Anda pendukung keras Jokowi atau Prabowo? Bahkan bersedia berkelahi dan kalau perlu mati demi pilihan Anda? Tidak masalah. Yang mana pun yang Anda dukung bersiap-siaplah untuk menerima kenyataan.
Fakta yang harus Anda terima, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, adalah bahwa capres yang Anda dukung dengan mati-matian besar kemungkinannya kalah dan justru capres yang sangat Anda benci malah jadi. Mereka bisa Jokowi-Kyai Ma'ruf Amin dan bisa Prabowo-Sandi.
Anda bisa saja benci pada salah satu pasangan dan sangat mencintai pasangan lainnya tapi kenyataan nantinya bisa saja yang jadi adalah pasangan orang yang Anda benci. Apakah Anda bisa menerima kenyataan itu? Kalau itu berat maka mulailah BELAJAR menerima kenyataan mulai sekarang. Jangan menunggu setelah pilpres. It’s just a mental exercise and you can start now.
Kita harus mulai menerima kenyataan dan juga melihat kenyataan bahwa siapa pun pasangan yang terpilih nantinya adalah pasangan presiden dan wakilnya yang telah direstui oleh Tuhan dan disepakati oleh bangsa Indonesia. Mereka adalah bagian dari kita, saudara kita, dan bukan orang lain. Mereka memiliki keinginan dan cita-cita yang sama dengan kita dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa meski mungkin dengan cara mencapainya yang tidak seperti yang kita inginkan.
Siapa pun nantinya yang akan terpilih adalah SAUDARA KITA. Kita harus bisa menerimanya dengan ikhlas sejak sekarang.
Jika Anda tidak bisa menerima kenyataan tersebut maka hidup Anda akan sengsara dan menderita karena akan ditempeli oleh setan dengki, amarah, benci, beserta kawan-kawannya. Bukan hanya itu, kalau kita tidak bisa menerima kenyataan pahit yang mungkin akan kita terima sebagai konsekuensi dari pilpres ini maka kehidupan pertemanan, kekeluargaan, bermasyarakat, keumatan, dan bahkan bangsa, akan menjadi taruhannya.
Kita akan tetap menaruh dendam dan kebencian dalam hati karena tidak bisa menerima kenyataan pahit dan bertekad untuk mempertahankan permusuhan dan kebencian tersebut. Akibatnya perpecahan akan benar-benar tidak terelakkan. Kehidupan yang begitu indah yang diberikan oleh Tuhan pada kita saat ini akan berubah menjadi neraka hanya karena kita tidak bisa menerima kenyataan.
Sebagai bagian dari masyarakat intelektual sudah sewajibnya kita berupaya untuk mencegah kemungkinan buruk yang akan menimpa bangsa kita dan bukan justru menjadi bagian dari perpecahan tersebut. Taruhannya terlalu besar dan kita tidak perlu, dan jangan sampai, menuju kesana.
Setelah debat pilpres kemarin saya melihat semakin destruktifnya permusuhan antar pendukung. Sementara para capres dan cawapresnya bisa bersalaman dan berangkulan, dan bahkan Sandi mencium tangan Kyai Ma’ruf Amin (that’s really nice, Sandi), tapi permusuhan dan kebencian antar pendukung semakin dalam. Apakah Anda tidak melihat betapa mengerikannya itu semua? Saya sungguh ngeri melihat betapa teman-teman dekat dan bahkan saudara saya terlibat dalam suasana permusuhan yang semakin lama semakin merusak jiwa.
Oleh sebab itu saya mengajak semua teman untuk mulai menahan diri dan mulai berpikir panjang akan manfaat dan kerugian yang mungkin akan kita terima baik sebagai individu mau pun sebagai bagian dari masyarakat, umat, dan bangsa Indonesia yang kita cintai ini. Fanatisme yang berlebihan ini telah menyeret kita terlalu jauh dan rasanya kita akan sulit keluar dari kubangan rasa permusuhan dan kebencian antar sesama kalau tidak kita mulai dari sekarang.
Tentu saja itu tidak mudah. Kita sudah terlanjur terlibat secara intelektual dan emosional. Jiwa dan mental kita sudah ada di dalam kubangan tersebut. Oleh sebab itu kita harus mulai dengan tekad dulu untuk mulai menarik diri secara emosional dari setiap aura permusuhan dan kebencian yang muncul di media sosial. Jangan biarkan diri kita tercebur dalam suasana permusuhan, kebencian, dendam, kebohongan, fitnah, dan turunannya.
Kita semua bisa melakukannya. Oleh sebab itu mari kita mulai bersama-sama menahan diri.
Surabaya, 20 Januari 2019
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews