Omong ideologi dalam konteks politik elektoral di Indonesia jangan soal haluan ekonomi. Adalah halusinasi belaka menyangka kutub-kutub politik sebagai representasi pendekatan ekonomi berseberangan.
Jangan lihat jargon-jargonya. Periksalah program-program untuk mewujudkan jargon itu. Akan tampak sangat jelas bahwa baik kubu Joko Widodo pun Prabowo sebenarnya seperguruan dalam perspektif ekonomi.
Keduanya sama-sama punya keinginan mewujudkan kedaulatan ekonomi nasional, kesejahteraan rakyat, dan keadilan sosial. Namun cara yang ditempuh menuju ke sana jangan diimpikan akan seperti jalan Soekarno atau pemerintahan-pemerintahan progresif di Amerika Latin.
Pengaruh kekuatan dan tatanan ekonomi global (bukti kebenaran World-System Theory Wallerstein, sepupu Dependency teory) dan absennya parpol beraliran sosialis pasca tragedi 1965-67 menyebabkan gagasan sosialisme Indonesia (Trisakti) Soekarno-Hatta bertahan dalam impian dan retorika namun tak satupun kekuatan politik parlementer saat ini yang memiliki kesungguhan minat dan kemampuan untuk mewujudkannya.
Karena itu, satu-satunya yang signifikan dalam melihat perbedaan kubu Prabowo dan Joko Widodo adalah pada sentimen demokratiknya. Di sanalah polarisasi ini konkrit dan tak samar.
Dalam konteks sentimen demokratik, tidak bisa dibantah sebab benar semata apa yang disampaikan Susilo Bambang Yudhoyono dan diperjelas Andi Arief itu. Prabowo adalah representasi politik kanan. Ia ikon dari persatuan politik identitas dan orde baru. Penilaian ini terkonfirmasi dalam sejarah aktor, narasi politik yang digaungkan, juga dalam komposisi kekuatan sosial-politik aliansi.
Sebaliknya Joko Widodo ada di sisi kiri, mewakili semangat masyarakat yang ingin mencampakkan segregasi sosial-politik berbasis identitas dan menghapus sisa noda membekas totalitarianisme orde baru dalam kekuasaan negara, meninggalkannya agar semata-mata catatan sejarah yang disesali generasi demi generasi.
Dalam demokrasi manapun di dunia ini, selalu ada kekuatan ketiga yang berdiri di tengah. Ada yang menyebutnya kaum oportunis, ada yang santun melabelnya sebagai partai sentris.
Secara alamiah partai sentris berperan menjaga tatanan. Ia menjadi buffer yang mencegah perubahan masyarakat menikung tajam ke kanan, pun ke kiri; menjaga keseimbangan antara reformasi dan status quo, menghasilkan perubahan yang gradualis, dan lambat.
Partai Demokrat adalah partai sentris. Entah mereka mengambil posisi itu berbasis kesadaran ideologis atau semata-mata kepentingan menggarap ceruk pasar besar yang masih lumayan dibagi 3 dengan Golkar dan Nasdem.
Inilah alasan SBY mengklaim idelogi partainya sebagai nasionalis religius. Ia ingin berdiri di tengah dalam peta masyarakat Indonesia (Jawa) a la Clifford Geertz, berdiri di antara abangan (nasionalis) dan santri (relijius).
Posisi Partai Demokrat yang sentris ini jadi salah satu biang masalah dalam aliansi pendukung Prabowo-Sandiaga yang berhaluan kanan.
Masalah ini sebenarnya sudah bisa terpetakan di awal ketika SBY mengajukan syarat tidak mengeksploitasi sentimen agama agar Partai Demokrat bisa bergabung di dalam aliansi.
SBY tentu paham, menguatnya sentimen agama dalam politik adalah problem pokok bangsa Indonesia saat ini. Sebagai parpol sentris, sudah jadi kepentingan Partai Demokrat untuk mencegah pendulum kian bergerak ke kanan.
Tentu saja ini syarat yang berat, bahkan mustahil. Bagaimana bisa PKS dan PAN disuruh meninggalkan bakul dagangannya? Bagaimana bisa FPI dan kawanan sejenisnya dipaksa bicara Bhineka Tunggal Ika sementara eksploitasi sentimen identitas itulah yang membuat organisasi mereka bisa bertahan, eksis. Tak ada sentimen agama tak ada bahan bakar.
Ketika syarat itu diterima demi kepentingan pragmatis jumlah parpol yang meramaikan aliansi, masalah perbedaan platform demokratik ini dipindahkan sebagai bom waktu di kemudian hari. Suatu saat ia akan muncul.
Benarlah. Pada 10 November 2018 SBY berpidato dalam pembekalan caleg Partai Demokrat. Seruan agar elit politik tidak mengeksploitasi sentimen agama menjadi tema sentral pidato itu.
Parpol-parpol sekutu Partai Demokrat tentu saja berang mendengarnya. Eggi Sudjana yang kini berpolitik bersama Amien Rais membalas SBY dengan pernyataan menghina pemahaman keislaman SBY. Tidak puas dengan itu, Eggi Sudjana menyinggung sikap bermain dua kaki Partai Demokrat dalam pilpres, menyebut politik SBY sebagai politik banci.
Masalah tidak akan besar--Eggi Sudjana cukup ditangani Andi Arief pun beres--seandainya Sekjend Gerinda Ahmad Muzani tidak ikut-ikutan menyindir absennya partisipasi SBY dan AHY dalam pemenangan Prabowo-Sandiaga.
Sontak sejumlah elit Partai Demokrat bereaksi, menyerang balik, membocorkan problem mangkirnya Prabowo-Sandiaga dari janji kepada SBY dan Partai Demokrat.
Tetapi SBY punya cara lain. Ia tampaknya ingin menegaskan bahwa koalisi Partai Demokrat dengan Prabowo-Sandiaga dan 3 parpol lain tidak bermasa depan. Bukan karena hal-hal sepele saling sindir dalam hal remeh-temeh. SBY mempertebal garis pembeda ideologis dirinya dan Partai Demokrat dengan Prabowo dan Gerindra.
SBY meminjam polemik Presiden Prancis Emmanuel Macron dengan Donald Trump untuk menjelaskan itu. Ia mengetik serangkaian kicauan di twitter pada 14 September.
Menurut SBY perselisihan pimpinan dua negara itu berlangsung antara kubu pemuja "nasionalisme dan patriotisme" yang diwakili Donald Trump melawan Macron sebagai pendukung globalisme.
Di antara dua kutup itu (kosmopolitan versus chauvinis), SBY menempatkan diri sebagai sintesis yang serupa posisi Soekarno. Menurut SBY globalisme dan nasionalisme bisa akur dan berdampingan.
Sebenarnya pandangan ini sedikit berbeda dengan Soekarno. Soekarno bukan melihat internasionalisme/kemanusiaan dan nasionalisme/kebangsaan sebagai hal yang sekedar bisa, melainkan harus berdampingan sederajat.
Karena itulah Bung Karno menyebut nasionalisme Indonesia sebagai socio-nasionalisme, yaitu kombinasi setara dari peri-kemanusiaan (sila kedua Pancasila) dan peri-kebangsaan (sila ketiga Pancasila).
SBY setuju kepentingan bangsa harus diutamakan namun tidak boleh merugikan dan memusuhi bangsa lain. Nasionalisme yang merugikan dan memusuhi bangsa lain ia sebut sebagai narrow nationalism 'nasionalisme sempit.' Narrow nationalism inilah yang dianut Donald Trump.
SBY tentu paham posisi Prabowo yang memuja nasionalisme Donald Trump. Karena itu, kritik SBY terhadap Donald Trump adalah juga kritik terhadap Prabowo Subianto.
Lucunya, bagai gayung bersambut, dalam waktu yang tidak berbeda jauh, Megawati Soekarnoputri juga mengkritik Donald Trump dan Prabowo yang hendak meniru Trump.
Seolah-olah ada hubungan batin yang tercipta sekejap antara SBY dan Megawati, dipersatukan oleh cara pandang mereka terhadap nasionalisme dan internasionalisme yang sejalan dengan pemikiran Bung Karno dan Pancasila.
Twit SBY yang mengkritik nasionalisme sempit Donald Trump bukan sekedar tamparan kedua yang dilayangkan kepada Prabowo dan Gerindra. Lebih dari itu, kicauan ini adalah sinyal yang menjelaskan bahwa sesungguhnya dalam belaka jurang pemisah idelogis antara SBY-Partai Demokrat dan Prabowo-Gerindra; dan sebaliknya ada irisan cara pandangan SBY-Megawati.
Tentang tamparan pertama SBY-Demokrat kepada Prabowo-Gerindra, baca: "Nyanyi "Orkes Sakit Hati" Partai Demokrat, Pertama dari 3 Tamparan kepada Prabowo-Gerindra"
Dengan begitu SBY seolah-olah hendak mengirim pesan, biarlah aliansi Partai Demokrat dan Gerindra sekedar kecelakaan de jure, terlanjut ada tanda tangan Ketum dan Sekjend Demokrat dalam dokumen KPU. Namun cukup sudah, tak perlu kader-kader Partai Demokrat menjadikan konkrit, de facto dalam kerja-kerja politik di dapil. Fokus saja loloskan diri ke parlemen. Jika hendak ikut rempong dalam pilpres, silakan menangkan Jokowi.
Sumber:
Tayang juga di Kompasiana.com/tilariapadika
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews