Jokowi, TVRI dan Komunikasi Publik

Marwah TVRI adalah official media. Menuntut seorang broadcaster sejati, yang memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara. Bukan sekedar popularitas dan keuntungan komersial.

Selasa, 14 April 2020 | 06:36 WIB
0
374
Jokowi, TVRI dan Komunikasi Publik

Akhirnya, Pemerintah memakai TVRI sebagai saluran melaksanakan belajar secara ‘virtual’ di rumah saja. Setidaknya, demikian saya baca rencana Nadiem Makarim sebagai Mendikbud, berkait berbagai dampak social distancing dan physical distancing yang agaknya tetap menjadi prioritas.

Saya tak ingin mengatakan terlambat, tapi saya menilai pemerintahan Jokowi memang tak punya proyeksi mengenai pentingnya official media. Hal itu juga tampak bagaimana orkestrasi komunikasi publik dalam ‘all the president’s men’ di sekitarnya. Kita tidak tahu siapa yang menjadi juru bicara Presiden. Apakah Fajroel, Donnie, atau Moeldoko, Danie, atau Pratikno, Pramono Anung?

Duluuuu, ketika 1998 Soeharto ditumbangkan, oleh situasi ekonomi-politik internasional (maaf, bukan oleh Amien Rais cum suis), salah satu tuntutan yang mengemuka, dan kemudian ditetapkan MPR, adalah soal desentralisasi. Dari sana muncul aturan perundangan mengenai sumberdaya lokal, otonomi daerah, juga desentralisasi pola media dengan munculnya UU Penyiaran (disahkan 2002, pada jaman Megawati).

Aturan dalam UU Penyiaran jelas. Hanya ada 3 (tiga) jenis model penyiaran televisi di Indonesia. Yakni penyiaran (TV dan Radio) nasional milik negara, TVRI dan RRI. Penyiaran Swasta dibatasi coverage area-nya hanya lokal (secara administrative daerah tingkat I, provinsi), dan penyiaran komunitas yang lingkupnya lebih terbatas lagi, serta non-komersial.

Baca Juga: Beginilah TVRI

Namun sampai kini, kementrian yang membidangi, yakni Menkominfo, tak ada yang bisa membereskan aturan itu sejak awal. Dunia radio lebih feksibel karena memang karakter media dan teknologinya beda. Sementara televisi, 12 stasiun swasta yang ada di Jakarta, sebenarnya melanggar UU Penyiaran 2002. Tak ada sanksi apa-apa. Silakan Menkominfo dan Presiden menjelaskan soal ini.

Pada jaman Soeharto, ada Menpen Harmoko, yang acap diejek sebagai hari-hari omong kosong. Tetapi betapa Soeharto sangat efektif dalam komunikasi publik. Harmoko, tiap pagi, setelah siaran warta berita nasional (di RRI), selalu ngomong harga-harga sayuran. Berapa harga cabe keriting sampai wortel tanpa daun. Dan itu menjadi protokol yang diikuti pasar. Setidaknya, jika ada pedagang ngomong “ya, beli sana di radio, yang murah,…” masyarakat tahu siapa yang bangsat, pemerintah atau penjual barang.

Jokowi sendiri lebih suka nge-vlog, meski sekarang sudah berkurang. Sama sekali tak melirik TVRI-RRI. Padal, di antara 236 juta ponsel yang dipunyai di antara 276 juta penduduk Indonesia, adalah luar biasa. Indonesia nomor 6 di dunia. Apalagi dengan 171 juta pengguna aktif internet. TVRI dan RRI bisa menjadi media strategis di tengah maraknya gelombang hoax, fitnah, ujaran kebencian dan segala jenis penyalahgunaan medsos.

Sayangnya, Menkominfo juga tak punya orientasi idealitas selain jualan pulsa. Di beberapa negara maju, penggunaan nomor ponsel registrasinya sangat ketat. Indonesia sangat liberal, tapi ngakunya bangsa religius. Padal, vendor yang bermain di area ini, kebanyakan investasi dari luar negeri. Jadi siapa yang untung siapa yang rugi?

Televisi sudah kuno, memang. Tapi tentu saja jika ditangani secara konvensional. Makanya, ketika Helmy Yahya disubya-subya telah mempopulerkan kembali TVRI, sesuatu yang naif rasanya. Populer dalam konteks mendekati gaya televisi swasta? Itu bukan fitrah televisi negara. Di berbagai negara lain, hanya ada satu televisi nasional (boleh siaran secara nasional --kecuali di AS ada 3, itu pun dengan aturan ketat).

Tidak ada channel lain? Banyak banget. Ada tv jaringan, tv kabel, tv berbayar, cem-macem channel. Mau nyari televisi khusus kucing, atau sepatu perempuan, juga ada, terutama di AS, Eropa, juga Jepang. Kita baru punya 12 televisi, yang hampir seragam (kecuali tiga televisi sejenis, yang juga seragam), sudah bangga nggak karuan. Padal, TV konvensional semacam itu, sebentar lagi juga bakal dilibas pergeseran gaya komunikasi kita dengan gadget.

Dari segi infrastruktur, TVRI paling siap diintegrasikan dengan teknologi komunikasi dan informasi masa kini. Daya jangkau siaran TVRI jauh lebih luas dibanding RCTI yang paling jembar coverage area-nya. Itu pun dengan kondisi beberapa stasiun relay TVRI mangkrak, karena bahkan dana untuk beli solar pun entah lenyap ke mana.

Baca Juga: TVRI Sebagai Televisi Apa?

Cuma tentu TVRI tak seharusnya dikelola model Helmy Yahya. Kalau pun mau ngepop, mungkin model Ishadi SK. Tetap sebagai tontonan tapi role-nya adalah tuntunan. Itu yang membedakan Helmy dengan seorang broadcaster yang tak sekedar menghibur. Apalagi dengan grup band lawasan, konco-konco dia di Taman Buaya (Darat). Karena bagus? Lebih banyak karena murah, juga karena rindu tampil.

Marwah TVRI adalah official media. Menuntut seorang broadcaster sejati, yang memiliki kesadaran berbangsa dan bernegara. Bukan sekedar popularitas dan keuntungan komersial. Remeh banget kalau begitu. Nyari duitnya nggak seberapa, dampak buruknya lebih besar. Termasuk ngadepi pandemi coronavirus dan pandemi hoax itu.

Sekarang ini, yang terus disuarakan pemerintah, dan aparatnya, lebih ke soal social distancing dan physical distancing. Baiklah, itu penting. Dan kayaknya sudah berjalan. Tetapi mengesampingkan modal sosial, juga beresiko tinggi. Terutama bagaimana dampak dua hal tadi (social dan physical distancing) pada masyarakat yang tak terkena (atau belum) coronavirus, namun sudah terdampak oleh kebijaksanaan di rumah saja?

Konon duit ada. Ratusan trilyun sudah dianggarkan. Tetapi bagaimana sistem dan mekanisme distribusi serta pengaturannya? Tak ada mekanisme kontrol. Tak ada hotline di mana mendapatkan informasi dan solusi permasalahan, di tengah mentalitas aparat dan carut-marut birokrasinya. DPR sebagai wakil rakyat? Asudahlah, mereka lagi pusing anggaran kredit mobilnya ditunda.

Modal sosial itu, bagaimana membangun kesadaran masyarakat. Karena jika Ibnu Sina sering dikutip, mestinya ingat nasihatnya (yang menjadi rujukan dokter seluruh dunia); Bahwa jiwa dan pikiran manusia, adalah pintu kesehatan raga. Termasuk dalam membangun produksi antibody dalam tubuh, yang bisa menjadi penangkal ampuh coronavirus.

Tumbuhnya kesadaran masyarakat, soal bagaimana melawan penyebaran coronavirus, itu yang masih lemah. Sampai nolak-nolak penguburan jenazah korban coronavirus segala. Apalagi soal komunikasi sosial ini juga ditangani orang yang tak terlatih, serta tak punya pengetahuan cukup. Tim medis, para ahli kesehatan, dokter dan perawat, tentu garda terdepan dalam menanggulangi dampak coronavirus. Tetapi masyarakat adalah garda utama, bagaimana coronavirus ini makin menyebar atau menyempit.

Di situ, masyarakat tak punya rujukan. Tak ada media protokol yang bisa dipercaya. TVRI malah masih asyik nyiarin produksi ulang, atau nyetel national geographic. Untung ada tv berita macam TV One, Metro TV dan Kompas TV, yang bagaimana pun punya andil membantu masyarakat mendapatkan informasinya.

Setelah Presiden mengundang seniman dan budayawan, tukang ojek, influencer, juga para pelawak, kapan Presiden mengundang para sosiolog dan antropolog, untuk pemetaan Indonesia?

Tapi, ya sudahlah. Met bekerja, Pak Presiden! Salam santuy! Saya juga nggak akan nanya, apakah saya terdata yang dapat bantuan atau tidak. Kalau besok tanggal 20 belum bayar listrik, PLN juga akan tetap mencabutnya. Merdeka!  

@sunardianwirodono

***