Kivlan Zen dan Eggi Sudjana, Siapakah Mereka?

Kita yang membagi kabar palsu di media sosial tidak kurang tercelanya dibandingkan para penggerak massa bayaran dan propangandis narasi sesat yang wajahnya menghiasi layar tivi.

Senin, 13 Mei 2019 | 09:15 WIB
0
998
Kivlan Zen dan Eggi Sudjana, Siapakah Mereka?
Eggy Sudjana dan Kivlan Zen [Jogjainside.com]

Menipu itu dosa. Demikian semua agama mengajarkannya. Semua rekan saya yang menganut Islam berusaha untuk tidak menipu selama Ramadan, bulan yang dalam agama mereka dijatahkan khusus untuk memperbanyak pahala dengan melakukan hal-hal baik dan menghindari tindakan dosa.

Politik sejatinya adalah perjuangan mewujudkan gagasan-gagasan tentang kehidupan publik yang lebih baik. Mewujudkan gagasan-gagasan itu dibutuhkan kekuasaan. Demikianlah hakikat kekuasaan itu daya untuk memaksakan kehendak kepada publik. Demokrasi memastikan pemaksaan kehendak itu harus pula berasal dari publik. Publik yang mayoritas memaksa publik yang menyeluruh. Mayoritas memaksa semesta himpunan.

Di masa kini banyak politisi mereduksi hakikat politik menjadi sekadar perjuangan meraih kekuasaan. Makna politik dipenggal jadi tinggal separuh. Tujuannya dicampakkan, yang diambil hanya jalan menuju tujuan itu yang lantas dijadikan tujuan.

Namun jikapun demikian—jikapun politik direduksi menjadi semata-mata seni meraih kekuasaan—tidak lantas segala cara  termasuk menipu menjadi halal. Politik tidak boleh menyucikan penipuan. Penipuan harus tetap menjadi dosa.

Kenyataannya, tidak terhindarkan, penipuan senantiasa mewarnai dunia politik, terutama politik masa kini yang telah dipenggal maknanya menjadi sekadar seni meraih kekuasaan. Itu sebabnya pemilu tak pernah bebas dari kisah kecurangan.

Tak ada pemilu, di manapun dan kapanpun di muka bumi ini, yang seratus persen jujur dan fair. Seketat apapun sistem diutak-atik untuk mencegah kecurangan (penipuan), selalu lebih ketat lagi aktor-aktor berusaha mencari celah mengakali sistem.

Pemilu (dan pilpres) terkini telah dibuat sedemikian rupa agar para kontenstan dapat bertarung setara. Tak ada yang diuntungkan oleh sistem. Tak ada yang dianakemaskan oleh penyelenggara.

Tetapi sistem ini dijalankan oleh manusia. Komitmen menjadikan sistem itu berjalan dengan semestinya terletak pada nurani manusia-manusia yang menjadi kontestan, penyelenggara, dan pengawasnya. Urusan nurani sungguh relatif.

Maka kecurangan (penipuan) masih juga terjadi. Jika kecurangan antar-parpol bisa dibatasi, kecurangan antara caleg separpol malah kian kencang kecenderungannya.

Karena kunci utama pencegahan kecurangan terletak pada saksi-saksi di TPS dan dalam berbagai tingkatan pleno (kecamatan, kebupaten, provinsi, dan pusat), korban kecurangan paling banyak adalah caleg-caleg yang tidak memiliki akses terhadap saksi-saksi. Mereka adalah caleg-caleg nonpengurus parpol, apalagi caleg indekos (orang-orang yang tak punya keringat politik, baru bergabung dalam partai hanya ketika pemilu sudah di ambang).

Jika saksi di TPS melobi KPPS dan PPS, pun saksi di tingkat kecamatan melobi PPK, menyogok mereka untuk mengubah catatan perolehan antar caleg separtai, misalkan memindahkan suara caleg nomor 7 ke caleg nomor 1, siapa yang akan memprotes—atau bahkan sekadar menyadari—kecurangan itu? Caleg-caleg dari parpol lain sibuk dengan urusan suara parpol sendiri.

Ketika berada di Alor, kebetulan melintas depan KPU sesuai makan malam di pinggir pantai, seorang caleg perempuan mantan rekan kerja sedang memantau sidang pleno perhitungan suara di KPU minta saya mampir. Ia seorang aktivis perempuan dan maju untuk DPRD Provinsi.

Baca Juga: Menertawakan Pengetahuan Eggy Sudjana Yang Terbatas

Saya sempatkan diri singgah. Ia menceritakan tentang hilangnya vote yang ia peroleh. Ia tak punya akses terhadap dokumen C1 dari parpolnya. Bahkan pengurus tingkat provinsi partainya pun terhambat untuk mendapatkan dokumen C1. Beberapa hari sebelumnya, dalam sebuah diskusi tentang kecurangan pemilu, saya sudah mendengar keluhan serupa dari si ketua parpol tingkat provinsi itu. Karenanya si caleg perempuan ini menyandarkan informasi perolehan suaranya dari saksi-saksi caleg parpol lain.

Tetapi saksi parpol yang menghadiri rapat pleno KPU tidak bisa leluasa memprotes penyimpangan pencatatan perolehan suara antara caleg di parpol lain.

Seorang ketua parpol tingkat kabupaten mendekat, ikut nimbrung percakapan kami dengan intensi dan semangat berbeda. Ia katakan, ia menegur saksi-saksi di partainya yang sibuk mengomentari penyimpangan catatan perolehan suara parpol lain. Rekan saya berbisik, di parpol bapak itu, sudah dua orang saksi digantikan karena vokal memprotes dalam rapat pleno.

Pemilu, dan tentu saja pilpres, tidak bisa seratus persen bebas dari kecurangan. Ada kecurangan yang bisa dianulir dalam rapat pleno perhitungan suara di tingkat kabupaten dan provinsi. Ada pula yang lolos selamanya.

Kecurangan-kecurangan tersebut dilakukan oleh sembarang aktor. Bukan dari partai dominan, atau dari satu kubu kontestan pilpres. Siapun berpeluang melakukan kecurangan. Semua pihak berpotensi dirugikan. Dalam pilpres, baik kubu Prabowo-Subianto, pun kubu Joko Widodo-Ma’ruf Amin berpeluang melakukan kecurangan sekaligus menjadi korban dari kecurangan.

Maka ketika ada pihak yang mempropangandakan dirinya sebagai satu-satunya korban, satu-satunya kubu yang bersih, dan menuding pihak lain sebagai satu-satunya pelaku, satu-satunya yang diuntungkan, pihak ini memperpanjang rantai penipuan. Apalagi jika propaganda itu dibumbui tuduhan mengada-ada: kecurangan dilakukan masif, sistematis, dan terstruktur.

Kecurangan massif, sistematis, dan terstruktur hanya mungkin terjadi di masa orde baru ketika kekuasaan salah satu faksi elit begitu dominan sehingga seluruh instrumen kekuasaan negara berada dalam kontrolnya.

Pascareformasi tak ada faksi elit kekuasaan yang sunguh-sungguh dominan. Tiap-tiap faksi memilik akses terhadap instrumen kekuasaan. Tiap-tiap faksi berstrategi memanfaatkan ruang-ruang kekuasaan yang tersedia untuk menguntungkan pihaknya, sekaligus berusaha merombak ruang-ruang itu (memperlebar pun menyempitkannya) agar pas dengan strategi dan kepentingannya.

Adalah aristrokrat bisnis yang mungkin mendominasi segala lini. Namun dominasi para aristokrat bisnis selaku dalang deep state atau shadow state ini tidak berjalan secara langsung. Mereka berusaha mempengaruhi pengambilan keputusan lembaga-lembaga kekuasaan melalui investasi dana pemenangan pada tiap-tiap faksi elit kekuasaan.

Baca: “Narasi Kecurangan Pilpres dan Penyesatan Logika Kekuasaan

Kian kemari, para aristokrat bisnis ini bahkan terjung langsung, baik sebagai kontestan, pun sekadar tim pemanangan. Maka jangan heran jika di dua kubu capres yang bertentangan, terdapat para pemodal industri ekstraktif dan scalping trader yang bersahabat erat dan berelasi bisnis satu sama lain.

Tetapi perlu pula dipahami, faksi-faksi dan aktor-aktor elit keuasaan (petinggi parpol, politisi di parlemen dan pemerintahan, petinggi di lembaga yudikatif, pun lembaga-lembaga perluasan kekuasaan negara seperti KPU) itu tidak serta-merta seratus persen mengabdi kepada arsitokrat bisnis. Aktor-aktor dan faksi elit kekuasaan memiliki otonomi relatif. Demikianlah kekuasaan negara sebagai medan pertarungan antarkepentingan ini berjalan.

Ketika Kivlan Zen dan Eggi Sudjana memobilisasi segelintir massa ke KPU, mempropagandakan pemilu dicurangi oleh kubu Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan menuntut Jokowi-Ma’ruf didiskualifikasi, Kivlan dan Eggi jelas-jelas menyampaikan hal yang tidak sebenarnya kepada publik. Propaganda bahwa kecurangan hanya dilakukan kubu Jokowi-Ma’ruf Amin sementara Prabowo-Sandiaga semata-mata korban adalah pemalsuan fakta.

Kenyataan di lapangan, sembarang aktor bermain, merdeka, sering atas inisiatif sendiri. Naif mengira Eggi dan Kivlan tak tahu soal ini.

Pertanyaannya, apakah Kivlan dan Eggi sama sekali tak mengindahkan pentingnya bertindak jujur selama Ramadan? Tidakkah mereka ingin melipatgandakan pahala sebagai bekal di akhirat dengan cara berlomba-lomba berbuat baik selama bulan yang diyakini kaum Muslim sebagai bulan penuh berkah?

Mungkin mereka bukan Muslim, kata seorang sahabat. Tentu saja itu pernyataan becanda. Kivlan dan Eggi sudah pasti penganut Islam. Tetapi jika Kivlan dan Eggi itu penganut Islam, mengapa mereka mempropagandakan hal-hal tak benar selama masa puasa?

Aiiihhh. Saya kira perilaku Kivlan dan Eggi itu barang lazim. Mereka berdua hanya cerminan kita semua. Demikianlah lazimnya kita dalam beragama.

Beragama masa kini memang lebih kental dengan kesalehan simbolik, saya tak tahu istilah apa yang lebih pas. Artinya kesalehan itu hanya pertunjukkan melalui aksesoris yang kita kenakan dan pernyataan-pernyataan yang berisi klaim palsu.

kivlan

Baca Juga: Panggung untuk Kivlan Zen

Demi dicap saleh, orang mengubah gaya berpakaiannya, membebani tubuh dengan simbol-simbol yang mengesankan diri sangat puritan. Pernyataan di lini massa media sosial dibumbui kutipan ayat-ayat kitab suci. Teriakan lantang memprotes adab orang lain bergema di ruang publik. Orang-orang berebutan tampil sebagai pembela agama di garda paling depan.

Semua laku itu citra semata. Dalam praktik hidup keseharian, kita campakkan nilai-nilai hakiki ajaran agama.

Bagi kita, orang-orang Indonesia, agama serupa saja merek pakaian. Kita mengenakan merek pakaian mahal di ruang publik demi keberterimaan di ruang sosial. Kita berahi pada decak kagum banyak orang.

Bagi kita, orang-orang Indonesia, agama tidak lebih dari segepok uang dalam amplop yang kita gunakan demi memuluskan kepentingan-kepentingan kita. Agama dijadikan dagangan politik.

Kita, yang ringan jemari membagi kabar palsu di media sosial tidak kurang tercelanya dibandingkan para penggerak massa bayaran dan propangandis narasi sesat yang wajahnya menghiasi layar tivi dan kata-katanya dikutip ragam media warta.

Namun akankah kita membiarkan diri terus begitu? Tidakkah ada saat tepat untuk banting setir, kembali ke fitrah? Kalau bisa sekarang, mengapa menunda nanti? Untuk saudara sebangsa penganut Islam, tidakkah sekarang saat yang tepat?

***