Harus kita akui bersama bahwa hoax di Indonesia sudah cukup akut dan lebih dilekatkan pada politik, sekalipun pada kenyatannya hoax tidak hanya terjadi di arena politik. Hanya saja, memang belakangan ini, mayoritas hoax yang mengundang kegaduhan publik, ya, hoax yang ditebarkan di sirkuit politik.
Akibatnya, pemilu kita mengalami "kebocoran" konsolidasi seperti friksi sosial dan kubu-kubuan politik, yang pada akhirnya harus kita tambal sulam setiap kali pemilu dihelat.
Sebelum lebih jauh, mari kita lacak sebenarnya dari mana akar kata hoax itu sendiri dan awalnya seperti apa yang dimaksud hoax itu. Mengutip Heryanto (2019), bahwa banyak versi asal mula kata hoaks ini.
Salah satunya ditelusuri secara serius oleh Museum of Hoaxes (www.hoaxes.org) yang berpusat di San Diego, California, Amerika. Sebuah lembaga yang berperhatian mengidentifikasi, mengumpulkan dan mengkategorikan hoax baik sejarah, cerita, foto dan klaim-klaim lainnya dari zaman ke zaman di berbagai negara.
Kata hoax ditelusuri dari sejarah asal katanya, pertamakali populer digunakan pada pertengahan hingga akhir abad ke-18. Berasal dari kata yang kerap digunakan oleh para pesulap yakni "hocus pocus". Istilah hocus pocus sendiri pertamakali muncul awal Abad ke-17.
Kata tersebut, diambil dari nama pesulap yang kerap menyebut sendiri namanya dengan julukan 'The kings majesties most excellent hocus pocus' karena dalam setiap penampilannya menggunakan beragam trik sulap, dia selalu melafalkan ucapan atau mantra "hocus pocus, tontus talontus, vade celeriter jubeo".
Pesulap yang terkenal berikutnya menggunakan frase "Hax pax max deus adimax". Frase yang digunakan para pesulap ini sesungguhnya tiruan (atau sebenarnya ejekan) dari frasa yang digunakan oleh para imam dari Gereja Katolik dalam prosesi transubstansiasi "hoc est corpus". Sedangkan dalam Cambridge Dictionary (2017), disebutkan bahwa hoax adalah rencana untuk menipu sekelompok besar orang; bisa juga diterjemahkan sebuah tipuan.
Nah, dari sini kita menarik kesimpulan bahwa hoax di sini lebih dimaksud pada kaitannya dengan publik. Artinya, hoax erat kaitannya dengan pesan-pesan bermuatan penipuan yang dilakukan secara terstruktur dan ditujukan atau melibatkan publik secara masif. Sehingga, apabila terjadi hoax, maka sudah barang tentu bukan kerjaan orang per orang melainkan kelompok.
Kalau ada informasi tidak benar yang beredar di media massa atau media sosial yang memang memancing kekisruhan publik, maka itu disebut sebagai hoax, bukan penipuan biasa. Nah, sekarang saya ingin mengajak Anda membaca jejaring hoax yang selama ini beredar, terutama hoax yang ditujukan untuk menyerang Jokowi. Terlebih belakangan ini, sejumlah hoax diembus dari sejumlah kalangan pembenci dengan cukup masif.
Sejak 2014 lalu, hoax tumbuh subur dalam banyak hajat politik, bahkan menemukan momentum bisnisnya. Layaknya industri bisnis, hoax pun dipesan dengan bayaran yang tak sedikit, bisa tembus ratusan juta rupiah, malahan lebih.
Mengapa begitu? Sebab konsumsi hoax naik tajam. Misalnya saja, terbitnya tabloid Obor Rakyat pada 2014, dilanjut hoax eksodus 10 juta pekerja China, wafatnya mantan presiden BJ Habibie, miringnya jembatan Cisomang, kebohongan Ratna Sarumpaet, 70 juta surat suara tercoblos, dan lain sebagainya yang santer belakangan ini.
Khusus untuk Obor Rakyat, sepertinya memang sengaja digunakan oleh penantang Jokowi saat itu atau sengaja dilekatkan dengan lawan Jokowi sebagai alat gebuk. Jika dilihat rekam jejaknya, Obor Rakyatterbit pertama kali pada Mei 2014 dengan judul 'Capres Boneka' dengan karikatur Jokowi sedang mencium tangan Megawati Soekarnoputri.
Obor Rakyat juga menyebut Jokowi sebagai keturunan Tionghoa dan kaki tangan asing. Dalam waktu singkat tabloid ini menghebohkan masyarakat pada masa itu. Menerbitkan tulisan berjudul '1001 Topeng Jokowi'. Pada 4 Juni 2014, tim pemenangan capres dan cawapres Jokowi-JK melaporkan tabloid itu ke Badan Pengawas Pemilu.
Tak hanya itu, muncul lagi setelah era Obor Rakyat adalah Saracen. Bila kita telusuri dari literatur akademik, dalam The Advanced Learner's Dictionary of Current English, yang disusun AS Hornby, EV Gatenby, dan H Wakefield, Saracen merupakan nama yang digunakan orang Yunani dan Roma untuk orang Arab atau muslim pada masa perang Salib. Sekilas, dari aspek nama saja sudah bisa kita endus sebagai upaya mengobarkan semangat "berperang".
Fakta seperti ini, dari sisi komunikasi politik disebut warmongering yang bermakna terror dalam bentuk propaganda yang diembuskan sebagai semangat "perang". Dari sini kita bisa simpulkan bahwa Saracen yang dulu bikin heboh itu, memang bukan industri hoax ecek-ecek.
Dari hasil penyelidikan forensik digital, terungkap sindikat ini menggunakan grup Facebook - di antaranya Saracen News, Saracen Cyber Team, dan Saracennews.com untuk menggalang lebih dari 800.000 akun, kata polisi.
Terbongkarnya sindikat Saracen yang diduga aktif menyebarkan berita bohong bernuansa SARA di media sosial berdasarkan pesanan, memang merupakan hal yang terorganisir, bukan semata aksi individu, kata pengamat.
Pakar teknologi informasi (IT), Ruby Alamsyah menyebutkan, keberhasilan polisi ini cukup besar dampaknya terhadap masyarakat, khususnya bagi mereka yang selama ini belum percaya bahwa penyebaran hoax itu ada yang mengorganisir,'' kata dia.
Ruby menambahkan, teknik social engineering advance yang digunakan Saracen yaitu melakukan multiply effect. Akhirnya, dari 800.000 bisa sejutaan orang sekali beredar. Kelompok ini biasanya hadir karena ada kepentingan kelompok tertentu. Mereka disewa berdasarkan pesanan untuk menyebarkan kebencian.
Jika ini dibiarkan terus-menerus, iklim politik menjadi kacau-balau akibat konsumi hoax yang berlebihan. Obesitas hoax akan membuat kontestasi politik semakin kurang bergizi.
Bolehlah hasrat untuk menang dalam sebuah kontestasi, tapi getol menyebarkan hoax demi kemenangan adalah kemenangan yang akan mahal dibayar nantinya lantaran semua sudah terlanjut tercerai-berai.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews