Terimalah Kenyataannya Sekarang

Minggu, 20 Januari 2019 | 11:29 WIB
0
222
Terimalah Kenyataannya Sekarang
Jokowi dan Prabowo (Foto: Tempo.co)

Anda pendukung keras Jokowi atau Prabowo? Bahkan bersedia berkelahi dan kalau perlu mati demi pilihan Anda? Tidak masalah. Yang mana pun yang Anda dukung bersiap-siaplah untuk menerima kenyataan.

Fakta yang harus Anda terima, suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, adalah bahwa capres yang Anda dukung dengan mati-matian besar kemungkinannya kalah dan justru capres yang sangat Anda benci malah jadi. Mereka bisa Jokowi-Kyai Ma'ruf Amin dan bisa Prabowo-Sandi.

Anda bisa saja benci pada salah satu pasangan dan sangat mencintai pasangan lainnya tapi kenyataan nantinya bisa saja yang jadi adalah pasangan orang yang Anda benci. Apakah Anda bisa menerima kenyataan itu? Kalau itu berat maka mulailah BELAJAR menerima kenyataan mulai sekarang. Jangan menunggu setelah pilpres. It’s just a mental exercise and you can start now.

Kita harus mulai menerima kenyataan dan juga melihat kenyataan bahwa siapa pun pasangan yang terpilih nantinya adalah pasangan presiden dan wakilnya yang telah direstui oleh Tuhan dan disepakati oleh bangsa Indonesia. Mereka adalah bagian dari kita, saudara kita, dan bukan orang lain. Mereka memiliki keinginan dan cita-cita yang sama dengan kita dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan bangsa meski mungkin dengan cara mencapainya yang tidak seperti yang kita inginkan.

Siapa pun nantinya yang akan terpilih adalah SAUDARA KITA. Kita harus bisa menerimanya dengan ikhlas sejak sekarang. 

Jika Anda tidak bisa menerima kenyataan tersebut maka hidup Anda akan sengsara dan menderita karena akan ditempeli oleh setan dengki, amarah, benci, beserta kawan-kawannya. Bukan hanya itu, kalau kita tidak bisa menerima kenyataan pahit yang mungkin akan kita terima sebagai konsekuensi dari pilpres ini maka kehidupan pertemanan, kekeluargaan, bermasyarakat, keumatan, dan bahkan bangsa, akan menjadi taruhannya.

Kita akan tetap menaruh dendam dan kebencian dalam hati karena tidak bisa menerima kenyataan pahit dan bertekad untuk mempertahankan permusuhan dan kebencian tersebut. Akibatnya perpecahan akan benar-benar tidak terelakkan. Kehidupan yang begitu indah yang diberikan oleh Tuhan pada kita saat ini akan berubah menjadi neraka hanya karena kita tidak bisa menerima kenyataan.

Sebagai bagian dari masyarakat intelektual sudah sewajibnya kita berupaya untuk mencegah kemungkinan buruk yang akan menimpa bangsa kita dan bukan justru menjadi bagian dari perpecahan tersebut. Taruhannya terlalu besar dan kita tidak perlu, dan jangan sampai, menuju kesana.

Setelah debat pilpres kemarin saya melihat semakin destruktifnya permusuhan antar pendukung. Sementara para capres dan cawapresnya bisa bersalaman dan berangkulan, dan bahkan Sandi mencium tangan Kyai Ma’ruf Amin (that’s really nice, Sandi), tapi permusuhan dan kebencian antar pendukung semakin dalam. Apakah Anda tidak melihat betapa mengerikannya itu semua? Saya sungguh ngeri melihat betapa teman-teman dekat dan bahkan saudara saya terlibat dalam suasana permusuhan yang semakin lama semakin merusak jiwa. 

Oleh sebab itu saya mengajak semua teman untuk mulai menahan diri dan mulai berpikir panjang akan manfaat dan kerugian yang mungkin akan kita terima baik sebagai individu mau pun sebagai bagian dari masyarakat, umat, dan bangsa Indonesia yang kita cintai ini. Fanatisme yang berlebihan ini telah menyeret kita terlalu jauh dan rasanya kita akan sulit keluar dari kubangan rasa permusuhan dan kebencian antar sesama kalau tidak kita mulai dari sekarang.

Tentu saja itu tidak mudah. Kita sudah terlanjur terlibat secara intelektual dan emosional. Jiwa dan mental kita sudah ada di dalam kubangan tersebut. Oleh sebab itu kita harus mulai dengan tekad dulu untuk mulai menarik diri secara emosional dari setiap aura permusuhan dan kebencian yang muncul di media sosial. Jangan biarkan diri kita tercebur dalam suasana permusuhan, kebencian, dendam, kebohongan, fitnah, dan turunannya.

Kita semua bisa melakukannya. Oleh sebab itu mari kita mulai bersama-sama menahan diri.

Surabaya, 20 Januari 2019

***