Jokowi Kalah Siapakah yang Bersorak?

Jumat, 22 Maret 2019 | 13:03 WIB
0
338
Jokowi Kalah Siapakah yang Bersorak?
Joko Widodo (Foto: Kanal73.com)

Banyak yang akan bersorak jika Jokowi kalah. Sebab tipe penduduk Indonesia itu akan lebih bahagia jika bisa bekerja lebih santai, tidak banyak perjuangan tetapi mampu mengumpulkan uang cukup. Pegawai negeri bisa tersenyum menikmati pekerjaannya tanpa tekanan harus kerja- kerja dan kerja. Hidup ini dinikmati bukan ditekan- tekan.

Apa sih target- target dan target, kalau ujung- ujungnya penyakit menyergap dan tidak bahagia dalam bekerja. Salah satu tujuan menjadi pegawai  negeri itu adalah ketika bekerja lebih santai dengan gaji tunjangan lebih. Kalau disiplin dan banyak pekerjaan apa bedanya dong dengan pegawai swasta.

Salah satu penunjang kesejahteraan adalah ketika bisa memarkup  anggaran, memanipulasi data dan bersama menjadi panitia gathering atau melakukan lawatan ke luar negeri tanpa terkekang. Mempunyai presiden yang demen bekerja itu berat Om, mas Bro… Manusia khan punya keterbatasan. Butuh kemewahan, butuh relaksasi dengan bepergian ke luar negeri dengan biaya negara. Jika biaya- biaya yang sebelumnya memanjakan terus diaudit dan dikurangi itu berarti mengurangi kebahagiaan.

Perilaku masyarakat yang lebih senang mengendarai mobil pribadi contohnya. Sudah dibuatkan infrastruktur bagus dan MRT, LRT tapi mobil- mobil masih banyak berseliweran di jalan jalan protokol. Mengubah perilaku masyarakat ternyata tidak semudah membalikkan tangan.

Meskipun sepanjang hari terjebak kemacetan dan kerugian mencapai trilyunan dari kemacetan jalan raya tetap saja kaum bonek itu lebih banyak dari mereka yang sadar untuk mengurangi emisi gas karbon dan sadar diri untuk mengubah kebiasaan dari moda pribadi ke kendaraan umum. Umumnya orang- orang malas sedikit menderita.

Maka kini ada kecenderungan kenikmatan itu sekali mengapa harus capek- capek menderita. Maka logika dan akal sehat mengatakan pilihlah yang memanjakan, memberi subsidi, memberi mimpi, memberi hiburan dengan berjoget- joget. Untuk bersaing dengan luar negeri itu bukan perkara sulit. Bikin kebijakan gila. Sama seperti yang dilakukan Donald Trump. Nyatanya sosok kontroversi itu yang dipilih rakyat Amerika. Dunia yang gila maka pemimpinnya pun yang senada.

Pernah dengar khan pepatah Jawa yang kalau tidak salah pernah diucapkan oleh Ronggowarsito  Hamenangi zaman edan yen ora edan ora keduman.( melihat perkembangan zaman gila kalau tidak ikut gila yang tidak kebagian apa- apa ) Jadi logika orang orang Indonesia terasa wajar jika mereka yang sudah terbiasa mapan bahagia lahir bathin terusik dengan kinerja ala presiden yang selalu menekankan kerja- kerja dan kerja.

Ada yang berprinsip alon- alon waton kelakon (pelan pelan asal selamat). Nah jika mengacu pada pepatah itu maka para pencari kerja , pekerja dan pegawai tentu lebih senang dengan sosok yang memberi mimpi- mimpi selangit. Toh sejak lama mereka sudah terbiasa dengan janji- janji para politisi yang tidak pernah ditepati.

Maka jika Jokowi kalah. Mereka akan berpesta pora, merayakan kemenangan para penikmat hidup. Bekerja itu membahagiakan jangan terlalu dikejar target. Kalau masih bisa memanipulasi anggaran dengan aman mengapa harus memakai e budgeting, e- commerse, kebijakan satu pintu yang toh sampai saat ini masih saja direcoki oleh para mafia dalam wujud pegawai orang dalam yang senang mencari muka.

Oh inilah. Mengapa banyak penurunan dukungan kepada Jokowi karena mereka yang akhirnya berpaling lelah dengan pengorbanan, lelah dengan kesabaran yang semakin menipis akibat ketidakpastian perekonomian, dan carut marut politik, perseteruan agama yang tidak pernah berhenti. Mereka merasa Jokowi terlalu sempurna untuk dijadikan andalan dalam memimpin negeri ini. Negara memang maju, infrastruktur ada dimana- mana, Indonesia banyak dipuji tetapi jiwa dan pikiran lelah karena kerja keras seperti yang dilakukan Jokowi dengan tidak kenal lelah.

Muncul hoax tentang buruknya kinerja Jokowi tentu pasti ada sebab musababnya. Banyak yang masih keenakan dengan birokrasi ala orde baru yang bisa melakukan bancakan anggaran. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di birokrasi, tips–tips untuk mempercepat urusan masih terjadi.

Susah dihilangkan selama akar masalahnya belum diselesaikan. Budaya koruptif, menggampangkan perkara, memuluskan uang dengan melakukan pat gulipat susah dihilangkan. Maka kaum mapan, dengan pemikiran lama tentu tidak mau direpotkan dengan kecanggihan teknologi. Jika keuangan terlalu transparan mereka hanya kebagian kerja tetapi tidak kebagian uang lebih.

Maka muncul wacana Jokowi cukup satu periode. Seperti yang terjadi pada Ahok. Ahok itu pemikirannya terlalu visioner. Mereka yang ada dalam pemerintahan tentu lintang pukang mengikuti. Padahal jika sukses apa yang diterapkan oleh Ahok yang senang adalah masyarakat. Tapi masyarakat Jakarta yang multi etnis, beragam suku bangsa, kaum urban yang bersaing ketat untuk mendapat uang dan keberuntungan tidak sabar.

Mereka perlu pendapatan instan, cepat. Meskipun sebetulnya akan sangat merugikan generasi yang akan datang. Ahok terlalu rumil, detail dan ceriwis. Maka mereka yang gerah dengan lompatan pemikiran Ahok segera bersatu padu menghadang. Hasilnya tentu manis bagi mereka, meskipun sebenarnya kaum pemikir yang visioner kecewa mengapa masyarakat susah untuk diajak maju.

Menuntut semangat, giliran diajak kerjasama dan bekerja keras mundur teratur. Mereka Lebih suka bahagia warganya walaupun kemacetan, keruwetan selalu datang tak pernah berhenti. Sudah kepalang menjadi warga kota ya harus sabar terjebak kemacetan.

Tantangan Jokowi berat. Ia harus meyakinkan rakyatnya untuk  maju dan tidak hidup dalam mimpi. Jokowi harus meyakinkan untuk mencapai kepastian hidup bekerja keras itu sangat diperlukan. Proses harus dijalani sementara hasilnya nanti setelah anak cucu merasakan kerja keras pendahulunya.

Indonesia memang sudah terlalu nikmat dengan Sesutu yang berbau instan. Mau bubur, tinggal nyeduh, mau kopi dan susu tinggal beli serenceng dengan rasa beda ada mocca, cocholatos, Kapuccino. Tidak perlu melakukan ritual penggemar kopi yang ribet dengan roasting, mengatur suhu, menuang air pelan, mengambil sari uapnya ah kelamaan. Satu seduhan dituang air panas, diaduk sudah jadi.

Demikian jika ingin masak nasi goreng, rendang. Sudah ada bumbu instan ngapain pusing- pusing mikir bagaimana racikannya. Kelamaan. Satu saset sudah bisa membuat 2 porsi nasi goreng. Simple khan. Maka ketika gerakan perubahan menyeruak dan banyak orang mulai pindah ke lain hati. Jokowi mesti legowo jika kalah. Bukan karena Sosok Jokowi yang kinerjanya buruk tetapi rakyatnya yang memang angin- anginan dan susah diajak untuk berpikir maju.

Kalau saya sih masih percaya dengan sosok yang menghargai proses. Terserah. Untuk mewujudkan mimpi berjuang sedikit itu perlu agar tidak kaget jika dalam perjalanan banyak ujian menghadang. Kalau dengan cara instan hanya karena keinginan orang banyak yang lebih suka cepat memetik hasilnya nanti jika terjerembab malah jauh lebih sakit.

Aduh bicara apa sih saya ini. Terlalu berandai … jangan – jangan saya tengah bermimpi hehehe…

Siapapun pemenangnya setiap orang akhirnya tetap harus memikirkan diri sendiri. Karena mereka para pemimpin hanya peduli ketika mereka sedang berjuang meraih simpati. Kalau sudah berkuasa toh idealisme, harapan dan mimpi itu seringkali hanyalah bagian gimmick  politik. Selanjutnya nasib dan kehidupan tergantung diri sendiri. Itu menurut pendapat saya. Salam damai.

***