Menertawakan Pengetahuan Eggy Sudjana Yang Terbatas

Senin, 9 Oktober 2017 | 18:59 WIB
0
725
Menertawakan Pengetahuan Eggy Sudjana Yang Terbatas

Saya setuju dengan sikap Walubi dan PGI, keduanya mewakili ormas yang secara resmi representasi pemuka agama Budha dan Kristen untuk tidak terpancing dengan pendapat Eggi Sudjana (ES) yang oleh sementara orang dinilai "ngawur", yang mengatakan satu-satunya agama yang sesuai dengan Pancasila adalah Islam.

Dilihat dari sisi manapun, ia terbukti salah, arogan dan melulu menunjukkan ke-dongok-annya. Dalam istilah orang Jawa: orang sejenis ini bodoh saja belum, apalagi untuk disebut pinter. Artinya apa? Orang bodoh yang baik akan selalu punya kerendahan hati, karena itu ketika ia menjadi sedikit lebih pandai ia akan bersikap bijaksana.

Sayangnya, media di Indonesia menganut azas jurnalisme liberal dan kapitalistik yang sungguh kejam: bad news is good news. Reaksi dan sikap Walubi dan PGI, menunjukkan antisipasi yang bukan saja cermat dan bijak, tetapi terutama "berpengalaman" untuk melawan kredo tersebut.

Jangan lupa di kedua kultur inilah pers modern dibangun. Kristen di Barat, sedang Buddha di Timur. Ia memahami bahwa kegilaan bukan harus dilawan dengan cara kebodohan yang sama. Mungkin justru dengan santai, minimal senyum jenaka.

Setidaknya keduanya memahami salah satu gejala "pathetic" dalam ilmu psikologi klinis, yaitu sebuah gejala terganggunya seseorang dalam mengungkapkan ide, imajinasi dan emosi. Hal ini merupakan gejala umum yang terjadi nyaris semua kaum pesohor yang ingin tetap menjaga status ke-pesohor-annya.

Mereka adalah kelompok manusia yang dalam bahasa hari ini: jangankan orang lain, mereka sendiri tidak ngerti dan paham dengan apa yang mereka ucapkan. Sama sekali mereka tidak punya kendali, apalagi dasar argumentasi yang kokoh.

Bagian terburuk dari situasi ini adalah mereka memiliki banyak pengikut, yang tidak sekedar menyukainya tetapi membenarkannya. Kecenderungan ini bersifat lintas SARA, artinya bukan monopoli suatu kelompok etnis, ras atau agama tertentu.

Gejala "pathetic" seperti ini semestinya secara pribadi hanya berhenti pada membuat kita sedih, atau kalau dalam pergaulan sosial mestinya hanya membuat kita prihatin, ngelus dada.

Artinya, apa yang mereka lakukan tidak akan sampai membunuh orang lain yang diserangnya. Yang pertama jadi korban sebenarnya justru orang-orang yang mempercayainya, sedangkan si "pathetic" sebagaimana virus jahat ia akan merusak dirinya terus menerus, menyakitinya sampai ia mati dengan sendirinya.

ES dikenal sebagai trouble maker sejak lama. Ketika ia gagal menjadi Ketua HMI, ia membuat HMI tandingan yang menjadi slilit, atau duri daging pengembangan organisasi mahasiswa Islam terbesar ini. Ketika ia gagal mencalonkan diri jadi Gubernur DKI Jakarta, ia pindah nyalon di Jawa Timur.

Ia sejenis penyakit kutu loncat yang selalu cari panggung. Ia bikin organisasi dengan nama yang mentereng, hanya untuk menunjukkan omong kosongnya. Ia selalu membawa spirit membela umat Islam, walau sebenarnya ia tak lebih memperjuangkan nasibnya sendiri.

Ketika dituduh berada di belakang Saracen, ia kabur. Ia selalu butuh panggung, terus bergerak dengan isu-isu besar, tetapi dengan pola-pola "proxy war". Meminjam tangan orang untuk memukul, bila yang terpukul melawan, ia akan menghindar. Tapi jika lawannya tampak melemah, ia akan muncul sebagai pahlawan.

Sekali lagi, cara-cara yang dilakukan oleh Walubi dan PGI menanggapi EG adalah yang paling aduhai. Ketika mereka ditanya secara terpisah, jawabannya adalah lebih baik kita berlomba melakukan kebaikan. Alih-alih marah (apalagi kalap), saya setuju dengan keduanya menyambut statement ES dengan tertawa gembira, seolah dapat "penghiburan" baru.

Sejujurnya, saya sama sekali tidak phobi dengan ide Khilafah yang diperjuangkan oleh HTI dan kawan-kawan yang kemudian dibelai secara membabi buta oleh ES. Sayangnya, jangankan ikut dalam perlombaan menuju kebaikan, yang mereka tebar adalah sikap permusuhan, ujaran kebencian, dan pembunuhan karakter terhadap sedemikian banyak hal.

Mereka memonopoli "kebenaran utopis", mengabaikan argumentasi dan memusuhi logika, dengan cara-cara menisbikan local wisdom. Seolah-olah orang harus re-start ulang hidup mulai hari ini, masa lalu cukup sampai di sini. Kalau sama-sama pilihannya tidak menentu (unpredictable), ya tentu saja kami memilih yang sudah pasti-pasti saja: NKRI, Pancasila, dan Jokowi!

Hushah!

***