Mimpi di siang hari bolong, mengulang dulu sekali sejarah pelengseran Soeharto. Luka sejarah yang jejaknya tak terhapus hingga hari ini.
Sejak awal, saya selalu mempertanyakan sikap para pendukung Jokowi yang membela mati-matian pasangan ini tanpa melihat persoalan secara jernih. Kita dipaksa untuk memilih satu paket, Jokowi-Maroef Amin dengan semua argumentasi yang sesungguhnya tidak masuk akal. Agar tampak keren, walau sebenarnya absurd, bahkan pasangan ini dilabeli dengan tag-line: Karya dan Doa.
Walau sesungguhnya, jargon ini sekaligus menunjukkan jangan terlalu berharap banyak pada konteks "ber-doa-nya". Terbukti jargon tersebut tidak digunakan sebagai penyebutan Kabinet yang kemudian dibentuk. Tentu akan lucu bila kabietnya disebut Kabinet Karya dan Doa. Lalu dipilihlah nama kabinetnya: Indonesia Maju.
Yang terjadi adalah Jokowi yang sudah bekerja keras setengah mati, wakilnya santai-santai saja. Toh sejak awal dipilihnya kan disuruh untuk berjaga di belakang dengan berdoa. Dalam hal ini, tak ada satu pun yang sadar bahwa maksud Indonesia Maju, kemudian diartikan sebagai Bila Jokowi Mundur, Lalu Maroef Amin Maju.
Kita bisa bilang berlebihan, ih amit-amit. Tapi bukan sesuatu yang muskil akan terjadi. Bahkan tampaknya, gerakan untuk menuntutnya mundur tak pernah surut. Bahkan makin berani, makin tidak sopan, bila tak mau dikatakan tidak rasional.
MA sejak awal saya anggap adalah pilihan sangat buruk. Ia sama salahnya ketika, Barcelona sebuah sebuah tim yang mulai menua, justru harus ditangani oleh pelatih bangkotan yang miskin prestasi nyata. Saya tak pernah ragu untuk menyebut MA tak lebih Quique Setien. Sebagai tua, tidak kapabel, dan kurang kontribusi.
Baca Juga: Jokowi-Ma'ruf dan Indonesia Maju
Kalau wakil dianggap sebagai ban serep atau petugas cadangan, maka ia adalah pilihan yang tidak tepat. Dan bila, akhirnya Jokowi bisa digoyahkan, maka saya pikir memang segala sesuatunya telah dipersiapkan sejak awal. Musuh paling tidak kentara itu selalu saja orang yang dianggap paling dekat. Semakin ia diam saja, semakin ia tak menunjukkan peran apa-apa, semakin mal-fungsi. Sesungguhnya ia makin berbahaya....
Presedennya makin buruk: ketika anak MA, yang bernama Siti Nur Azizah tiba-tiba bergabung dengan Partai Demokrat. Kita tahu, di luar duitnya yang masih segunung, Demokrat adalah partai paria yang tak mungkin lagi bangkit dan dipercaya di masa depan. Ia seorang bekas PNS, yang tiba-tiba karena ambisi politiknya keluar dan ingin mencalonkan diri sebagai untuk walikota di Pilkada Tangerang Selatan.
Peristiwa ini kemudian, secara tidak langsung menguak kedekatan MA dengan SBY. Dulu, selama dua periode buruk Orde Los Stang itu ia pernah menjabat sebagai anggota Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden). Padahal selama ini MA, selalu diposisikan sebagai wakil Nadhatul Ulama (NU), sebagai presentasi organisasi Islam terbesar tidak sekedar di Indonesia, tapi di dunia. Dalam konteks ini zonk, semua terpana dan kapusan. Karena mayoritas warga NU sendiri tidak merasa terwakili dengan keberadaannya.
Ngono kok dikanggokne, gitu kok dipakai....
MA sendiri lebih populer sebagai mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), sebuah lembaga yang sesungguhnya tidak merepresentasikan siapa-siapa. Bukan umat Islam, atau organisasi Islam, atau bahkan pemeritah itu sendiri. Sekedar merefresh, MUI pada masa Orde Baru, dibentuk oleh Soeharto justru untuk mengendalikan kaum ulama yang dianggap berseberangan dengan pemerintah. Sesuatu yang dianggap bisa mencederai toleransi, provokasi SARA, maupun hal-hal yang dianggap akan menggganggu stabilitas politik.
MUI secara rutin turut didanai oleh APBN, walau kemudian justru lebih dikenal suka mencari duit sendiri melalui sertifikasi halal. Sebelum kemudian diambil alih oleh Kementrian Agama sebagai lembaga resmi yang lebih berhak.
Sayang, kemudian MUI justru menjadi "rumah baru" bagi kelompok intoleran. Para pemuka agama yang jauh dari karakter alim, maupun sifat-sifat mulia seorang ulama. Ia menjadi tukang stempel, bagai gerakan-gerakan yang sangat kontra-produktif semacam Gerakan 212 yang sungguh megalomania itu.
Dalam konteks ini, MA turut berperan besar pada "pemenjaraan" Ahok. Dengan justru mengeluarkan fatwa tentang penistaan agama terkait soal surat Al Maidah ayat 51. Alih-alih bersikap arif dan bijak terhadap permintaan maaf Ahok. Ia bersifat keras tanpa kompromi. Bila ada dicatat, mungkin inilah prestasi terbesar MA. Satu tangga untuk menuju jabatannya sebagai Cawapres, yang akhirnya secara kontroversial disetujui oleh Koalisi Pendukung Jokowi. Dengan harapan baik, ia bisa menjadi pengendali dari gerakan intoleransi dan radikalisasi.
Harapan tinggal harapan! Nyaris setahun sudah....
Ia tak pernah menunjukkan sikap kenegarawanannya. Ketika, nyaris tiap hari muncul pelecehan-pelecehan terhadap simbol budaya lokal, bahkan pencemaran lambang negara, maupun kenyataan bahwa Islam itu kaya dan beragam. Ia tak terlihat tergerak bersuara atas banyaknya kasus "jeruk makan jeruk", ketika sekelompok umat Islam menggasak umat Islam yang lainnya yang dicurigai sebagai "minoritas dalam mayoritas".
Ia tak bereaksi konkrit ketika sekelompok kecil masyarakat yang dituduh sebagai syiah, sekedar menjalankan tradisi budaya Jawa. Ia diam saja, ketika logo Proklamasi Kemerdekaan dituduh mengandung simbol salib. Padahal itu justru karya grafis yang sarat simbol dan kaya makna baik.
Ia tak terlihat punya kontribusi yang kuat, ketika Jokowi "nyaris gila, lalu muring-muring" melihat lingkaran menteri dalam kabinetnya kikuk tak berdaya menangani pandemik Covid-19. Tak pernah jelas apa peranya, dan keinginan kuat untuk mendukung Jokowi sebagai orang yang ikut memilihnya.
Satu-satunya pernyataan MA yang bikin makin masygul, justru menyasar "rumah lamanya" bahwa MUI harus mempersiapkan fatwa terkait kelak dikeluarkannya vaksin Covid-19. Lah, vaksin-nya belum jadi, korbannya makin banyak. Lalu ia mengajak berbicara tentang fatwa halal-haram. Yang saya yakin ujung-ujungnya adalah vaksin ini pasti akan dicurigai dan disalahpahami, hanya karena ia berasal dari "negara terkutuk" bernama Tiongkok.
Akronimnya jelek dan plagiat, kata-kata pilihannya sangat buruk karena sama sekali tidak mencerminkan maksud dan tujuan sebenarnya. Dan kata koalisi tidak cocok, karena sesungguhnya mereka tak lebih gerombolan atau minimal kongsi jahat.
Kelompok ini makin tidak punya value saat dedengkot kelompok sakit hati, Mbah Amien Rais setuju bergabung di dalamnya. Melengkapi tokoh nir-prestasi seperti Dien Syamsudin, Rocky Gerung, Abdullah Hehamahua, Rocky Gerung, MS Ka’ban, M Said Didu, dan Refly Harun. Nama yang disebut terakhir ini sungguh mengherankan, digadang-gadang sebagai salah satu ahli konstitusi kenegaraan masa depan. Tapi jatuh di comberan, kala ia dipecat dari jabatannya sebagai Komisaris di sebuah BUMN.
Baca Juga: Susu Kuda Liar Kiai Ma'ruf
Saya menunggu reaksi Pak Wapres untuk gerakan kali ini. Apakah ia akan terus bersikap oportunis? Tetap diam saja, karena kalau gerakan ini gagal sudah selayaknya. Pantas karena tak lebih pepesan kosong seperti dirinya. Atau sebaliknya, menunggu rebound, kali-kali berhasil menurunkan Jokowi. Lalu menaikkan dirinya. Mimpi di siang hari bolong, mengulang dulu sekali sejarah pelengseran Soeharto. Luka sejarah yang jejaknya tak terhapus hingga hari ini.
Sial betul, masih empat tahun lagi kita harus terus menonton dan menunggu kejar tayang sinetron terkait MA ini. Ia selalu mengintai, ia selalu menunggu momentumnya tiba. Seperti yang dikatakannya, "Ya kalau Jokowi berhalangan, kan saya yang naik". Terus saja begitu, kekhawatiran yang selalu menghantui negeri demokrasi kebablasan ini.
Sayangnya kita juga akan terus waskita. Eling lan waspada terhadap dirimu. Terhadap teman-teman di belakangmu itu, Mbah....
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews