Narasi pilpres akan dicurangi merupakan prakondisi menuju penolakan hasil pilihan rakyat pada 17 April ini.
Beberapa hari ini saya mengobrol dengan sejumlah tetangga di TPS rumah orang tua saya, tempat nanti saya hendak mencoblos. Bukan soal siapa capres-cawapres idola mereka. Yang hendak saya cari tahu adalah persepsi mereka tentang kemungkinan pilpres dicurangi.
Saya kaget karena ternyata ada juga yang termakan malapropaganda yang dilemparkan politisi tak bertanggungjawab. Propaganda itu menyesatkan masyarakat bahwa KPU adalah lembaga di bawah pemerintah dan karenanya akan berat sebelah, menguntungkan calon petahana yang kini memerintah.
Dengan logika sesat seperti itu, wajar saja jika orang mudah tertipu tiap kali disuguhi kabar bohong pilpres akan dicurangi untuk menguntungkan calon petahana.
Ya bahkan dalam lomba menulis saja, atau sayembara apapun, karyawan dari lembaga penyelenggara tidak boleh menjadi peserta. Ketika kubu politik tertentu menipu rakyat bahwa KPU merupakan lembaga di bawah pemerintah, rakyat akan mudah yakin dengan hoaks kecurangan pemilu yang menguntungkan petahana.
Untuk itu mari kita luruskan soal ini.
Sejak Amandemen ketiga UUD 1945 pada 2001, telah muncul kesadaran akan pentingnya Komisi Pemilihan Umum sebagai lembaga yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri (UUD 1945 Bab VII B pasal 22E ayat 5). Meski begitu, baru dalam UU Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, semangat amandemen ketiga UUD 1945 ini diakomodir.
Ketentutan tentang KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri mengandung makna fungsi dan wewenang KPU sebagai independent regulatory agencies. Independent regulatory agencies adalah lembaga-lembaga kekuasaan baru yang lahir seiring berkembangnya demokrasi. Lembaga-lembaga ini memiliki wewenang exercise state power di luar lembaga-lembaga trias-politica utama.
Sekalipun bukan organ utama negara (MPR, DPR, DPD, Presiden dan Wapres, MA, MK, dan BPK), KPU adalah auxilary body yang berwenang meng-exercise state power di bidang penyelenggaraan pemilu secara mandiri, tidak tunduk 3 lembaga yang menjalankan fungsi utama kekuasaan negara (dalam demokrasi moderen jadi empat plus fungsi examinatif yang dimiliki BPK).
Menyadari delegasi kekuasaan negara ke dalam lembaga-lembaga negara yang berbeda, yang kian hari kian kompleks dan spesifik, adalah salah kaprah melekatkan istilah penguasa hanya kepada pemerintah. Seolah-olah seluruh kekuasaan negara dioperasikan oleh atau dimandatkan kepada pemerintah. Maka salah kaprah pula menyangka kekuatan politik yang menguasai pemerintahan (eksekutif) sebagai satu-satunya penguasa.
Tiap-tiap kekuatan politik (parpol) yang dominan--tidak semua kepentingan politik diizinkan berdiri, dan tidak semua yang diizinkan berdiri sanggup membangun organisasi yang representatif--memiliki akses terhadap lembaga-lembaga yang menjalankan kekuasaan negara.
Karena itu penguasa sejatinya bukan hanya kekuataan yang menguasai eksekutif (parpol-parpol dalam aliansi pemerintahan saat ini), melainkan juga kekuatan politik yang duduk di parlemen (parpol-parpol oposisi). Secara bersama-sama mereka adalah penguasa. Aktor-aktor penentunya adalah kelas penguasa.
Jadi lucu ketika ada yang mengatakan berpolitik melawan kekuasaan namun bergabung dalam parpol-parpol oposisi. Sesungguhnya mereka adalah bagian dari the rulling class pula, bagian dari penguasa itu sendiri.
Karena tiap-tiap kekuatan politik dominan, baik partai-partai pemerintahan, pun parpol oposisi di parlemen memiliki akses terhadap lembaga-lembaga yang berwenang menjalankan fungsi kekuasaan negara; produk kebijakan lembaga-lembaga negara ini adalah resultan dari strategi yang dijalankan parpol-parpol itu (pendukung capres petahana pun penantang) dan dibatasi oleh regulasi dan wewenang lembaga negara lain.
Dalam konteks KPU, tiap-tiap parpol akan berstrategi untuk menempatkan orang-orangnya di dalam KPU. Sudah sejak pembentukan tim seleksi, parpol berstrategi menempatkan orang-orangnya. Meski tim seleksi KPU pusat dibentuk pemerintah, parpol-parpol pendukung pemerintah tidak serta-merta bisa menempatkan hanya orang-orangnya di tim seleksi sebab pemilihan anggota tim seleksi dibatasi oleh regulasi terkait syarat kapasitas calon dan mekanisme.
Demikian pula dalam menyusun short list kandidat anggota KPU yang disodorkan kepada DPR, tim seleksi tidak bisa leluasa hanya menyodorkan orang-orang yang memiliki keberpihakan politik atau pandangan politik menguntungkan parpol-parpol pro-pemerintah. Ada syarat kapasitas kandidat yang harus dipenuhi.
Maka komposisi anggota KPU seringkali merupakan hasil kompromi berbagai kekuatan politik di pemerintahaan dan di DPR.
Meski begitu, tidak otomatis kepentingan KPU mencerminkan kepentingan parpol-parpol itu sebab tiap-tiap individu memiliki pula otonomi relatifnya yang ditentukan oleh kepentingan pribadinya, termasuk kepentingan untuk menjaga kredibilitas dirinya atau nilai-nilai dan prinsip yang dianutnya.
Sebaliknya, sekalipun para anggota KPU terpilih adalah orang-orang yang secara pribadi sangat otonom dan kredibel, kebijakan yang mereka keluarkan dibatasi oleh regulasi dan wewenang lembaga lain, misalnya DPR dan pemerintah yang menyusun UU Pemilu, yang termasuk di dalamnya mengatur tugas, fungsi, kewajiban, dan wewenang KPU. Melalui DPR dan Pemerintah, parpol-parpol berusaha mempengaruhi kebijakan komisioner KPU.
Bahkan ketika para anggota KPU, parpol di parlemen, dan di pemerintahan sudah seiya sekata pun, mereka tetap pula dibatasi oleh masyarakat yang dapat saja mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi atau memperkarakan keputusan KPU ke Mahmakah Agung.
Ada banyak contoh rumitnya pertarungan kepentingan ini. Salah satu yang paling gamblang mungkin soal kebijakan melarang caleg mantan koruptor. Sila Om-Tante periksa rangkaian pemberitaan tentang bagaimana sikap politik KPU, Pemerintah, DPR, MK, MA, dan parpol-parpol terkait ini; bagaimana kekuatan-kekuatan politik, termasuk masyarakat 'non-partisan' berstrategi menggolkan aspirasi politiknya dalam soal ini melalui ruang-ruang kekuasaan negara yang tersedia.
Jadi, sistem demokrasi yang kian kompleks ini membuat keberpihakan lembaga-lembaga kekuasaan hanya kepada kekuatan politik tertentu menjadi sangat sulit. Tentu saja, kekuatan-kekuatan politik itu berstrategi untuk memastikan kebijakan yang dikeluarkan tiap-tiap lembaga kekuasaan menguntungkannya. Namun efektivitas strategi mereka dibatasi oleh strategi kekuatan politik lain; regulasi yang ada; plus wewenang lembaga-lembaga kekuasaan lain.
Dengan demikian, ketika Om-Tante mendengarkan politisi seperti Fahri Hamzah mengatakan "Rakyat boleh menyerang lembaga Kepresidenan, atau sebut kabinet bohong, sebab mereka punya power. Yang tidak boleh itu menyerang DPR dan lembaga pengadilan seperti hakim karena mereka lemah tidak ada kekuasaan," kentuti saja pernyataan itu sebab penyederhanaan yang demikian ini sungguh penyesatan tentang bagaimana sebenarnya kekuasaan negara beroperasi.
Fahri dan para politisi di kubu oposisi pun memiliki akses terhadap kekuasaan negara dan berstrategi memengaruhi dan menggunakan kekuasaan itu. Termasuk kekuasaan lembaga-lembaga penyelenggara pemilu.
Jadi jika mau menuding kubu mana yang bisa mengendalikan lembaga penyelenggara pemilu demi keuntungan sendiri, secara teori kekuasaan yang tidak kuno, semua kekuatan politik yang kini bertarung memiliki peluang untuk itu.
Tetapi bukan kecurangan pilpres yang patut jadi kecemasan utama rakyat saat ini. Dalam artikel selanjutnya kita akan diskusikan tentang betapa kecil peluang kecurangan dalam pilpres terjadi. Yang patut lebih dicemaskan rakyat adalah upaya pihak tertentu membangun narasi pilpres akan curang.
Narasi pilpres akan dicurangi merupakan prakondisi menuju penolakan hasil pilihan rakyat pada 17 April ini. Ada kekuatan politik yang mendompleng di kubu yang sudah pasti kalah dalam pilpres ini yang tampaknya akan menghalalkan segala cara demi ambisi politiknya, termasuk menciptakan kekacauan pascapilpres.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews