Mensos bukan walikota, demikian diksi yang dikeraskan. Ia mengurusi rakyat sak Indonesiah Rayah. Dan di situ, media menghilangkan substansi permasalahannya.
Sebetulnya hanya untuk menyebut beberapa orang. Artinya tak setiap orang Jakarta sombong. Yang baik, rendah hati, dan pintar, sebenarnya lebih banyak. Cuma, media konvensional lebih suka mengutip orang Jakarta yang sombong. Sudah sombong, buruk pula.
Tadi sore, misalnya, TV-One meminta komentar Ridwan Saidi, mengenai ‘temuan’ tunawisma dalam blusukan Tri Rismaharini. Mensos yang baru seumur jagung, dari Surabaya langsung blusukan, dan bikin gerah orang Jakarta.
Ridwan Saidi, lahir dan tinggal di Jakarta, sejak 80 tahun lampau. Sementara Risma? Belum juga seminggu.
Mangkanya Ridwan merasa dilecehkan. Bukan hanya mengritik Risma, tetapi juga menghinanya. Orang baru kemarin sore di Jakarta, katanya. Ridwan mengatakan dirinya lebih tahu Jakarta. Tak ada gelandangan di Thamrin, katanya. Di Jakarta ini banyak orang pintar, katanya pula. Omongan orangtua, yang seperti biasa, agak susah dihormati.
Baca Juga: Risma dan Gajah di Pelupuk Matanya
Bachtiar Chamsah, narsum bekas Menteri Sosial yang juga diminta komentar, mengatakan blusukan Risma itu politis. Tak ada gunanya. Ia mengamini pendapat Ridwan Saidi, di Jakarta itu banyak orang pintar. Dan ia juga menilai, langkah Mensos itu tidak benar. Ia minta urusin dulu itu soal korupsi menteri sebelumnya.
Bachtiar ini entah lupa, pura-pura dungu, atau muna. Ia sendiri juga mensos yang dipenjara karena korupsi mesin jahit dan impor sapi. Menteri Sosial jaman Megawati dan SBY itu (2001 s.d 2009), divonis bersalah karena korupsi dalam proyek pengentasan fakir miskin Depsos (2006). Tapi sore tadi itu ((7/1), politikus dari PPP itu berlagak suci.
Agak dengan bahasa belibet, Ahmad Riza Patria, wakil gubernur DKI Jakarta, yang juga menjadi narsum, sebetulnya sama penilaiannya. Sebagai penguasa Jakarta, meski wakil, ia merasa lebih tahu. Dan minta agar ada koordinasi (antara Pemda DKI dengan Pempus).
Namun intinya sama, langkah Risma agaknya tak menyenangkan ‘orang’ Jakarta. Bahkan anggota DPRD DKI Jakarta, dari Demokrat, juga tak suka blusukan Risma yang dituding politis. Rocky Gerung juga tak suka, tapi kalau yang ini entah apa alasannya.
“Tak ada gelandangan di jalan Thamrin”, hanya untuk mengatakan Jakarta sudah baik. Tak ada kemiskinan, setidaknya di jalan protokol. Meski kata-kata Ridwan, benar-benar ironi. Apakah Ridwan yang pintar itu tahu, jembatan penyebrangan orang di Matraman bobrok? Dan mengkhawatirkan kondisinya, karena bisa ambrol? Kalau Ridwan tidak tahu, klaim soal banyak orang pintar di Jakarta itu, tak berkorelasi bahwa pintar sama dengan bermanfaat.
Ada begitu banyak kenyataan orang pintar tak bermanfaat, hanya karena merasa paling pintar alias sombong. Dan media yang memberi ruang pada persona seperti itu, demi kontroversi atau jebakan teori konflik, agar mendapatkan perhatian publik.
Keyakinan jadul itu, menunjukan ketidakmampuan media memposisikan diri dalam perubahan situasi sosial dan politik. Media kemudian merosot nilainya hanya sebagai amplifier. Ketika masyarakat awam mempunyai medianya (medsos), lembaga pers yang dulu disebut mainstream media (kemudian berubah menjadi media konvensional), kini bukan lagi lembaga yang bisa dipercaya.
Di Australia, dalam penelitian media tahun 2012, pers (juga partai politik) adalah lembaga yang tak lagi dipercaya. Hal yang sama, juga terjadi pada masyarakat AS, paska kemenangan Obama dan berpuncak pada Trump.
Baca Juga: Mengarungi Lautan Media Sosial di Antara Pusaran dan Ranjau
Dalam Digital News Report 2019, Reuters yang memiliki lembaga untuk studi jurnalistik, melaporkan hasil kajiannya bahwa 33% warga global mengaku tak bisa lagi percaya pada kebenaran berita. Apalagi ketika media tak lagi bisa menutupi posisinya, yakni memiliki kepentingan-kepentingan berkait dengan keberadaannya. Bisa dari sisi ekonomi-bisnis, atau pun politis.
Jargon pemisahan fakta dan opini, masih didengung-dengungkan. Tapi beropini sejak dalam perencanaan berita yang mau dimunculkan, adalah fenomena yang makin nyata. Maka ketika Risma menemu gelandangan di Thamrin, bukan bagaimana pembahasan pada persoalan kenyataan sosial. Namun lebih pada soal menegasi apa yang dilakukan Mensos baru itu.
Mensos bukan walikota, demikian diksi yang dikeraskan. Ia mengurusi rakyat sak Indonesiah Rayah. Dan di situ, media menghilangkan substansi permasalahannya. Dan itu kesombongan baru. Orang Jakarta lebih sensi dengan angka 2024, daripada angka kemiskinan.
@sunardianwirodono.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews