Kamala dan Nikita

Kamala dan Nikita, sama-sama menyadari ada yang harus dilawan dan harus diperjuangkan. Memang, bobot perjuangan berbeda.

Minggu, 15 November 2020 | 07:12 WIB
0
270
Kamala dan Nikita
Nikita dan kamala (Foto: sumeks.co dan radarcirebon.com)

Satu

Memang tidak sebanding: Kamala Devi Harris dan Nikita Mirzani. Tetapi, satu hal, keduanya adalah perempuan. Perempuan yang berani mengambil risiko: apakah itu nekad atau dilandasi pertimbangan-pertimbangan yang rasional, itulah yang mereka ambil. Tentu, Kamala berani mengambil risiko dengan pertimbangan matang.

Kamala, wakil presiden terpilih AS, negara adikuasa. Ia perempuan yang sangat terpelajar— lulusan Universitas Howard di Washington, D.C. dan Universitas California di bidang hukum—dan dari keluarga yang juga sangat terpelajar: ibunya lulusan Universitas California, Berkeley, sedangkan ayahnya Universitas Stanford.

Jalur karirnya pun sangat jelas: mulai dari menjadi deputi jaksa di Alameda County, jaksa urusan kriminal di Kantor Jaksa Distrik San Francisco,  Jaksa Agung California, Senator, dan akhirnya Wakil Presiden.

Sejak awal, Kamala dikenal sebagai pejuang hak-hak sipil. Ketika menjadi Jaksa Agung California, Kamala menghukum geng-geng transnasional yang mengeksploitasi perempuan dan anak-anak serta menjual senjata dan obat-obat terlarang. Ia juga memimpin studi dan investigasi dampak dari organisasi kriminal transnasional dan perdagangan manusia.  Banyak lagi yang dilakukan untuk orang lain di negara yang menyebut dirinya benteng demokrasi tetapi masih belum sepenuhnya memberikan hak-hak demokrasi kepada seluruh rakyatnya.

Untuk sampai ke pencapaian yang diraih Kamala seperti itu butuh integritas pribadi. Integritas seperti itu ditempa melalui pengalaman dan berbagai usaha.  Kata integritas berasal dari kata Latin integer (adi) yang mencakup aspek lahiriah, arti integritas dengan kepribadian seseorang yaitu jujur dan utuh, tidak cedera.

Dari integer lahir kata integritas-atis (f) yang berarti keutuhan, kelengkapan, kesempurnaan, kebulatan, kemurnian, kelurusan hati, sifat tidak mencari kepentingan sendiri, ketulusan, kejujuran, kebaikan, kesalehan, dan kemurnian.

Dengan demikian bisa dikatakan, seorang yang berintegritas adalah seorang yang memiliki keutuhan pribadi. Seorang yang berintegritas adalah seorang yang jujur dan bermoral teguh.

Bagaimana dengan Nikita Mirzani, apakah memiliki integritas pribadi seperti Kamala yang tidak diragukan lagi integritasnya. Kiranya, terlalu jauh menyandingkan integritas Kamala dan Nikita.

Akan tetapi, seorang Nikita Mirzani yang oleh banyak situs web yang menjelaskan tentang biografinya ditulis sebagai seorang artis—yang penuh sensasi dan kontroversial—seorang model, yang juga menggeluti dunia seni peran, tentu memiliki integritas pribadi walau dalam skala, tingkatan, atau derajad yang lain.

Tak satu pun, memang—sekurang-kurangnya dari sepuluh situs web—yang menyebutkan latar belakang pendidikannya. Yang mereka sebut justru beberapa kasus hukumnya. Dalam salah satu beritanya, Kompas.com (07/09/2020) menulis, “Artis peran Nikita Mirzani merupakan salah satu figur publik yang mencolok dengan urusan hukum. Dari perjalanan kariernya di dunia hiburan, sudah ada beberapa kasus hukum yang dilewatinya, mulai dari kasus perceraian hingga penganiyaan.”

Tetapi, apakah rendahnya tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi integritasnya? Atau apakah orang yang berpendidikan rendah, rendah pula integritasnya? Integritas bukan hanya sekadar bicara, pemanis retorika, tetapi juga sebuah tindakan, sejalan antara pernyataan dan tindakan.

Dua

Apa yang dilakukan Kamala, bisa menjadi awal dari sebuah revolusi politik di AS. Ia tidak hanya tampil mewakili kaum perempuan. Tetapi, ia juga tampil ke panggung paling tinggi di Amerika, mewakili kaum kulit berwarna: entah itu hitam, cokelat, kuning, merah, dan sebagainya. 

Sejarah mencatat, perempuan-lah yang pertama kali menyalakan api Revolusi Bolshevik, Rusia, 1917. Lebih dari seratus tahun lalu, 23 Februari 1917, di Petrograd, pada Hari Perempuan Internasional, sekitar 50.000 perempuan dari berbagai macam latar belakang turun ke jalan. Mereka menuntut jatah roti dan penambahan jatah roti bagi para keluarga militer. Aksi para perempuan di Petrograd ini melahirkan Revolusi Februari di Rusia.  

Pada mulanya, yang turun ke jalan-jalan adalah para perempuan buruh. Mereka menyusuri jalan-jalan kota Petrograd, yang kemudian menjadi ibu kota Rusia, pada pagi hari yang dingin itu. Mereka melempari jendela-jendela pabrik dengan batu, bola-bola salju, dan juga tongkat-tongkat serta menggedor-nggedornya. Mereka mendesak para lelaki buruh untuk bergabung demonstrasi. Di hari itu, sekitar 100.000 orang demo.

Pada akhirnya, pemerintah Tsar Nikholas II ambruk. Dan, ujung dari gerakan kaum perempuan itu adalah Revolusi Oktober, Revolusi Bolshevik yang menandai lahirnya Uni Soviet. Di Filipina, tahun 1986,  Ny Corazon Cory Aquino mengobarkan Revolusi Kekuatan Rakyat.

Nikita, memang, tidak akan seperti mereka. Akan tetapi, keberanian untuk melawan terhadap yang seharusnya dilawan—ketika orang lain, termasuk kaum laki-laki, juga para penegak hukum diam saja—adalah sesuatu yang mempunyai nilai. Berapapun nilainya itu.

Apa yang ia lakukan, sekurang-kurangnya membukakan mata hati dan kesadaran banyak pihak, bahwa ada persoalan di negara ini. Persoalan yang tidak bisa didiamkan saja, tetapi harus dipecahkan, harus diselesaikan agar tidak menjadi besar, ibarat kata kriwikan dadi grojogan, perkara kecil yang karena didiamkan saja akhirnya menjadi besar.

Dari sinilah, barangkali, politik dalam konteks sebagai bagian kehidupan sehari-hari masyarakat, dimaknai. Politik bukan hanya urusan para politisi dan pemerintah saja. Tetapi, tugas politik—di sini adalah mendukung sistem demokrasi yang menjunjung tinggi hak asasi manusia—adalah  tugas warga negara. Keterlibatan warga negara dalam politik adalah untuk memajukan keadilan. Keadilan dalam konteks demokrasi.

Bukankah demokrasi itu bukan sekadar atau asal bebas—bebas mengemukakan pendapat, bebas berkumpul, bebas berserikat, bebas berteriak, dan bebas segala-galanya—tetapi bebas bertanggung jawab. Artinya, dalam kebebasan itu  harus bisa dipertanggung jawabkan, ada  tenggang rasa dengan orang lain. Kebebasan kita tidak boleh mengurangi kebebasan orang lain, tidak boleh mengganggu, tidak boleh mengurangi, tidak merusak bahkan mencederai kebebasan orang lain.

Baca Juga: Negara dan Nikita

Ada aturan main dalam berdemokrasi. Tidak waton sulaya, tidak mencari menang-menangan sendiri. Dalam demokrasi tidak berlaku hukum asu gede menang kerahe, orang yang memiliki jabatan atau pangkat atau kedudukan atau kasta tinggi atau kelompok yang besar akan selalu menang dalam suatu perkara/permasalahan apapun.

Di titik inilah, Nikita Mirzani berada. Ia melawan apa yang dianggap dan diyakini harus dilawan. Di Amerika sono, Kamala pun melakukan hal yang sama: ia melawan apa yang dianggap dan diyakini harus dilawan, yakni belum ditegakkannya secara penuh hak-hak sipil terutama warga negara kulit berwarna. Ia memperjuangkan apa yang diyakini harus diperjuangkan.

Apa yang diperjuangkan—kalau boleh itu dikatakan sebagai perjuangan—Nikita  Mirzani? Haknya sebagai warga negara. Bukankah setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban dalam hidup bernegara?

Tiga

Kamala dan Nikita, sama-sama menyadari ada yang harus dilawan dan harus diperjuangkan. Memang, bobot perjuangan berbeda. Tingkat kesulitan berbeda. Resiko yang akan ditanggung juga berbeda. Kemampuan malawan dan berjuang berbeda. Cara mereka berbeda.

Tetapi, ibarat pepatah, banyak jalan menuju Roma untuk mewujudkan sebuah negara demokrasi. Demokrasi yang sejati hanyalah dapat berlangsung dalam negara hukum, dan berdasarkan paham yang tepat tentang pribadi manusia. Dan, ubi societas ibi ius, di mana ada masyarakat, di sana ada hukum.

Hukum yang adil harus ditegakkan, seperti dikatakan oleh Kaisar Romawi Ferdinand 1 yang memerintah antara 1558-1564, fiat iustitia et pereat mundus, keadilan harus ditegakkan, meskipun dunia harus hancur binasa. Sebab, di mana tidak ada keadilan sejati, hukum pun tidak dapat ada.

***