungkan kambing hitam, Indonesia tak akan terpecah-belah karena suksesi politik karena sejatinya mereka adalah bangsa yang sangat menghargai dan menghormati keragaman dan toleransi!  

***