Antara Abu Janda dan Natalius Pigai

Kita selama ini toleran pada intoleransi, karena pertimbangan politik selalu dibenarkan untuk memposisikan hukum sebagai alat tawar-menawar.

Rabu, 3 Februari 2021 | 08:23 WIB
0
227
Antara Abu Janda dan Natalius Pigai
Permadi Arya a.k.a Abu Janda dan Natalius Pigai (Foto: pikiran-rakyat.com)

Saudara, ke mana Anda berpihak? Pada Natalius Pigai, Abu Janda, atau Susi Pudjiastuti?

Sebelum menjawab persoalan itu, saya laporkan pada Anda, Presiden Jokowi tampak kecewa berat, karena PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) dirasa gagal dalam melakukan pencegahan dan pengurangan penyebaran Covid-19.

Jokowi antara lain mengatakan persoalannya pada supratruktur yang tidak menjalankan tugas dan dengan tegas. Yang dimaksud tegas ialah dalam menegakkan aturan.

Intisarinya, soal tegas, konsistensi, keadilan, proporsionalitas. Dan itu problem kita. Termasuk dalam melihat kasus yang terjadi pada Natalius Pigai, Abu Janda, atau bahkan pun dalam menilai Susi Pudjiastuti (dalam hal ini termasuk Susi Pudjiastuti sendiri dalam menilai orang lain, Abu Janda misalnya).

Saya ingat tulisan Prof. Faruk Tripoli, bukan di jurnal tapi di medsos beberapa hari lalu. Bagaimana sekarang ini konten (menyangkut produk apapun), tidak berkait dengan kualitas melainkan ditentukan oleh marketing atau branding. Begitu kesimpulannya Kaprodi IIH-UGM yang baru tersebut.

Artinya, persoalannya akhirnya lebih pada soal suka dan tidak suka, bukan mutu tidak mutu. Kalau kita ngomong soal lebih mutu mana, antara Abu Janda, Natalius Pigai? Keduanya sama-sama tidak mutu sesungguhnya. Demikian pulakah soal Susi Pudjiastuti? Itu seterah suka dan tidak suka Anda padanya.

Baca Juga: Seberapa Bersalahkah Abu Janda?

Kasus kayak gitu, berkait produk, bisa dilihat pada karakter media seperti medsos, dengan hukum algoritmanya (lihat di fesbuk, IG, twitter, ataupun youtube).

Kembali ke soal ketegasan PPKM yang disinggung Jokowi. Pertanyaan saya, bagaimana bisa tegas, kalau dari sisi penamaan saja sudah keliru, secara filosofis dan ideologis?

Bagaimana dilakukan ‘pembatasan’ atas kegiatan masyarakat? Kalau Pemerintah sebagai pemegang regulator dan fasilitator pun juga salah menempatkan posisinya, tindakannya juga akan salah. Yang mesti dilakukan Pemerintah mestinya adalah pembinaan, pengawasan, pendampingan, atau yang sejenis-jenis itu. Contohnya?

Dalam kaitan pandemi, jika ada kerumunan bukannya dibubarkan sebagai solusi pembatasan. Tetapi misal ada 100 orang, lakukan test-swab pada 100 orang itu. Yang positif Covid-19 ambil dan dikarantina. Dan akan lebih bagus lagi, kalau Pemerintah juga terus melakukan update data dengan benar, termasuk bagaimana mempertanyakan kinerja BPS yang bisa jadi Badan Pekerjaan Songong dalam situasi pandemi.

Karena pembatasan tanpa solusi, tidak akan memberi kontribusi, melainkan rasa frustrasi bagi siapapun. Apalagi kalau petugas PPKM berlaku tak adil, korup, tebang pilih (dan potensi melakukan itu besar). Dan kita acap tidak proporsional dalam melihat hal itu.

Balik ke soal pertanyaan mana lebih bermutu antara Abu Janda dan Natalius Pigai? Sama-sama tidak bermutunya. Tapi kenapa yang “bakal dipenjara” Abu Janda (nama ini plesetan dari nama Abu Jandal, panglima ISIS asal Indonesia yang dikabarkan tewas 2016, tak ada kaitannya dengan status perempuan) dan bukannya Natalius Pigai?

Karena hukum juga masih ditegakkan dengan cara suka tidak suka, tebang pilih, mban cindhe mban siladan. Hanya karena pertimbangan politik.

Sementara ketika Kapolri mau menegakkan tilang kendaraan bermotor secara computerize, orang-orang kalang-kabut. Bakal lebih mengerikan katanya, justeru karena hukum bakal ditegakkan secara presisi oleh mesin.

Pemerintah selama ini tidak adil dalam menegakkan UU-ITE, bukan hanya karena saking kejamnya, tapi saking pilih kasihnya. Tak sedikit ujaran orang bernama Rocky Gerung, Fadli Zon, Tengkuzul, dan manusia-manusia sejenis itu (ada yang mengaku budayawan pula), yang memenuhi syarat masuk bui atas nama UU-ITE. Tapi, dalam beberapa hal negara melakukan pembiaran karena pertimbangan politik.

Baca Juga: Susi Pudjiastuti dan Kanker Ganas Bernama Oligarki

Ketidaktegasan menegakkan hukum, menegakkan aturan secara proporsional, membuat bangsa dan negara ini meragukan dalam kesiapannya menyongsong 2045 dengan bonus demografinya yang pernah dibanggakan Jokowi itu.

Padal, Jokowi beberapa kali sudah memberikan contoh, bagaimana berkeraskepala dengan keputusannya, dan akhirnya semua orang (kecuali yang dirugikan) memahami dan mengakui kebenaran keputusan itu. Termasuk yang terakhir, Jokowi sama sekali juga tak peduli dengan himbauan ormas bernama MUI, yang keberatan dengan pemilihan Kapolri yang bukan beragama sama dengan majoritas masyarakatnya.

Kita selama ini toleran pada intoleransi, karena pertimbangan politik selalu dibenarkan untuk memposisikan hukum sebagai alat tawar-menawar.

@sunardianwirodono