Semburkan Narasi Hoaks, Elektabilitas Gerindra Melorot

Rabu, 9 Januari 2019 | 23:40 WIB
0
471
Semburkan Narasi Hoaks, Elektabilitas Gerindra Melorot
Fadli Zon dan Ratna Sarumpaet (Foto: Beritasatu.com)
Entah bagaimana ceritanya Gerindra seperti merasa aman-aman saja menyebar isu hoaks di tengah masyarakat. Belum lupa dari ingatan, mega skandal hoaks terbesar pada tahun 2018 yang melibatkan Ratna Sarumpaet dan beberapa politisi Gerindra termasuk Fadli Zon.

Partai yang mengusung Prabowo Subianto sebagai capres ini terus saja mengulang kesalahan dan konsisten menyebarkan hoaks di tengah masyarakat.

Ada yang bilang, strategi ini dilakukan meniru kampanye Trump. Namun, ada juga yang bilang bahwa koalisi Adil Makmur sudah kehabisan amunisi untuk menyerang petahana hingga hanya satu-satunya narasi hoaks yang bisa dimainkan untuk menyerang petahana.

Berkali-kali Gerindra melepaskan anak panah yang justru berbalik mengenai pemimpinya sendiri. Isu SARA yang berhasil menumbangkan Ahok, kini justru berbalik seperti bumerang yang mengenai wajah pemiliknya sendiri.

Prabowo menampik untuk diuji baca AlQuran oleh Ikatan Dai Aceh. Padahal, undangan tersebut justru untuk mengklarifikasi rasa penasaran sebagian masyarakat tentang ke-Islaman Prabowo yang selama ini dicitrakan tidak bisa baca AlQuran. Alasan ini yang membuat Prabowo tidak pernah mau menjadi Imam salat.

Terlepas dari subtansinya sebagai calon pemimpin negara. Ajakan sebagian masyarakat ini adalah bentuk rasa penasaran masyarakat yang harus dijawab. Apalagi undangan tersebut datang dari para ulama di Serambi Mekkah.

"Ah, diundang untuk baca Al-Quran saja menolak, apalagi mendengarkan aspirasi rakyat," begitu kira-kira yang akan disuarakan masyarakat awam.

Boleh jadi dalam hal ini Prabowo sudah tepat. Memberikan kesempatan kepada imam yang lebih fasih dalam membaca Al-Quran. Seharusnya Prabowo juga paham, untuk menjadi pemimpin negara ini ibarat memilih pemimpin salat. 

Serahkan pada sosok yang memang memahami cara mengatur negara dengan baik. Bisa mensejahterakan rakyat dan pemerataan ekonomi dari Sabang sampai Merauke.

Pada akhirnya, semua yang disebar oleh Prabowo dan Gerindra, kini berbalik menyerang mereka sendiri.

Setelah isu SARA tak mempan, Gerindra tak patah arang. Narasi hoaks alias kebohongan tentang Ratna Sarumpaet yang dianiaya oleh sekelompok orang dengan menimpakan kesalahan kepada pemerintah pun akhirnya terbongkar sendiri.

Ratna Sarumpaet tak bisa membantah CCTV dan bukti-bukti bahwa dirinya dioperasi plastik. Kontras dengan pengakuannya yang dianiaya sekelompok orang. Apalagi citra penganiayaan itu justru menyudutkan Prabowo sendiri dengan peristiwa intimidasi dan penculikan pada masa Orde Baru.

Publik seolah-olah diingatkan kembali dengan penculikan beberapa aktivis yang vokal terhadap kebijakan Orde Baru. Apalagi saat itu Prabowo merupakan bagian dari Orde Baru itu sendiri.

Kini narasi kebohongan Prabowo tentang selang cuci darah yang dipakai oleh 40 pasien justru sudah menuai hasilnya sendiri. Gerindra dan Prabowo harus menuai hasil bahwa menyebar hoaks itu tak ada faedahnya sama sekali, justru malah merugikan partai mereka.

Menurut laporan Lembaga Riset Publik (LRP), elektabilitas Gerindra turun dari 18,6 persen pada dua bulan sebelumnya menjadi 17 persen pada akhir Desember 2018. Ada penurunan 1,6 persen. Soal suara 1,6 persen ini termasuk cukup signifikan, apalagi jika ingin menumbangkan partai lain yang menjadi pemenang pada Pemilu 2014.

Kalau menurut Direktur LRP Arvan Maulana, penurunan tersebut tak lain karena isu hoaks yang dimainkan oleh beberapa petinggi Gerindra termasuk Prabowo.

"Suka atau tidak suka, hasil riset kami menunjukkan kabar bohong atau hoaks, isu kampanye negatif dan kampanye hitam berpengaruh pada penurunan elektabilitas Partai Gerindra," ujar Arvan.

Hoaks yang dilontarkan kubu Prabowo seolah silih berganti. Mulai dari pernyataan Sandiaga Uno tentang membangun Tol Cipali tanpa utang sampai dengan 7 juta surat suara yang sudah tercoblos yang diviralkan oleh Andi Arief. Lengkap sudah narasi hoaks koalisi Adil dan Makmur.

Amat disayangkan jika elite koalisi Adil dan Makmur tidak belajar dari kasus hoaks Ratna Sarumpaet. Begitu juga dengan riset yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menunjukkan bahwa elektabilitas Jokowi-Ma'ruf Amin melesat dari 53,2 persen di bulan September menjadi 57,7 persen di bulan Oktober.

Ikrama Masloman, peneliti LSI, mengungkapkan bahwa kenaikan elektabilitas Jokowi-Ma'ruf ini tak lain karena terungkapnya kasus hoaks Ratna Sarumpaet.

Namun, di sisi lain juga menjadi pekerjaan rumah bagi TKN Jokowi-Ma'ruf bahwa mesin politiknya perlu dimaksimalkan kembali. Jangan sampai elektabilitas Jokowi-Ma'ruf naik hanya gara-gara kompetitornya tersandung batu.

Ibarat sedang bertanding di ring tinju, lawan kalah karena terpeleset kakinya sendiri. Kan jadi anti-klimaks. Penonton bakal kecewa dengan sajian pertandingan seperti ini. Apalagi menurut LSI masih ada 13,7 persen yang belum menjawab dukungan mereka. Apakah pada akhirnya akan memilih Jokowi atau Prabowo pada April 2019 mendatang.

Pelajaran dari fenomena ini, ada baiknya Prabowo menghentikan kampanye negatif ala Trump. Kebohongan-kebohongan presiden AS tersebut tidak relevan jika dijalankan di Indonesia yang rakyatnya multikultur dan sudah mendapatkan pemahaman tentang Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika. Apalagi jika masih ngotot mengimpor ide Khilafah di Nusantara ini.

Prabowo sudah harus mengubah strateginya memikat 13 persen suara yang belum memutuskan pilihannya. Caranya tentu saja dengan mempersiapkan debat sebaik mungkin dengan program-program nyata. 

Adu visi misi lebih jelas dihargai oleh kalangan milenial. Adu gagasan menunjukkan kemampuan seorang pemimpin. Itupun kalau sudah ada program yang nyata dan berhasil digagas oleh Prabowo. Bukan sekadar janji-janji belaka. Apalagi berjanji membangun negara ini tanpa utang.

***