Jika nilai kompromi Jokowi akan semakin rendah, karena periode ke-dua tak akan ada beban politik, maka harus lebih pasti dan berani lagi. Tegakkan hukum, tanpa kompromi.
Dalam pergumulan pemikiran Sukarno, yang menginti pada Pancasila, sebagaimana pidato panjang-lebarnya dan mempesona pada 1 Juni 1945, ia hanya inginkan negara yang warganya bersatu-padu. Gotong-royong saling membantu. Menjadi bangsa dan negara berdaulat.
Tercapaikah puncak pemikiran Sukarno itu? Justeru dalam “usia” 74 tahun Pancasila, hari ini, kayaknya sekarang titik nadirnya. Titik nadir ketika kita sebenarnya ingin mengimplementasikan “Indonesia untuk semua, semua untuk Indonesia” dengan berdemokrasi. Demokrasi, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam sila ke-4, dimaksudkan oleh Sukarno bukan demokrasi barat. Tetapi demokrasi dengan azas musyawarah dan gotong-royong.
Tapi apa yang terjadi, jika sekelas capres saja pun, cuma meniru cara berpakaian Sukarno? Bersafari militer. Berpeci. Kalau cuma model gitu doang, Ahmad Dhani juga bisa. Hanya mampu melihat penampilan fisik. Persis seperti RG terpesona Prabowo, sebagai wakil dunia kelas menengah terdidik.
Baca Juga: Semburkan Narasi Hoaks, Elektabilitas Gerindra Melorot
Golongan ningrat Indonesia, belum bisa menerima perobahan trend kepemimpinan berbasis kinerja atau track-record prestasi dan reputasi. Tapi dalam hitungan Pilpres, Jokowi dipilih 55,50% suara, sedang Prabowo, lagi-lagi kalah, dengan 44,50% suara.
Dari Pilpres 2014, kemudian Pilpres 2019, pesan sebagian besar rakyat sungguh sangat jelas. Secara historis, itu juga harus dilihat bagaimana Pilpres 2004 dan 2009 mengecewakan sebagian besar rakyat, karena kepemimpinan dari kalangan militer, tak ada ngaruhnya.
Di situ Prabowo kena tulahnya, dan mulai itu kepemimpinan sipil, Jokowi yang androginis, menjungkir-balikkan. Sebagaimana kata Sukarno, segala weltanschauung (pandangan dunia) tak ada artinya, tak bisa jadi realitet tanpa kerja keras. Sementara kaum oligarkis hanya ngomdo.
Jika kita main interpretasi, coba lihat ada kelompok yang melumuri Garuda Pancasila, lambang negara dengan warna total merah. Garuda Pancasila seperti siluet. Tak ada nilai-nilai atau sila di dalamnya, sebagaimana digambarkan pada tameng Garuda.
Ketutup kemarahan, atau mau bikin banjir darah? Dalam soal membaca dan mengartikulasikan symbol saja, ada kelompok bermasalah. Maka wajar jika terjadi tunggang-menunggang, dengan kelompok-kelompok lain yang sama bermasalahnya.
Jokowi ketemu atau tidak dengan Prabowo, tidak ngaruh. Nggak ketemu juga lebih baik. Kita, sebangsa dan setanahair ini seperti memanjakan satu anak abnormal, yang lagi tantrum dengan cara orang sakauw. Jadi tak jelas siapa yang sakit.
Jika nilai kompromi Jokowi akan semakin rendah, karena periode ke-dua tak akan ada beban politik, maka harus lebih pasti dan berani lagi. Tegakkan hukum, tanpa kompromi, pesan Iwan Fals dalam lagunya.
Siapa yang melanggar hukum, diproses. Jika menurut aturan hukum menyalahi pasal ini dan itu, jatuhkan vonis sesuai aturan. Garuda Pancasila, jika ingin dimengerti, cucilah lapisan merah yang ‘nutupin’ seluruh sendi dan nilai- nilainya itu.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews