Negara dan Nikita

Biarkan saja Nikita menentukan jalan hidupnya sendiri; dengan perlawanannya, dengan keberaniannya melawan ratusan pria yang mau menggeruduk rumahnya, tidak perlu diurusi.

Minggu, 15 November 2020 | 05:47 WIB
0
288
Negara dan Nikita
Nikita Mirzani (Foto: tribunnews.com)

Ada banyak pertanyaan berupa status unek-unek di media sosial menyikapi kedatangan seorang tokoh yang telah datang kembali dari luar negeri. Sedemikian massifnya penyambutan di bandara sampai-sampai puluhan penerbangan dalam dan luar negeri dibatalkan hari itu karena jalanan menuju Bandara Soekarno-Hatta macet total, lumpuh oleh euforia massa. PSBB pun total tak berlaku, tak ada jarak lagi di sana.

Saya tidak ingin mengomentari mengapa dia pergi, mengapa dia kembali, mengapa dia disambut gempita pendukungnya, dan apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Tidak sama sekali. Saya hanya ingin menanggapi unek-unek warga internet yang menganggap negara (baca: aparat pemerintah) tidak hadir saat kekacauan akibat penyambutan itu terjadi. Sampai-sampai ada yang bertanya dengan nada melankolik: mau di bawa kemana negara ini?

Di beberapa grup WA yang saya ikuti, teman-teman pun mempertanyakan hal ini; kok polisi tidak bertindak, kok TNI diam, kok Pak Jokowi cuwek saja, kok gugus tugas penanganan Covid-19 tidak bertindak dan seterusnya. Saya coba berada dalam kacamata negara dalam hal ini bagaimana pemerintah memandang "fenomena" ini.

Saya pikir negara dalam hal ini pemerintah tidaklah menutup mata atas peristiwa ini, tidak pula abai terhadap persoalan yang muncul atas kembalinya tokoh itu. Tetapi, pemerintah hanya sedang memperlakukan warganya sama saja di depan aparat.

Orang boleh datang dan pergi, pemerintah mau menyambut atau tidak, itu pilihan. Tindakan gegabah aparat di lapangan -katakanlah menghadang atau mencegah para penjemput- hanya akan memantik persoalan, apalagi bertindak secara represif, apa kata dunia? Jadi tindakan aparat apa: ya biarkan saja!

Di sinilah makna "pembiaran" yang diterapkan pemerintah dalam hal ini aparat negara. Biarkan saja orang pergi dan datang, biarkan saja orang-orang menyambutnya.

Kalau ada unsur atau wakil pemerintah pusat yang menyambut, berarti orang itu istimewa, setidak-tidaknya warga terhormat yang layak diberi penghormatan. Kalau tidak ada penyambutan, ya sama saja seperti Mang Udin atau Daeng Rusli yang baru tiba di bandara.

Memaksa Jokowi sebagai presiden berkomentar? Berarti sama saja dengan dia mengomentari saya yang baru merevarasi iPad akibat baterainya gembung di Ratu Plaza. Jokowi punya "tangan-tangan negara", punya aparat seperti TNI, Polri, BIN, Kejaksaan, Kehakiman, dan seterusnya, yang tentu saja ia mempercayakan semua aparat bekerja di lapangan dengan tepat.

Pada saatnya ia akan bicara jika laporan yang diterimanya lengkap, itupun sekali lagi kalau apa yang ia komentari penting dan bermaslahat buat rakyat. Kalau tidak penting, sama dengan tidak mengomentari ulah Nikita Mirzani yang menyedot perhatian publik saat ini.

Biarkan saja Nikita menentukan jalan hidupnya sendiri; dengan perlawanannya, dengan keberaniannya melawan ratusan pria yang mau menggeruduk rumahnya, tidak perlu diurusi.

Kalau kemudian aparat mau mengurusi, itu berarti Nikita lumayan penting.

***