Menjawab Soal Matematika Politik SBY untuk Prabowo

Minggu, 3 Maret 2019 | 22:29 WIB
0
29107
Menjawab Soal Matematika Politik SBY untuk Prabowo
Sandiaga, Prabowo dan AHY (Foto: Tribunnews.com)

Sebenarnya mudah menjawab indikasi yang muncul ke permukaan narasi politik mengapa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak "all out", tidak sungguh-sungguh, dan tidak segenap hati mendukung pemenangan Prabowo Subianto selaku calon presiden. Jawabannya; matematika politik.

Matematika dalam jagat keilmuan serba eksak, biner; ya atau tidak. Tidak bisa abu-abu. Di dalam khasanah politik, matematika dimaknakan sebagai "mendekati" kebenaran saja, tetapi bisa salah juga.

Sesungguhnya "matematika politik" SBY dengan Partai Demokrat di belakangnya berlaku juga buat partai-partai politik pendukungnya non-Gerindra, yaitu PKS, PAN, dan belakangan Berkarya. 

Tetapi, baiklah.... kita fokus bahas soal matematika politiknya SBY dulu.

Kalau Anda ingin mengetahui isi hati SBY sekarang ini -di luar karena beliau sedang galau mendampingi Ibu Ani yang tengah sakit dan berada dalam perawatan intensif di Singapura- mudah sekali ditebak tanpa harus mengeluarkan rumus yang rumir. Semua yang pasti-pasti saja, sesuatu yang dapat dihitung seperti menjawab soal-soal matematika.

Bagi SBY, pada Pilpres 2019 yang penting bukan Prabowo Subianto yang memenangi kontestasi. That's it!

Lho kok bisa!? Eitsss.... sabar dulu, Bro!

Bagi SBY pula, tidak terlalu antusias kalau akhirnya Joko Widodo alias Jokowi terpilih sebagai presiden untuk yang kedua kalinya, sebagaimana prestasinya. Artinya, "Rekor MURI" yang selama ini dipegang dirinya sebagai Presiden dengan masa jabatan 10 tahun hasil pemilihan langsung akan segera terpecahkan.

Meski secara etis SBY tidak terang-terangan mendukung Jokowi, tetapi dalam lubuk hatinya yang paling dalam, SBY sebenarnya berharap Jokowi-lah yang jadi pemenangnya!

Duh, fitnah apa lagi yang akan kausemburkan...??

Jawaban dari soal matematika politik SBY itu adalah AHY!

Ya, AHY.

AHY adalah Agus Harimurti Yudhoyono, puteranya sendiri, yang sudah masuk orbit politik Indonesia modern sejak ia menjadi calon gubernur DKI Jakarta pada Pilkada 2017 lalu. AHY adalah tumpuan harapan bagi SBY selaku ayah maupun Demokrat sebagai partai keluarga Cikeas. Harus ada penerus keduanya; sebagai anak biologis sekaligus sebagai anak ideologis.

Tentu yang SBY pertimbangkan bukanlah sosok Prabowo Subianto, melainkan kamerad terdekatnya, yaitu Sandiaga Uno. Prabowo sudah dianggap selesai jika upaya kali ini gagal.

Nah, kita harus tarik nafas dulu untuk berpikir sejenak mengenai nama ini; Sandiaga Uno. Mengapa harus dia?

Pertimbangkanlah bahwa posisi Sandiaga saat ini adalah calon wakil presiden pendamping Prabowo setelah mengundurkan dari jabatan politiknya sebagai wakil gubernur DKI Jakarta.

Saat ini dengan dana kampanye dari hasil merogoh koceknya sendiri yang konon sudah sekitar Rp150 miliar, Sandiaga Uno sangat terkenal di kalangan milenial, wa bil khusus kalangan emak-emak. Persisnya calon pemimpin milenial!

Jelas sebutan ini, juga ketenaran Sandiaga yang secara langsung mengiklankan dirinya sendiri nyaris setiap hari. Ini otomatis mendongkrak popularitasnya. Debat Capres juga panggung yang menguntungkan buat popularitas Sandiaga.

Padahal, dua tahun sebelumnya, sosok calon pemimpin milenial itu tanpa diragukan lagi depagang oleh AHY lewat kontestasi Pilkada DKI Jakarta, sekalipun pada akhirnya terlempar di putaran pertama. Tetapi popularitasnya naik bahkan sosok AHY dikenal sampai sekarang.

Hanya saja, tidak mungkin AHY atau Demokrat terus-menerus beriklan dengan memasang billboard sebesar layar bioskop di sudut-sudut kota atau menjejali televisi dengan pidato politik. Lama-lama publik bosan dan bahkan muak karena tahu motifnya "ada udang di balik billboard".

Beriklan politik dalam ranah publik yang nonpolitik biasanya tidak efektif. Beda dengan Sandiaga yang terdongkrak karena ia masuk di kancah peperangan. Beriklan pun dianggap sebagai kewajaran, bahkan keharusan.

Bayangkan kalau Prabowo menang sebagai Presiden RI dengan wakil presiden Sandiaga yang "unyu-unyu" dan milenial, maka selama 5 tahun berikutnya sosok Sandiaga akan semakin dikenal publik. Nah saat Pilpres 2024, tidak mungkin Sandiaga mengulangi politik kekinian yang tengah dilakoninya dengan "cuma" menjadi cawapres. Dalam bisnis harus ada kemajuan dong, jadi Capres!

Lima tahun dengan kematangan sebagai wakil presiden, Sandiaga akan mudah memenangi Pilpres 2024 untuk kalangan pemimpin milienal.

Bagaimana dengan AHY?

Ya itu jawaban dari rumus matematika politik SBY. AHY akan sangat susah payah mengorbitkan dirinya selama 5 tahun ke depan bahkan ketika ia menjadi Ketua Umum Partai Demokrat. Sebab, tidak ada momentum baginya selama 5 tahun ke depan kecuali beriklan di peristiwa-peristiwa non politik di berbagai ruang dan waktu.

Sekarang bayangkan kalau Joko Widodo dan pasangannya, Ma'ruf Amin, yang menjadi pemenang kontestasi Pilpres. Jelas aman bagi SBY, juga bagi AHY. Jokowi sudah tidak mungkin mencalonkan diri lagi di tahun 2024. Konstitusi membatasi jabatan Presiden RI cuma 10 tahun.

Ma'ruf Amin mencalonkan diri sebagai Capres 2024? Ya bisa saja sih, tetapi mengingat usia sekarang saja sudah 75, rasanya sudah tertutup kemungkinan Sang Kyai mencalonkan diri.

Demikianlah jawaban dari rumus matematika SBY. Sangat mudah ditebak, bukan?

Jadi, jangan terlalu heran kalau SBY -demikian pula AHY- cenderung tidak terlalu menunjukkan hasratnya untuk "all out" mendukung Prabowo lewat serangkaian kampanye.

Pun para partai pendukung non Gerindra seperti PKS, PAN dan Berkarya. Mereka idem dito dengan SBY-AHY, tidak mau "all out". Para pentolan partai ini sadar, mereka tidak mendapat "coattail effect" dari dukungan ini. Mereka lebih memilih menyibukkan diri dengan mendukung para caleg dan partai masing-masing.

Terus Prabowo Subianto dengan Gerindra-nya gimana dong?

Boleh jadi artikel yang pernah ditulis sebelumnya ini benar, Prabowo dan Gerindra akan ditinggalkan sendirian.

***