Mitos Tukang Obat yang Abadi Menipu

Asyik juga membayangkan pasangan kedua mereka. Yang satu ngegas, yang satu ngerem. gantian terus begitu. Kalau pun mereka tampak berantem?

Senin, 16 November 2020 | 06:47 WIB
0
307
Mitos Tukang Obat yang Abadi Menipu
Tukang obat (Foto: Facebook/Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Dulu sekali waktu masih kecil, karena tempat kami tinggal cuma sepelemparan batu dari Pasar Beringharjo. Di sebuah pabrik farmasi yang dulunya bernama Van Gorkom. Nyaris setiap malam, kerjaan saya adalah menongkrongi lapak tukang obat. Tidak tepat benar sih, mereka tukang obat. Karena mereka bisa jualan apa saja. "Obat" hanya salah satu produk dagang mereka.

Di Jogja, muncul istilah "nyonthong" mungkin berasal dari gaya bicara mereka. Mulut mucu-mucu, kalau istilah pasar disebut "kaya yak-yako". Seperti merasa paling-paling, paling benar, paling ampuh, paling sakti dst nya.

Saya sendiri sangat suka menonton, lebih karena ada pameran atau pertunjukan mainan anak-anak yang untuk ukuran saat itu, tahun pertengahan 1970-an. Musykil kami, anak kampung bisa memilikinya. Sejenis pesawat terbang yang bisa muter-muter, atau robot bertampang monyet yang menabuh drum band atau mobil-mobil yang bisa jungkir balik. Pokoknya asyik, sebuah kesenangan sederhana hanya dengan melihat. Dan tak butuh cita-cita untuk memiliki.

Namun kenapa disebut "tukang obat", belakangan karena mereka yakin bahwa di sekitar kita banyak orang sakit. Sakitnya bisa apa saja dan sialnya obatnya kadang kala hanya satu jenis. Obat sapu jagad yang bisa menyembuhkan semua penyakit. Sesuatu yang hingga hari ini, tampaknya masih ada yang sejenis. Aneh bin ajaib, bagaimana mungkin satu obat bisa menyembuhkan satu penyakit. Bila satu jenis influenza saja sesungguhnya memeiliki sedemikian banyak varian....

Baca Juga: Negara dan Nikita

Fenomena "tukang obat" ini di masa lalu, saya bisa kategorikan dua jenis. Sakit fisik, yang itu bisa apa saja dan disini biasanya berkumpul anak-anak dan ibu-ibu. Di seberang yang lain, adalah tukang obat kejantanan. Terutama adalah sakit lemah syahwat, atau kalau bahasa hari ini ejakulasi dini atau apa pun yang intinya adalah ketidakpededean secara seksual.

Untuk yang belakangan ini, si tukang obat untuk menarik perhatian sering menyelipkan gambar nudis, baik laki-laki maupun perempuan. Dan karena itulah biasanya yang nonton selalu penuh dan menanti si tukang obat mengeluarkan kartu truf-nya itu. Di masa itu, memiliki gambar porno nyaris suatu kemustahilan. Dan yang memilikinya selalu merasa dua kasta di atas yang hanya bisa bengong melihatnya dari jauh....

Jadi, kalau kemarin-kemarin seorang artis yang sangat fansboi itu menyebut mereka yang suka teriak-teriak jualan agama itu sejenis tukang obat dalam bentuk yang lain. Saya pikir secara antropologis sudah benar.

Cara mereka berjualan adalah nyaris sama, menjajakan sesuatu yang sama sekali mereka tak gunakan. Dulu tukang obat tidak mengkonsumsi obatnya sendiri, tentu karena bukan karena mereka tidak sakit. Tapi lebih karena bahkan mereka pun tak yakin dengan khasiat obat yang dijajakannya.

Dalam konteks hari ini, tukang obat juga makin penting. Banyak sekali orang sakit di luar sana. Tidak selalu sakit dalam arti sesungguhnya (karena irisan ini juga sangat besar). Tetapi mereka yang sakit secara psikis. Tersebab oleh banyak hal. Yang miskin ingin pansos menjadi tampak kaya. Yang bodoh banyak omong biar tampak keren. Yang kaya ingin semakin tampak sukses, dengan berganti2 sandangan: terus menerus, padahal apa perlunya. Ini zaman dimana orang ingin tampil keren walau sesungguhnya sama sekali tidak.

Di sinilah fungsi, manfaat, dan peran tukang obat masa kini. Mereka ini mengobati orang agar bisa merasa tidak bersalah ketika selesai mencuri. Orang korupsi lalu bisa diberi katarsis dengan sedekah. Orang boleh selingkuh, tapi setelahnya nyumbang ke panti. Orang boleh menyakiti siapa pun, tapi setelahnya membangun rumah ibadah. Katarsis yang hanya "tukang obat" yang bisa memberi keseimbangan hidup yang baru....

Dan tentu saja, karena persaingan profesi. Tukang obat ini bisa dengan kelas yang bertingkat-tingkat. Bisa kelas kampung, bisa kelas kecamatan, kabupaten, dan seterusnya bahakan kelas internasional. Mereka sesungguhnya adalah hanya cara mencari makan, jalan menghidupi keluarga, dan sialnya kemudian bisa untuk membangun pengikut dan fans klub. Watak tukang obat itu abadi, hanya metamorfosisnya saja yang terus berubah bentuk dan gaya....

Baca Juga: Kamala dan Nikita

Bila sehari kemarin, kita melihat pernbenturan yang sungguh keras antara seorang ustadz (namanya rumit dan palsu, males nulisnya) dan NM. Bagi saya sesungguhnya keduanya tak lebih tukang obat. Si Ustadz yang konon dikeluarkan dari pesantren karena terindikasi LGBT. Melawan Nikita Mirzani profiling wanita sukses, yang memiliki segudang kontroversi. Keduanya mengobati rasa sakit kelompoknya masing-masing. Tentu dengan cara "umyek" di media sosial. Dan fans club mereka berteriak girang ...

Saya sih menyarankan: kalau memang salah satu dicalonkan jadi presiden selanjutnya. Mbok yao, si rival dijadikan wakilnya. Mereka bisa jadi pasangan sempurna yang saling melengkapi. Dan terutama menyempurnakan status dan posisi negara kita, sebagai bagian dari masyarakat global yang sesungguhnya juga makin sakit parah itu.

Asyik juga membayangkan pasangan kedua mereka. Yang satu ngegas, yang satu ngerem. gantian terus begitu. Kalau pun mereka tampak berantem?

Ah itu kan hanya maunya fansclub mereka....

***