Menunggu Kewarasan Nalar Para Elite Politik

Jika ingin berkontribusi untuk kemajuan bangsa tidak usah terlalu berisik, sumbangkan pemikiran anda untuk memajukan pendidikan dan institusi agar tidak ada kesempatan pemikiran radikal

Kamis, 17 Oktober 2019 | 18:23 WIB
0
286
Menunggu Kewarasan Nalar Para Elite Politik
Ilustrasi (Foto: beritagar.com)

Dari berbagai review, artikel, opini dan berita- berita di media massa rasanya susah menemukan kewarasan nalar para elite politik. Nalar untuk berjuang tanpa embel- embel kepentingan partai dan bagi – bagi kue kekuasaan. Tujuan berkecimpung dalam politik salah satunya ya meraih kekuasaan. Maka itu setiap politisi perlu kembali hidup dalam pusaran kehidupan yang penuh kemunafikan.

Kalau mereka bicara tentang nasionalisme, tentang kejujuran, tentang ketulusan ya bagi masyarakat cuma tersenyum saja. Istilah jawanya “Ora usah digagas”. Apa yang terucap dibibir dan di hati berlainan. Ia bisa begitu manis dengan wajah tidak berdosa,tetapi rencana- rencana yang terkatakan bisa saja seperti serigala yang siap menerkam ketika lengah.

Kali ini mereka bermusuhan, tidak bertegur sapa, melengos tetapi lain kali mereka bisa bercipika- cipiki. Ah so sweet. Ya tentu ada maksudnya, karena jika merancang pertemuan, mengadakan rekonsiliasi demi persatuan dan kesatuan semuanya punya hitungannya. Nalar mereka tidak pernah jernih seperti ketika melakukan laku meditasi dan kontemplasi.

Apa yang terpampang dalam perilaku elite politik itu anggaplah sebagai pemandangan. Sesekali dilihat tetapi jangan dipikirkan terlalu dalam. Tatap saja sebentar lalu suntuk lagi dalam pekerjaan yang memberi kita rejeki. Kenapa harus serius memikirkan politik jika kenyataannya hanya membuat lelah pikiran.

Seliweran berita hoax, perilaku politisi sudah terekam dan jejak digitalnya susah ditipu. Kalau mereka berusaha mengelak pernah melukai rakyatnya jangan percaya. Kalau berita- berita tentang mereka masih dalam hitungan tahun, dengan membuka internet, membuka filenya terlihat bahwa betapa entengnya mulut para elite itu mengelit dari apa yang diucapkannya beberapa waktu silam. Lalu bagaimana harus mempercayai penuh jika kenyataannya mereka sudah terbiasa bersilat lidah, berkelit meskipun jejak digital tidak pernah berkianat.

Hidup itu penuh kompromi, jika tidak mau kompromi maka terkucillah diantara hiruk pikuk kekuasaan. Jalan itu berbelok- belok yang lurus saja harus dibelokkan dan yang belok semakin berliku- liku saja.

Akhirnya tidak ada hidup yang mulus. Semuanya harus melalui perjalanan berbelok, kalau terlalu lurus malah membosankan dan bikin boring atau membosankan. Nah itu khan…

Sekarang kalau menunggu kewarasan para elite politik, seperti menegakkan jarum basah, seperti menunggu  langit membiru kala mendung, menunggu bintang bersinar disiang hari. Biarlah mereka mencari trik- trik agar bertahan dalam lingkar kekuasaan. Apa yang terpapar sekarang ini dengan perilaku anggota DPR, perilaku bupati- bupati yang tertangkap OTT (Operasi Tangkap Tangan) adalah kenyataan yang harus dimaklumi.

Apakah dengan ademnya jiwa, gosongnya jidat, putih dan wanginya baju kala sembahyang mampu meredam dendam, mencairkan gelegak kekuasaan yang terus bermain di seputar ubun- ubun. Sampai saat ini sembahyang terus berjalan tetapi lempar batu tetap dilakukan, demo- demo rusuh tambah marak dan mereka merusak sambil mengucap kebesaran Tuhan.

Manusia, seperti tidak lelah menambah dosa. Dan selama mereka terus berdoa dan bersimpuh khusuk karena yakin segala kelakuannya dosa- dosanya akan lenyap ketika berdoa. Seberapapun jejak dosa dengan melukai bahkan membunuh manusia lain akan terhapuskan dengan berdoa. Ah, manusia pantasan banyak tempat ibadah didirikan, tempat suci itu selalu ramai dikunjungi dan kegiatan keagamaan tidak kurang- kurang, tetapi mengapa masih saja kerusuhan muncul, selalu ada korban dan keblingeran manusia, selalu saja ada teriakan kebencian dan hujatan- hujatan meluncur.

Sampai seberapa dalam memaknai agama sebagai sumber kedamaian di jiwa? Ah sepertinya aku, merasa terus bertanya apakah doa- doa yang terucapkan manusia saat ini hanya dibibir saja, tidak sampai menjangkau kedalaman jiwa dititik terdalam nurani hingga manusia yang katanya paling bernalar jauh lebih keji dari binatang yang paling ganas.

Tiga hari lagi pelantikan presiden berlangsung, mari kawal agar tidak pecah kerusuhan hanya karena segelintir manusia- manusia”paling bernalar” tidak ingin Indonesia damai. Para intelek yang katanya lulusan terbaik lembaga pendidikan ternama tetapi tidak merasa bahwa demokrasi yang berjalan. Pemilu sudah selesai dan Presiden sudah terpilih tetapi mereka seperti hidup di alam mimpi hingga ketika bangun mereka tidak sadar bahwa presiden telah terpilih.

Kalau ingin berkontribusi untuk kemajuan bangsa tidak usah terlalu berisik, sumbangkan saja pemikiran anda untuk memajukan pendidikan dan institusi agar tidak ada kesempatan pemikiran radikal merasuk dalam lembaga pembelajaran yang seharusnya steril dengan ajaran- ajaran yang hendak memecah belah bangsa.

Salam damai selalu.

***