Intimidasi dalam Drama Ijtima'Ulama

Selasa, 5 Maret 2019 | 15:48 WIB
0
254
Intimidasi dalam Drama Ijtima'Ulama
Foto : geotimes.id

Ketika ulama melakukan Ijtima' dalam rangka ber-Ijtihad mencari figur seorang pemimpin Muslim, yang sesuai dengan kaidah Keislaman, agar bisa diterima masyarakat yang mayoritas Muslim, seharusnya upaya ini adalah murni karena kebutuhan mencari pemimpin Muslim yang kaffah, bukan karena kepentingan lain.

Ijtima' dilakukan adalah untuk sebuah kemufakatan, namun kemufakatan pun harus memenuhi dasar nilai-nilai yang dibutuhkan, dan memenuhi persyaratan secara Syar'i. Itulah seharusnya yang menjadi esensi dalam mencari seorang pemimpin Muslim.

Usamah Hisyam, penasehat Persaudaraan Alumni 212 memberikan masukan didalam Ijtima' Ulama, saat awal-awal penentuan siapa yang layak untuk dicalonkan sebagai Capres. Usamah menganggap Prabowo bukanlah Calon yang tepat untuk dicalonkan Dalam forum Ijtima', sehingga Prabowo sempat memukul meja yang ada didepannya.

Tidak ada yang salah, baik usamah maupun Prabowo. Usamah punya sudut pandang sendiri dalam hal kriteria pemimpin Muslim, sementara Prabowo hadir Dalam forum tersebut Karena memang diundang sebagai Capres pilihan yang dianggap tepat karena memiliki Massa Partai yang cukup banyak.

Yang menjadi persoalan adalah, kalau Ijtima' Ulama tujuannya mencari pemimpin Muslim yang kaffah, tentunya calon yang diajukan adalah Capres yang memang memenuhi ketentuan yang sesuai dengan Syar'i, dan tentunya Prabowo tidaklah memenuhi kriteria tersebut.

Menjelang sesi pertama berakhir, Usamah lalu memberikan masukan dengan meminta para kiai membahas tafsir 'pemimpin muslim' sesuai surah Al-Maidah Ayat 51.

"Apakah pemimpin muslim minimalis atau pemimpin muslim kaffah? Kalau pemimpin muslim kaffah, setidaknya kita harus tahu persis bahwa calon pemimpin harus bisa menjadi imam salat, fasih membaca Al Fatihah dan surah pendek, bisa mengaji,"

Tapi ternyata memang Ijtima' Ulama tersebut hanyalah kemasan, agar ummat Islam tahu, bahwa Capres yang diajukan adalah merupakan pilihan para Ulama, merupakan hasil dari Ijtihad para Ulama dalam Ijtima' Ulama. Inilah 'label' yang dibutuhkan sebenarnya secara politisi, agar menjadi 'Branding' pemimpin Muslim.

Gebrakan meja yang dilakukan Prabowo adalah sebuah proses intimidasi, sebuah reaksi kekecewaan, yang terjadi berikutnya adalah, Prabowo ditetapkan sebagai Capres hasil Ijtima' Ulama, dan itu Satu hal yang tidak lagi bisa dibantah, persyaratan secara Syar'i pun diabaikan.

Artinya, Ijtima' Ulama tersebut tidak memiliki fungsi sebenarnya, tujuan sebenarnya sudah diabaikan. Padahal, kepatuhan terhadap Ulama dalam menentukan seorang calon pemimpin Muslim tidaklah bisa diabaikan, Karena tanging Jawan tersebut nantinya akan dibebankan dipundak para Ulama.

Drama selanjutnya adalah, ketika Ijtima' Ulama memilih Cawapres, secara persyaratan tentu kriterianya sama dengan memilih Capres. Namun, lagi-lagi Cawapres yang diusulkan dalam Ijtima' Ulama, yang dianggap memenuhi persyaratan yang sesuai dengan Syar'i, ditolak Prabowo, Karena dianggap tidak sesuai dengan keinginannya.

Sulit difahami, nilai Ijtima' Ulama itu tidak ada harganya sama sekali, dan forum Ulamanya sendiri tidak kuasa untuk konsisten dengan apa yang sudah mereka sepakati, dan akhirnya tunduk pada kekuatan tekanan Partai yang dominan. Habib Riziek Shihab sendiri tidak berdaya.

Lantas apa tujuan dari diadakannya Ijtima' Ulama,? Ya hanya sekedar untuk mengejar 'Label' Capres dan Cawapres pilihan Ulama, selain itu tidak ada, Ijtima' Ulama itu tidak ada fungsinya sama sekali. Ijtima' Ulama itu sama halnya dengan forum biasa, yang tidak memiliki nilai-nilai keagamaan.