TVRI Sebagai Televisi Apa?

Padahal dengan kemajuan teknologi sekarang, TVRI bisa sangat jauh berdaya. Di tangan orang yang ngerti teknologi media tentunya. Sayangnya, selalu luput.

Sabtu, 25 Januari 2020 | 20:15 WIB
0
471
TVRI Sebagai Televisi Apa?
Ilusytrasi televisi jadul (Foto: Facebook/Sunardian Wirodono)

Menurut Rizal Ramli, di Indonesia ini serba terbalik-balik. Orang baik, seperti Helmy Yahya, justeru dipecat sebagai Direktur TVRI. Padahal katanya, TVRI menjadi dilihat lagi karena Helmy Yahya.

Nasihat saya, lupakan omongan RR. Karena saya kira dia ngawur, dan bukan ahli televisi. Media saja yang menempatkan seolah semua komentarnya penting. Helmy Yahya, barangkali memang seorang entertainer sukses. Juga pernah sukses sebagai designer program TV, karena Ibu Ani Sumadi, dan produser berbagai acara music serta hiburan.

Tapi itu semua bukan ukuran menjadi direktur televisi. Apalagi televisi itu bernama TVRI, Televisi Republik Indonesia, televisi milik Negara, dibiayai dengan APBN. TVRI di bawah Helmy Yahya tampak meriah. Bersolek. Tetapi betapa menyedihkan, ia seperti manusia tua yang menolak usianya. Persis seniman ludruk tradisional di beberapa wilayah Jawa Timur, yang mencoba eksis dengan segala daya upaya.

Pada sisi itu, TVRI salah posisi dalam pergaulan. Atau sebetulnya salah memilih direktur. Dibandingkan dengan stasiun televisi swasta, yang usianya lebih muda, TVRI salpos dan saltum (salah posisi dan salah kostum).

Di berbagai negara maju, seperti Perancis, Belanda, Inggris, Jepang, bahkan Malaysia dan Korea, pemerintah menguasai stasiun televisi, sebagai media official mereka. Hanya stasiun televisi milik Negara yang berhak siaran (dengan coverage area) nasional. Sementara stasiun televisi swasta dibatasi daya jangkaunya, atau dengan sistem tertutup seperti TV Kabel atau Berlangganan. Meski di Amerika ada empat stasiun TV boleh siaran nasional, tetapi dengan aturan sangat ketat, terutama tentang penguasaan tunggal (monopoli) media. Kasus kayak Surya Paloh di Metro TV dan Hari Tanoe di MNC, bakal dibabat di Amerika.

Di Indonesia, yang Pancasilais, dan berkat tuntutan politik Reformasi 1998, muncul beberapa produk UU, antara lain berfokus mengenai desentralisasi. Munculnya UU Penyiaran (2002) yang juga melahirkan komisi negara bernama Komisi Penyiaran Indonesia, sangat jelas menyebut hanya TVRI yang boleh bersiaran secara nasional. Stasiun televisi lain dibatasi coverage areanya (dalam UU disebut ada 3 jenis Stasiun TV; (1) Televisi Pemerintah, TVRI, sebagai TV Publik. (2) TV Swasta yang disebut juga TV Lokal, serta (3) TV Komunitas untuk kalangan tertentu, kampus, desa, atau lembaga sosial).

TV Swasta yang ada di Jakarta (seperti RCTI, Indosiar, SCTV, Metro TV, dan lain sebagainya), menurut UU Penyiaran hanya boleh bersiaran dalam frekwensi dan kilometer tertentu (Jabodetabek, misalnya). Jika kini segala TV Swasta di Jakarta bisa menjangkau seluruh tanah air Indonesia, itu salah satu bentuk pelanggaran hukum yang dilegalkan pemerintah. Sejak SBY hingga Jokowi.

Tujuan UU Penyiaran, adalah bagian dari upaya desentralisasi (politik dan ekonomi) Jakarta. Bagaimana dengan aturan itu daerah juga tumbuh. Jika dibolehkan TV Swasta yang ‘punya orang’ Jakarta bersiaran ke daerah lain, harus menjalin kerjasama dengan TV Swasta yang ada di daerah (contoh Kompas TV Jakarta dengan RBTV di Yogya), atau owner dari TV Swasta Jakarta mendirikan stasiun televisi di daerah manapun.

Pada posisi itu, TVRI adalah televisi milik Negara. Menyuarakan kepentingan-kepentingan dan marwah Negara. Ia adalah media official. Corong pemerintah. Di mana masyarakat, dan siapa saja di seluruh dunia ini, bisa mengakses informasi itu. Dan itu artinya, masyarakat luas bisa pula mengontrol isi serta integritasnya.

Media corong pemerintrah buruk? Belum tentu. Buruk dan baik itu soal pemahaman ideologi. Di tengah konten berbagai media yang sarat kepentingan (bukan hanya bisnis melainkan juga politik), hadirnya media pemerintah penting, apalagi di tengah maraknya hoax, medsos, dan media framing.

Mengenai media bohong atau tidak, sama saja TV Swasta juga sarat kepentingan. Sangat tergantung daya kritis atau daya nalar rakyatnya. Dengan revolusi teknologi dan informasi, di dunia digital sekarang, tak ada kebohongan yang bisa disembunyikan. Apalagi bagi mereka yang bergerak di dunia (audio-visual dan digital) itu.

Pada sisi itu, Helmy Yahya salah membaca. Sebagai televisi publik, Helmy membelokkan sebagaimana stasiun televisi swasta, dengan orientasi bisnis komersial. Meski itu pun dengan susah payah, karena anggaran belanja terbatas, perkakas ketinggalan, dan SDM kehilangan motivasi (karena gaji rendah). Lihat sajian hiburannya. Dengan artis kelas tiga atau empat. Bahkan kelas second, apkiran, dan acara-acara daur ulang.

TVRI ikut-ikutan siaran langsung liga sepkabola luar negeri bahkan. Tetapi senyampang itu, secara tragis, berapa acara khas TVRI, seperti Kamera Ria untuk kalangan TNI dan Polisi, justeru kini diambil TV Swasta.

Jika mau mencontoh, TVRI bukannya tanpa teladan. Helmy mestinya bisa membaca sejarah TVRI di bawah Ishadi SK. Ishadi dengan cara kreatif, mampu membuat TVRI dengan segala keterbatasan menyajikan konten-konten menarik khas televisi public milik Negara. TVRI menjadi bagian dari upaya Pemerintah melakukan pemberdayaan publik.

Kejayaan TVRI di bawah Ishadi, sayang tak dipakai sebagai pembelajaran. Ishadi seperti mendengarkan omongan Asrul Sani; "TVRI harus jadi basis budaya tinggi. Kalau tidak, habis semua oleh kitsch." (Terimakasih Nuruddin Asyhadie mengingatkan hal ini).

Baca Juga: Pelemahan TVRI, Penyingkiran Helmy

Satu hal lagi, yang krusial, Helmy Yahya konon membuat TVRI punya utang ratusan milyar, karena pembelian program dari luar. Termasuk di antaranya penayangan Liga Inggris. Karena tak ada dana, diambillah dari anggaran bagian lain, tapi masih pula menyisakan utang sekitar Rp 136 milyar. Belum tahu kebenarannya, tapi di sisi lain saya mendengar kasak-kusuk, konon tayangan Liga Inggris itu diberikan gratis oleh Mola TV (televisi streaming yang baru muncul tahun lalu) sebagai media promosi kehadirannya. Mana yang benar, kita lihat nanti.

Tapi di luar berbagai masalah itu, kesalahan mengenai TVRI, tak lepas dari kesalahan pemerintah dari semua periode. Pemerintah, dengan alasan demokrasi yang konyol, selalu tak punya kesadaran mengenai perlunya media official bagi Negara. Jokowi pribadi, lebih suka ngevlog sendiri. Padahal dengan kemajuan teknologi sekarang, TVRI bisa sangat jauh berdaya. Di tangan orang yang ngerti teknologi media tentunya. Sayangnya, selalu luput.

***