Joko Widodo (Foto: Agus Suparto)
Sebagian besar masyarakat Indonesia tahu siapa Jokowi. Tidak hanya populer karena menjabat sebagai presiden, tetapi beliau juga dikenal punya ciri, sikap dan kebiasaan unik.
Mulai dari cara berpakaian, berbicara, aliran musik kegemaran, makanan favorit hingga benda-benda 'antik' yang dimilikinya. Terakhir, ketika beliau masih menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, terungkap bahwa presiden yang senang menggunakan produk-produk lokal ini, ternyata kemana pun pergi suka membawa minyak angin. Ya, bisa disebut 'jimat' kantongan.
Apakah semua hal di atas masih dipertahankan hingga sekarang? Bisa dipastikan, masih diteruskan. Kalau kurang yakin, luangkan kesempatan bersama beliau sekali waktu. Dan itu pun kalau beliau bersedia dan protokoler mengizinkan.
Memasuki pertarungan Pilpres 2019, keunikan Jokowi kian disorot, baik oleh kelompok pendukungnya maupun kubu pesaingnya. Jika sorotannya berasal dari para pendukung, itu hal lumrah, perlu agar citra beliau tetap terjaga.
Akan tetapi menjadi luar biasa ketika sorotan itu berasal dari kelompok kompetitor. Mereka tidak sebatas menyorot hal-hal yang tampak secara fisik, namun lebih dari itu. Mereka bahkan mempersoalkan keasliannya dulu yang sekarang dianggap sudah berubah. Nah, hal ini wajib dijawab oleh Jokowi dan para penggemarnya.
Pertanyaannya, keaslian Jokowi yang mereka maksud itu apa?
Santun, ramah, kalem, dan tidak emosional. Itulah Jokowi di mata sebagian besar orang. Lalu apakah label khas tersebut semakin hari semakin hilang?
Tidak! Saya berani mengatakan hal ini. Tidak ada yang berubah dari Jokowi, termasuk pola hidup sederhananya. Ya, meskipun saya tidak berada dekat dengan beliau, namun setiap saat saya selalu meluangkan waktu untuk menonton, membaca dan mendengar tentang keseharian beliau. Maklum, saya penggemar berat beliau.
Bahkan kalau Jokowi pun ditanya hal serupa, beliau pasti akan menjawab hal yang sama. Tidak ada yang berubah.
Pernah suatu kali, salah seorang juru bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Ferry Juliantono, mengatakan begini: "Terus terang kalimat 'mau saya tabok' yang dikeluarkan Jokowi itu sangat tidak pantas. Apalagi dia presiden."
Ferry menyampaikan ini saat menanggapi reaksi Jokowi terkait hoaks PKI. Ferry menilai kata atau kalimat Jokowi berlebihan. Seharusnya Jokowi sebagai kepala negara tidak mengeluarkan kata "tabok". Jokowi diharapkan bersikap santai dan santun.
Lah masih untung Jokowi tidak menabok sungguh, kalau itu terjadi, kita tidak tahu lagi berapa banyak penilaian negatif terhadap beliau. Syukur amarah masih diluapkan lewat kata.
Sikap dan reaksi Jokowi tetap sangat wajar. Siapa yang tidak emosional dan marah besar ketika dituduh terus-menerus sebagai keturunan PKI? Padahal beliau di setiap kesempatan selalu memberi klarifikasi tentang hal itu. Tetapi faktanya, tuduhan yang sama selalu terulang, bahkan dibuat agar makin mengemuka supaya dipercayai publik.
Bayangkan saja jika tuduhan tersebut dialamatkan kepada Ferry atau Prabowo, mungkin reaksi mereka akan lebih dahsyat. Sampai "lebaran kuda" pun tidak akan selesai.
Jokowi itu bukan malaikat, beliau manusia biasa yang bisa jengkel dan marah. Harusnya Ferry tidak cuma menilai, tetapi sekaligus memberi contoh reaksi yang baik itu seperti apa.
Penilaian yang agak mirip terungkap lagi, dan kali ini tidak datang dari kubu oposisi, melainkan oleh seorang pengamat politik.
"Pak Jokowi bukan hanya ofensif, tapi emosional. Ini tidak begitu baik. Tidak begitu bagus. Mestinya Jokowi menjaga genuine-nya, originalitasnya. Kalau kita ikuti 4 tahun ini, Jokowi enggak begitu," Syamsuddin Haris, pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Siapa yang tidak marah ketika niat baik dan hasil kerjanya dinegasi orang lain?
Siapa yang tidak emosional ketika pesimisme terus ditebar di negeri yang sedang membangun ini? Siapa yang tidak jengkel ketika ada kelompok tertentu yang ingin melumpuhkan bangsa ini dengan virus hoaks? Siapa yang tidak tersinggung ketika keuangan negara disebut bocor tanpa ada fakta dan data valid?
Siapa yang tidak geram ketika hutang negara disebut digunakan hanya untuk kepentingan yang tidak produktif?
Jokowi sendiri sebenarnya sudah sering menjawab: "Masa suruh halus terus, ya kadang-kadang kita kan bosan. Boleh lah keras-keras sedikit."
Terbaru, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat, Rachlan Nashidik juga turut memberi penilaian yang tidak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan Ferry dan Haris, usai debat ke-2 capres pada Minggu, 17 Februari 2019 lalu.
“Pak Jokowi secara kentara berusaha keras untuk kelihatan pintar. Jadi beliau agresif, bicara fasih sekali mengenai data. Tapi saking dia agresifnya, dia jadi kelihatan sangar, kalau menurut saya,” ujar Rachlan di Media Center Prabowo-Sandiaga, kemarin (19/02/2019).
Namanya debat memang perlu menampilkan diri kelihatan pintar. Tidak mungkin tampil asal-asalan, apalagi terkesan cuma memenuhi kewajiban formal debat. Jokowi harus menyampaikan paparannya dengan gestur meyakinkan, termasuk menggunakan nada tegas.
Intinya, Jokowi mau menyampaikan kepada kita semua bahwa marah dan sedikit emosional pada saat dan tempat yang tepat itu harus dilakukan. Asalkan tidak terlalu sering dan tanpa alasan.
Yang penting, jangan seperti "tuan" yang satu itu, nada suara tinggi dan gebrak meja selalu menjadi kebiasaannya setiap saat.
Sekali lagi, Jokowi tidak pernah berubah. Beliau tetap konsisten menjaga orisinalitasnya.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews