Kita selama ini toleran pada intoleransi, karena pertimbangan politik selalu dibenarkan untuk memposisikan hukum sebagai alat tawar-menawar.
Saudara, ke mana Anda berpihak? Pada Natalius Pigai, Abu Janda, atau Susi Pudjiastuti?
Sebelum menjawab persoalan itu, saya laporkan pada Anda, Presiden Jokowi tampak kecewa berat, karena PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) dirasa gagal dalam melakukan pencegahan dan pengurangan penyebaran Covid-19.
Jokowi antara lain mengatakan persoalannya pada supratruktur yang tidak menjalankan tugas dan dengan tegas. Yang dimaksud tegas ialah dalam menegakkan aturan.
Intisarinya, soal tegas, konsistensi, keadilan, proporsionalitas. Dan itu problem kita. Termasuk dalam melihat kasus yang terjadi pada Natalius Pigai, Abu Janda, atau bahkan pun dalam menilai Susi Pudjiastuti (dalam hal ini termasuk Susi Pudjiastuti sendiri dalam menilai orang lain, Abu Janda misalnya).
Saya ingat tulisan Prof. Faruk Tripoli, bukan di jurnal tapi di medsos beberapa hari lalu. Bagaimana sekarang ini konten (menyangkut produk apapun), tidak berkait dengan kualitas melainkan ditentukan oleh marketing atau branding. Begitu kesimpulannya Kaprodi IIH-UGM yang baru tersebut.
Artinya, persoalannya akhirnya lebih pada soal suka dan tidak suka, bukan mutu tidak mutu. Kalau kita ngomong soal lebih mutu mana, antara Abu Janda, Natalius Pigai? Keduanya sama-sama tidak mutu sesungguhnya. Demikian pulakah soal Susi Pudjiastuti? Itu seterah suka dan tidak suka Anda padanya.
Baca Juga: Seberapa Bersalahkah Abu Janda?
Kasus kayak gitu, berkait produk, bisa dilihat pada karakter media seperti medsos, dengan hukum algoritmanya (lihat di fesbuk, IG, twitter, ataupun youtube).
Kembali ke soal ketegasan PPKM yang disinggung Jokowi. Pertanyaan saya, bagaimana bisa tegas, kalau dari sisi penamaan saja sudah keliru, secara filosofis dan ideologis?
Bagaimana dilakukan ‘pembatasan’ atas kegiatan masyarakat? Kalau Pemerintah sebagai pemegang regulator dan fasilitator pun juga salah menempatkan posisinya, tindakannya juga akan salah. Yang mesti dilakukan Pemerintah mestinya adalah pembinaan, pengawasan, pendampingan, atau yang sejenis-jenis itu. Contohnya?
Dalam kaitan pandemi, jika ada kerumunan bukannya dibubarkan sebagai solusi pembatasan. Tetapi misal ada 100 orang, lakukan test-swab pada 100 orang itu. Yang positif Covid-19 ambil dan dikarantina. Dan akan lebih bagus lagi, kalau Pemerintah juga terus melakukan update data dengan benar, termasuk bagaimana mempertanyakan kinerja BPS yang bisa jadi Badan Pekerjaan Songong dalam situasi pandemi.
Karena pembatasan tanpa solusi, tidak akan memberi kontribusi, melainkan rasa frustrasi bagi siapapun. Apalagi kalau petugas PPKM berlaku tak adil, korup, tebang pilih (dan potensi melakukan itu besar). Dan kita acap tidak proporsional dalam melihat hal itu.
Balik ke soal pertanyaan mana lebih bermutu antara Abu Janda dan Natalius Pigai? Sama-sama tidak bermutunya. Tapi kenapa yang “bakal dipenjara” Abu Janda (nama ini plesetan dari nama Abu Jandal, panglima ISIS asal Indonesia yang dikabarkan tewas 2016, tak ada kaitannya dengan status perempuan) dan bukannya Natalius Pigai?
Karena hukum juga masih ditegakkan dengan cara suka tidak suka, tebang pilih, mban cindhe mban siladan. Hanya karena pertimbangan politik.
Sementara ketika Kapolri mau menegakkan tilang kendaraan bermotor secara computerize, orang-orang kalang-kabut. Bakal lebih mengerikan katanya, justeru karena hukum bakal ditegakkan secara presisi oleh mesin.
Pemerintah selama ini tidak adil dalam menegakkan UU-ITE, bukan hanya karena saking kejamnya, tapi saking pilih kasihnya. Tak sedikit ujaran orang bernama Rocky Gerung, Fadli Zon, Tengkuzul, dan manusia-manusia sejenis itu (ada yang mengaku budayawan pula), yang memenuhi syarat masuk bui atas nama UU-ITE. Tapi, dalam beberapa hal negara melakukan pembiaran karena pertimbangan politik.
Baca Juga: Susi Pudjiastuti dan Kanker Ganas Bernama Oligarki
Ketidaktegasan menegakkan hukum, menegakkan aturan secara proporsional, membuat bangsa dan negara ini meragukan dalam kesiapannya menyongsong 2045 dengan bonus demografinya yang pernah dibanggakan Jokowi itu.
Padal, Jokowi beberapa kali sudah memberikan contoh, bagaimana berkeraskepala dengan keputusannya, dan akhirnya semua orang (kecuali yang dirugikan) memahami dan mengakui kebenaran keputusan itu. Termasuk yang terakhir, Jokowi sama sekali juga tak peduli dengan himbauan ormas bernama MUI, yang keberatan dengan pemilihan Kapolri yang bukan beragama sama dengan majoritas masyarakatnya.
Kita selama ini toleran pada intoleransi, karena pertimbangan politik selalu dibenarkan untuk memposisikan hukum sebagai alat tawar-menawar.
@sunardianwirodono
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews