"Propaganda Rusia" dan Watak Politikus Pilpres 2019

Jumat, 15 Februari 2019 | 17:30 WIB
1
382
"Propaganda Rusia" dan Watak Politikus Pilpres 2019
Ilustrasi [Kompasiana.com/tilariapadika]

Cobalah Tuan-Nyora kenang masa kecil dulu, ketika masih kanak-kanak sekolah dasar. Ingatlah saat-saat bertengkar atau saling  ledek dengan teman sebaya. "Kamu malas mandi," kata teman. "Kamu yang jarang mandi," balas Tuan-Nyora. Lalu tanpa ada argumentasi, tanpa bukti-bukti siapa sebenarnya yang jarang mandi, saling klaim dan mencap jarang mandi terus berlangsung, bersahut-sahutan.

Orang Manggarai di Flores menyebut sikap yang demikian itu sebagai gangga. Karena orang-orang Kantor Bahasa kurang rajin bekerja, gangga belum diserap masuk ke dalam bahasa Indonesia sehingga kita terpaksa masih menggunakan frasa konotatif 'debat kusir'.

Konon istilah debat kusir diperkenalkan tokoh pergerakan kemerdekaan Agus Salim. Ia menamakan demikian oleh pengalaman perdebatan dengan kusir kereta kuda yang ditumpanginya. Ketika kuda kentut, Agus Salim mengatakan kuda itu masuk angin. Kusir kereta mendebatnya, kuda itu keluar angin. Lalu keduanya terus saja ngotot dengan pendapat masing-masing. Masuk angin menurut Agus Salim, keluar angin versi kusir.

Debat kusir Agus Salim dan pertengkaran masa kecil soal siapa yang malas mandi adalah contoh gangga itu.

Seiring perkembangan teknologi, gangga sudah bukan lagi hanya terjadi saat dua pihak bertatap muka. Gangga kini jadi warna percakapan di media sosial, pun difasilitasi pemberitaan media massa. Gangga juga bukan lagi kebiasaan dan watak yang melekat dari diri kanak-kanak. Manusia dewasa, orang-orang yang seharusnya telah cukup handal bernalar, beretorika, dan beragumentasi ternyata masih juga gemar gangga.

Di masa-masa kampanye pemilu dan pilpres, gangga bahkan menjadi ciri para politisi. Tanpa argumentasi layak, tanpa penalaran cukup, absen bukti-bukti, para politisi ber-gangga ria, mengklaim diri untuk hal positif dan menuding pihak lain untuk yang negatif sifatnya.

Lihat saja perilaku Fadli Zon sebagai contoh. Belum lama ini Fadli berkicau provokatif di twiternya, menanggapi klarifikasi Kedutaan Besar Rusia atas istilah propagada Rusia. Fadli menyampaikan permintaan maaf karena menurutnya Presiden Joko Widodo sudah bertindak grasa-grusu.

Istilah grasa-grusu menjadi terkenal setelah Prabowo Subianto berkonferensi pers minta maaf ke publik karena turut menyebarluaskan kabar bohong Ratna Sarumpaet bonyok dihajar orang. Prabowo minta rakyat memahami dirinya, bahwa ia tak bermaksud menyebarkan hoaks. Bahwa ia sesungguhnya juga korban Ratna. Ia bisa menjadi korban karena  grasa-grusu, terburu-buru menyikapi hal-hal, reaksioner.

Kini Fadli Zon berbalik menuding Presiden Jokowi yang grasa-grusu. Pernyataan Fadli adalah bentuk gangga sebab ia tidak peduli kepada konteks dan mengacuhkan penjelasan Jokowi.

Kita paham bahwa konteks pernyataan Jokowi soal propaganda Rusia itu bukan menuding pemerintah Rusia berada di balik Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Istilah propaganda Rusia adalah istilah populer bagi teknik propaganda firehose of falsehood.

Penyebutan firehose of falsehood sebagai propaganda Rusia bukan berasal dari Presiden Joko Widodo. Ketika istilah ini masuk dan populer di Indonesia, ia memang sudah disebut-sebut sebagai metode propaganda Rusia.

Banyak pula yang menyangka pengaitan Rusia dengan teknik proganda ini gara-gara skandal pilpres Amerika Serikat, yaitu ketika Rusia dituding berada di balik upaya pemenangan Trump. Ini juga tidak tepat. Pengaitan teknik progaganda itu dengan Rusia sudah dimulai sejak Rusia menyerang Georgia pada 2008, dan meningkat saat pendudukan Rusia terhadap semenanjung Krimea tahun 2014.

Menurut para intelektual upahan negara-negara NATO ini, teknik propanda baru itu ditandai oleh dua ciri utama, yaitu penyebaran informasi secara masif melalui beragam format media, dan ketidakpedulian kepada fakta. Ciri lainnya adalah informasi disebarkan dengan cepat, berulang-ulang namun kandungan kontennya tidak konsisten.

Tentu saja tudingan yang mengaitkan teknik propaganda firehose of falsehood dengan Rusia harus kita pandang bersifat politis dan ideologis sebab sepihak berasal dari kubu Amerika Serikat dan NATO. Kita tahu, metode-metode seperti ini (terutama soal kepalsuan informasinya) digunakan pula oleh Amerika Serikat sejak dulu kala.

Namun tetap saja bukan Presiden Jokowi yang menciptakan istilah propagada Rusia. Satu-satunya kekeliruan Jokowi adalah ia termakan propaganda Amerika Serikat, turut melekatkan teknik firehose of falsehood pada Rusia. Dengan kata lain, Jokowi cuma user istilah yang berkembang. Ia user yang kurang kritis. Wajarlah. Akademisi ilmu politik dan para pengamat di Indonesia saja melakukan kesalahan serupa.

Ringkasnya, saat Jokowi menggunakan istilah propaganda Rusia, yang ia maksudkan adalah teknik-teknik propaganda firehose of falsehood. Semua orang yang memperhatikan beragam peristiwa dan wacana politik selama masa kampanye pilpres 2019 ini paham bahwa teknik itu memang sedang digunakan pihak tertentu.

Lalu mengapa orang-orang seperti Fadli Zon menuding Jokowi menuduh Rusia di balik kubu Prabowo Subianto?

Nah, ini watak kedua dari para politisi kita. Jika watak tukang gangga adalah watak kanak-kanak, infantil, watak yang kedua ini boleh kita sebut sebagai kelicikan orang dewasa.

Setiap partisipan komunikasi publik sebenarnya melakukan rekonstruksi atas peristiwa-peristiwa. Tidak terkecuali anak-anak. Itu adalah kondisi alamiah, dilakukan tanpa intensi tertentu, melekat pada hakikat manusia sebagai orang-orang yang memiliki sudut pandang.

Ketika listrik tiba-tiba mati pada pukul 9 malam, anak saya mencurigai saya sengaja melakukannya. Ia menduga begitu sebab ia membantah ketika saya minta dirinya tidur pada pukul 9. Andai tak ada kesempatan mengklarifikasi--itu tidur membawa kecurigaannya seorang diri--mungkin esok pagi ia bercerita kepada kawannya, semalam dirinya tidur jam 9 karena ayah memadamkan listrik.

Jadi peristiwa listrik padam pada pukul 9 malam--yang mungkin gara-gara ada pohon tumbang memutuskan kabel di jalan raya yang jauh--oleh sudut pandang anak saya direkonstruksi--ketika ia bercerita kepada temannya--menjadi saya memadamkan listrik agar ia tidur. Sahabatnya mungkin saja menerjemahkan informasi itu sebagai saya seorang ayah yang keras. Demikian sahabat itu bercerita kepada teman mereka yang lain.

Namun anak-anak tidak merekonstruksi peristiwa dengan sengaja, dengan intensi khusus. Adalah orang dewasa yang melakukannya. Rekonstruksi yang dilakukan sadar dan sengaja demi intensi tertentu boleh disebut framingFraming adalah kelicikan khusus orang dewasa.

Framing inilah yang dilakukan kubu Prabowo Subianto terhadap pernyataan Joko Widodo tentang ada pihak menggunakan teknik propaganda Rusia. Inilah yang dilakukan jubir Prabowo, Faldo Maldini saat mengatakan ucapan Presiden Jokowi membuat masyarakat curiga kepada orang Rusia dan bisa berdampak merusak hubungan diplomatik Indonesia dan Rusia. Dengan pernyataan tersebut, Faldo dengan sengaja merekonstruksi penjelasan Jokowi tentang realitas penggunaan teknik penyebaran hoaks oleh para politisi menjadi seolah-olah menuding pemerintah Rusia.

Demikianlah, selama masa kampanye pilpres ini para politisi kita mempertontonkan dua kualitas diri yang tak patut ditiru: ganggakekanak-kanakan dan framing licik orang dewasa. Begitulah kualitas receh anu-anu itu.

***

Sumber:

  1. Detik.com (06/02/2019) "Jokowi yang Bicara, Fadli Zon yang Minta Maaf"
  2. Detik.com (03/02/2019) "Soal 'Propaganda Rusia', BPN: Petahana Tak Perlu Merasa Jadi Korban"
  3. Detik.com (03/02/1019) "Sebut Propaganda Rusia, Jokowi: Itu Terminologi, Bukan Bicara Negara"
  4. Paul, Christopher and Miriam Matthews, "The Russian "Firehose of Falsehood" Propaganda Model: Why It Might Work and Options to Counter It." Santa Monica, CA: RAND Corporation, 2016.

Published sebelumnya di Kompasiana.com/tilariapadika