Reuni 212 Cuma Buat Dongkrak Elektabilitas Prabowo-Sandi

Rabu, 5 Desember 2018 | 10:28 WIB
0
130
Reuni 212 Cuma Buat Dongkrak Elektabilitas Prabowo-Sandi
Prabowo Subianto (Foto: Pojoksatu.id)

Gerak-gerik kubu Prabowo ini tak sulit-sulit amat untuk diprediksi. Bahkan alurnya pun bisa ditebak dengan cukup mudah. Beda dengan cerita komik Conan Edogawa, Detektif muda yang tubuhnya menyusut, karya Gosho Aoyama yang selalu memiliki twist ending yang mengejutkan.

Seperti kata Lilik Fatima Azzahra, salah seorang novelis, tidak ada yang menarik lagi kalau akhir atau alur ceritanya dapat ditebak dengan mudah. Tidak ada kejutan dalam sebuah rangkaian cerita. Twistnya gak dapat sama sekali. Persis seperti skenario Sudrajat Ahmad Syaikhu yang didongkrak dengan giringan survei dan juga kampanye 2019 ganti presiden.

Menyikapi hal tesebut, sebetulnya kubu Jokowi juga harus mempersiapkan exit strategy untuk mengcounter gerakan-gerakan seperti ini. Apalagi setelah Median merilis survei elektabilitas Jokowi berada di angka 47 persen.

Lembaga Survei Median berada di bawah kepemimpinan Rico Marbun, yang juga kader PKS ini tampaknya tak akan berhenti sampai di sini saja.

Masih ada jeda sebelum Pilplres di mulai. Bisa saja satu atau dua kali lagi merka menggiring opini publik dengan merilis survei-survei yang seolah-olah elektabilitas Prabowo dan Sandiaga mulai merangkak naik. 

Memang Median cukup bermain cantik. Dalam survei mereka, selisih elektabilitas Jokowi dan Prabowo disisakan tinggal 12,2 persen saja. Ini juga cara yang nampaknya bisa membuat swing voters berpaling. Seolah-olah dicitrakan Prabowo dan Sandiaga Uno mulai mendapatkan hati masyarakat.

Apakah benar seperti itu?

Melihat kenyataannya di lapangan, kondisi warga di akar rumput sangat dinamis. Apalgi jika bicara Indonesia yang sangat plural. Malahan pernyataan-pernyataan Prabowo belakangan ini kontraproduktif dengan hasil survei Median yang menyatakan elektabilitas Prabowo-Sandi 35,5 persen.

Beberapa kali Prabowo melakukan blunder seperti kasus "Tampang Boyolali", "Ojek Online" dan yang terbaru "Tidak dapat Pinjaman dari Bank Indonesia".

Beda lembaga survei beda juga hasilnya. Kalau kita bandingkan dengan hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, elektabilitas Jokowi masih berada di angka 53,2 persen. Sementara Prabowo di angka 31,2 persen. Terpaut jauh 22 persen untuk mengejar.

Median menggelar survei pada 1200 responden dari tanggal 4-16 November 2018 dengan margin error 2,9 persen. Median menggunakan teknik multistage random sampling dan proporsional atas populasi provinsi dan gender.

Sementara LSI menggelar survei pada 1200 responden di 32 provinsi dari tanggal 10-19 November 2018 dengan margin error 2,9 persen juga. Teknik yang digunakan LSI dengan menggunakan metode multistage random sampling dengan jumlah responden 1.200, melalui wawancara tatap muka menggunakan kuesioner.

Bisa terlihat kan bedanya bagaimana Median dan LSI melakukan survei?

Inilah menariknya perang survei. Masing-masing kehebatan lembaga survei memprediksi, benar-benar diuji. Eh, sampai di sini apakah ada yang menduga bahwa keduanya juga pesanan?

Sebetulnya bukan soal pesanan atau tidak. Kalau teknik dan metodologi surveinya benar, seharusnya hasil survei tersebut dirilis secara transparan.

Namun demikian, rakyat saat ini sudah cukup cerdas kok menyikapi hasil beberapa lembaga survei. Mereka tak akan menelan bulat-bulat hasil survei yang ada. Apalagi jika lembaga survei tersebut memiliki afiliasi terhadap salah satu parpol atau capres tertentu.

Nah, setelah Jokowi "diserang" dengan rilis survei Median lalu apa?

Momen reuni alumni 212 inilah yang sudah terbaca jelas arahnya untuk mendukung Prabowo Sandiaga Uno. Layaknya seperti skenario sebuah FTV. Reuni ini jelas digalang untuk menunjukkan kekuatan massa, meniru Pilkada DKI Jakarta saat menggulingkan Ahok dan menaikkan Anies Baswedan yang kini duduk di kursi Gubernur DKI.

Tapi, tidak apa sih. Biarlah para alumni Monas 212 ini bercengkrama mengingat masa-masa indah mendapatkan sari roti gratis, dan limpahan makanan-makanan lainnya sedekah dari para dermawan. Bahan konon para alumni Monas 212 ini sudah dinantikan ribuan porsi rendang Padang yang nikmat. Siapa yang tak tergoda untuk bisa hadir di tengah-tengah 4 juta alumni Monas?

Jadi, tampaknya reuni 212 digelar untuk mengulang kembali skenario serupa. Digaungkan untuk menyelamatkan agama, silaturahmi umat dan bentuk ukhuwah Islamiyah tapi ujung-ujungnya HRS yang nun jauh masih di Arab Saudi sana menyampaikan pesan kampanye terselubung. 

Tentu kepolisian pun harus ekstra hati-hati dalam menyikapi hal ini, apalagi saat ini kepolisian sedang menangani kasus Habib Bule yang terang-terangan menyebut Jokowi Banci tapi dibela kubu Prabowo dengan dalih sedang memperjuangkan rakyat. 

Ujung-ujungnya suara-suara seperti kaset butut akan diputar ulang "Kriminalisasi Ulama" buntutnya ya apalagi kalau bukan 2019 ganti presiden. Ya mbok sabar dikit dong.

***