Ketika ulama melakukan Ijtima' dalam rangka ber-Ijtihad mencari figur seorang pemimpin Muslim, yang sesuai dengan kaidah Keislaman, agar bisa diterima masyarakat yang mayoritas Muslim, seharusnya upaya ini adalah murni karena kebutuhan mencari pemimpin Muslim yang kaffah, bukan karena kepentingan lain.
Ijtima' dilakukan adalah untuk sebuah kemufakatan, namun kemufakatan pun harus memenuhi dasar nilai-nilai yang dibutuhkan, dan memenuhi persyaratan secara Syar'i. Itulah seharusnya yang menjadi esensi dalam mencari seorang pemimpin Muslim.
Usamah Hisyam, penasehat Persaudaraan Alumni 212 memberikan masukan didalam Ijtima' Ulama, saat awal-awal penentuan siapa yang layak untuk dicalonkan sebagai Capres. Usamah menganggap Prabowo bukanlah Calon yang tepat untuk dicalonkan Dalam forum Ijtima', sehingga Prabowo sempat memukul meja yang ada didepannya.
Tidak ada yang salah, baik usamah maupun Prabowo. Usamah punya sudut pandang sendiri dalam hal kriteria pemimpin Muslim, sementara Prabowo hadir Dalam forum tersebut Karena memang diundang sebagai Capres pilihan yang dianggap tepat karena memiliki Massa Partai yang cukup banyak.
Yang menjadi persoalan adalah, kalau Ijtima' Ulama tujuannya mencari pemimpin Muslim yang kaffah, tentunya calon yang diajukan adalah Capres yang memang memenuhi ketentuan yang sesuai dengan Syar'i, dan tentunya Prabowo tidaklah memenuhi kriteria tersebut.
Menjelang sesi pertama berakhir, Usamah lalu memberikan masukan dengan meminta para kiai membahas tafsir 'pemimpin muslim' sesuai surah Al-Maidah Ayat 51.
"Apakah pemimpin muslim minimalis atau pemimpin muslim kaffah? Kalau pemimpin muslim kaffah, setidaknya kita harus tahu persis bahwa calon pemimpin harus bisa menjadi imam salat, fasih membaca Al Fatihah dan surah pendek, bisa mengaji,"
Tapi ternyata memang Ijtima' Ulama tersebut hanyalah kemasan, agar ummat Islam tahu, bahwa Capres yang diajukan adalah merupakan pilihan para Ulama, merupakan hasil dari Ijtihad para Ulama dalam Ijtima' Ulama. Inilah 'label' yang dibutuhkan sebenarnya secara politisi, agar menjadi 'Branding' pemimpin Muslim.
Gebrakan meja yang dilakukan Prabowo adalah sebuah proses intimidasi, sebuah reaksi kekecewaan, yang terjadi berikutnya adalah, Prabowo ditetapkan sebagai Capres hasil Ijtima' Ulama, dan itu Satu hal yang tidak lagi bisa dibantah, persyaratan secara Syar'i pun diabaikan.
Artinya, Ijtima' Ulama tersebut tidak memiliki fungsi sebenarnya, tujuan sebenarnya sudah diabaikan. Padahal, kepatuhan terhadap Ulama dalam menentukan seorang calon pemimpin Muslim tidaklah bisa diabaikan, Karena tanging Jawan tersebut nantinya akan dibebankan dipundak para Ulama.
Drama selanjutnya adalah, ketika Ijtima' Ulama memilih Cawapres, secara persyaratan tentu kriterianya sama dengan memilih Capres. Namun, lagi-lagi Cawapres yang diusulkan dalam Ijtima' Ulama, yang dianggap memenuhi persyaratan yang sesuai dengan Syar'i, ditolak Prabowo, Karena dianggap tidak sesuai dengan keinginannya.
Sulit difahami, nilai Ijtima' Ulama itu tidak ada harganya sama sekali, dan forum Ulamanya sendiri tidak kuasa untuk konsisten dengan apa yang sudah mereka sepakati, dan akhirnya tunduk pada kekuatan tekanan Partai yang dominan. Habib Riziek Shihab sendiri tidak berdaya.
Lantas apa tujuan dari diadakannya Ijtima' Ulama,? Ya hanya sekedar untuk mengejar 'Label' Capres dan Cawapres pilihan Ulama, selain itu tidak ada, Ijtima' Ulama itu tidak ada fungsinya sama sekali. Ijtima' Ulama itu sama halnya dengan forum biasa, yang tidak memiliki nilai-nilai keagamaan.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews