Susi Pudjiastuti dan Kanker Ganas Bernama Oligarki

Oligarki itu adalah teladan atau penyakit yang membuat satu-satunya hobi yang kita miliki adalah mudah ber-eforia, dan lalu menyadari akhirnya tertipu.

Senin, 1 Februari 2021 | 19:04 WIB
1
508
Susi Pudjiastuti dan Kanker Ganas Bernama Oligarki
Mbak Tutut dan Susi Pudjiastuti (Foto: Facebook/Andi Setiooni Mangoenprasodjo)

Anak saya ketiga, tertunda berangkat ke Jerman menyusul kakaknya tersebab oleh dua hal. Pertama, tentu saja karena pandemik, visa belajar ke negara itu ditutup dan tak jelas kapan dibukanya. Kedua, nah ini saya akui yang sedikit agak aneh. Ketika saya tanya, mau belajar apa nanti di sana. Dia bilang dia minat di bidang bisnis. Saya bilang, kalau gitu gak usah berangkat ke Jerman. Sejak sekarang mulai dagang barang rongsokan saja, gak usah repot-repot kuliah.

Saya termasuk yang percaya berdagang barang bekas adalah short-cut menjadi pengusaha yang baik, jujur, dan bisa menghargai perjuangan dari bawah.

Saya kejam? Mungkin. Tapi saya sunggguh tidak suka, kalau punya anak sekedar punya cita2 kok jadi "pengusaha". Jadi pengusaha itu harusnya suatu kecelakaan, bukan tujuan. Kita boleh berbeda pendapat. Tapi begitulah, cara saya membangun karakter anak-anak saya.

Bagi saya, yang Jawa tradisionalis, jadi pengusaha adalah saru, ora elok, bakal ora kajen. Profesi ini adalah cara menunda waktu untuk merasakan kebangkrutan. Tak ada catatan sejarah panjang dan luhur sebuah dinasti keluarga di negeri ini di bangun dengan cara menjadi pengusaha. Tak ada....

Justru menjadi pengusaha adalah jalan terpendek untuk meruntuhkan semua cita2 mulia, keluhuran, dan segala hal baik.

Dari konteks inilah, sesungguhnya kita akan lebih mudah untuk memahami situasi Indonesia di hari ini. Ya Presidennya, ya menteri2nya, ya anggota Parlemen, dan siapa saja yang belibet ada di dalam lingkarannya adalah pengusaha idem ditto. Yang dalam bahasa politik hari ini dengan gampang dicap sebagai oligarki. Sesuatu yang dianggap wajar, karena lagi-lagi kesalahan kita Pasca Reformasi, kiblat kita adalah Amerika Serikat. Yang terbukti gagal total dan mencapai puncak kebobrokannnya, saat pengusaha megalomania seperti Donald Trump jadi Presiden.

Jadi kalau hari-hari ini, kita terbengong-bengong dengan realitas bernama Susi Pudjiastuti sebenarnya yah wajar saja. Kita lupa bahwa ia juga seorang pengusaha. Pengusaha yang merangkak dari bawah, tapi kebingungan ketika mencapai puncak kariernya. Saat ia, menjadi pengusaha multi bidang. Dari sekedar pengepul ikan, lalu menjadi eksportir. Lalu beli pesawat untuk memperlancar pengiriman barangnya. Lalu tergoda punya maskapai sendiri. Lalu merasa perlu pesawat lebih banyak lagi. Lalu utang, lalu bingung bayarnya. Lalu tabrak sana tabrak sini.....

Harus diakui secara jujur, sosok SP dalam Kabinet Periode pertama Jokowi adalah yang paling moncer. Ia bisa menjadi Srikandi, dengan bentuk fisik perempuan tapi keberaniannya melebihi laki-laki mana pun. Ia berani menerjang tabu yang selama lebih tujuh puluh tahun terabaikan. Ia berani mengusir jauh pencurian ikan di wilayah laut kita. Ia adalah figur yang berani menegakkan prinsip lautan adalah halaman depan daratan. Sebuah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang sesungguhnya.

Sebagai seorang menteri yang "hanya" mengurusi sektor perikanan. Ia menyadarkan arti penting peran Angkatan Laut yang selama ini memble, bahkan terkadang justru seolah menjadi "tertuduh" pelindung penyelundupan, pencurian, atau apapun yang berkonotasi illegal. Ia memberi harapan baru agar lingkungan laut kita tidak ikut mengalami kerusakan massive sebagai terjadi di daratan. Ia mendapat dukungan luas dari aktivis lingkungan dunia.

Baca Juga: Ibu Susi, Janganlah Bersedih, Biarkan Kami Mengenang Ibu dalam Kebaikan!

Ia menjadi profiling bahwa pendidikan itu sama sekali tidak punya korelasi dengan sukses. Terlalu banyak jalan kucing untuk menjadi besar, ternama, dan kaya. Ia mematahkan mitos bahwa sukses itu hanya bisa diperoleh dari pendidikan formal. Ia adalah bukti kredo puitik Rendra, bahwa alam raya adalah universitas paling hakiki. Ia banyak memberi inspirasi, menyulut harapan, merangsang semangat bahwa Indonesia masih bisa diperbaiki.

Tapi itu hanya sesaat, hanya sementara....

Di sinilah, prolog saya di atas menemukan mantranya. Tetaplah ia seorang pengusaha. Di balik kemoncerannya sebagai menteri. Ia tetaplah orang yang punya punggung growong sebagaimana sundel bolong. Tampak elok di depan publik, tapi tulang punggungnya sangat rapuh, menganga mengerikan. Harusnya semua orang tahu, bisnis itu identik dengan pemiliknya. Selamanya tak bakal terpisahkan. Secara manajemen bisa didelegasikan, tapi tak pernah bisa penuh dan seutuh-utuhnya. Ia bisa sejenak ditinggalkan, tapi tapi pernah bisa dilepaskan....

Semula SP pun begitu. Tapi bisnisnya kadung besar, dan sebagaimana biasa semuanya dibiayai oleh utang. Puluhan pesawat yang dibelinya dari sindikasi berbagai bank mengalami kemacetan. Penggantinya tidaklah sesupel SP. Bisnis pesawat sewa-nya, justru mengalami kontraksi dengan posisinya sebagai menteri. Salah satunya di Bank BRI yang mencapai Rp1 trilyun. Dari sinilah merebak banyak rumor. Kebijakannya yang keras, yang mula-mula menyebabkan banyak pengusaha besar "mati kutu", hingga melakukan perlawanan dengan berbagai cara.

Mulai dari melakukan kampanye hitam, melobi anggota parkemen, melakukan aliansi dengan para politikus dst. SP bahkan harus head to head berlawanan dengan JK sebagai Wapres, maupun Luhut Panjaitan sebagai sebagai koordinator kementriannya.

Barangkali saat ini, kita tersenyum bagaimana mungki SP dan JK yang dulu tampak saling berseteru. Akhirnya sekarang akhirnya berakhir sama-sama menjadi paria. Hingga menggantung pertanyaan, sampai kapan LBP mampu bertahan?

Di sisi lain, kebijakannya yang mula-mula mendapat dukungan dari pengusaha kecil, belakangan mereka berbalik melawannya. Perihalnya adalah dilarangnya penggunaan "perahu cantrang" yang dianggap eksploitatif dan destruktif. Di sinilah hukum keji bisnis kelautan berbicara. Ketika ikan melimpah, mosok kita menyeroknya hanya pakai pancing dan perahu kecil. Ketika pengusaha gurem makin besar, mereka mendadak juga sama serakahnya. SP mengalami resistensi yang luar biasa besar di berbagai lini.

Membuktikan mitos abadi: di laut semua akhirnya adalah perompak! Menjelaskan kenapa lanun dianggap sedikit lebih mulia. Eh!

Dan kita menikmati semua itu, dan lalu mendudukkan SP sebagai "new hero", sejenis pahlawan baru yang kekinian. Dan sekali lagi lupa dan abai bahwa dengan fokusnya SP di jabatan barunya, punggungnya makin growong. Bisnisnya kocar kacir. Dan dari sinilah ceritanya buruknya bergulir. SP datang ke Jokowi, meminta "imbalan" atas sikap kerasnya. Ia minta bayaran dari berbagai kebijakannya yang secara tidak langsung juga menjaga popularitas Jokowi tetap di atas. Tapi, sialnya Jokowi tetaplah si koppig. Keras kepala yang tidak peduli pada urusan masal lalu pembantunya.

Ia tetap menuntut integritas pemisahan antara bisnis pribadi dan jabatan publik.

Dan sebagaimana biasa kemana lagi, kalau pengusaha kesulitan menengok? Kalau bukan ke Keluarga Cendana. Yang kekayaannya nyaris tetap tak tersentuh. Cendana melalui Mbak tutut mau membantu mem-bail-out sebagian utang-utang SP yang ternyata juga segunung itu. Lalu, meluberlah cerita ini kemana-mana. SP kemudian dituduh ikut membiayai pemberangkatan para pendemo dari Pangandaran dalam kasus 212. Sesuatu yang dianggap tak termaafkan oleh Jokowi. Belakangan menjelaskan kenapa Jokowi tak sudi menerima pertemuan empat mata dengan SP. Intinya SP sudah di-black-list oleh lingkaran "Istana Hari Ini".

Cuma itu?

Saya cukup kaget! Menerima informasi, kenapa akhirnya eksport benih lobster akhirnya dibuka kembali. Ternyata, di balik pelarangan itu. Selama ini, oknum-oknum tertentu tetap diberi keleluasaan melakukan eskport gelap. Hal ini khususnya dengan tujuan ke Vietnam. Walau tampak, mereka mengalami kesulitan dalam sebuah riset yang dilakukan oleh aliansi pengusaha eksport ikan hal tersebut tak terbantahkan. Di sinilah kongkalingkong jahat itu pelan-pelan terkuak. Inilah alasan kenapa akhirnya eksport benur akhirnya dibuka secara resmi, walau tetap dibatasi.

Sesuatu yang tetap saja, akhirnya jadi bancakan. Dan akhirnya pengganti SP yang politisi Gerindra itu segera cepat dikerakap KPK!

Lalu apa? Sial SP membuat blunder dengan membuat twit konyol mengajak publik memboikot Permadi Arya hanya karena ia sedang berseteru dengan Natalius Pigai. Kenapa konyol? Ya barangkali ia lupa atau pura-pura lupa. Si Abu Janda inilah yang gigih membela dirinya saat kelompok kadrun mempermasalahkan dirinya yang bertato dan hobi merokok ini. Benar-benar konyol, remuk, dan ancur-ancuran. Dan akhirnya, meluncurkan fakta ini itu yang terbuka telanjang kepada publik.

Saya tidak tahu ini disengaja atau tidak disengaja? Namun bagi saya tetap saja biasa-biasa saja. Bagi saya konteksnya hanya satu: Jokowi itu ajegnya hanya memproduksi orang-orang yang semula jadi sahabat dan pendukung menjadi para pendendam dan musuh keparatnya. Salah Jokowi? Tentu tidak, justru merekalah yang terbuka "hidden agenda", terkuak watak aslinya. Itulah takdir baik, sekaligus nasib buruk yang harus ditanggung orang "selurus" Jokowi.

Baca Juga: Pansos di KNPI, Abu Janda dan Susi Pudjiastuti

"Lurus" mungkin pilihan kata pengganti "baik". Bagi saya ia sudah tak sebaik itu lagi. Saya tetaplah menyimpan masgul tak berkesudahan padanya.

Bila Susi kemudian akan disandingkan dengan Anis Baswedan dalam road map 2024. Apa salahnya? Dan lalu para kadrun, sebagaimana biasa lalu berbalik mendukungnya. Bukankah itu kabar baik? Ian aakan membentuk "Pasangan Sakit Hati". Apalagi yang menjadi motor utama adalah Partai Nasdem. Saya punya keyakinan, Nasdem itu punya watak aneh, bawaan lahir yang "munafiknya original". Ia adalah manipulator ulung dengan kemampunya make-up yang luar biasa.

Ia adalah role model media hari ini. Mudah menuai puji di awalnya, tak lama kemudian akan dicela habis....

Apa pendapat saya tentang Susi? Membuktikan bahwa kanker paling ganas di hari ini adalah oligarki. Sindikasi, perkongsian jahat antara bisnis dan politik. Sebagai kanker, oligarki di Indonesia mencapai titik paling kritis dan tanpa disadari beranak pinak. Kalau bukan malah dibesarkan dan dilestarikan secara konyol.

Tak satu pun yang luput dari itu. Dan Jokowi bukannya juru sembuh, ia juga tertular dengan kesadaran sepenuhnya. Kelak, kita akan mengenang Jokowi dengan warisan oligarkinya yang barangkali menjadi bibit dasar perpecahan negeri ini. Apa boleh buat!

Oligarki itu adalah teladan atau penyakit yang membuat satu-satunya hobi yang kita miliki adalah mudah ber-eforia, dan lalu menyadari akhirnya tertipu.

Barangkali "tertipu" adalah nama tengah kolektif kita bersama....

NB: Saya heran kenapa, berfoto dengan anggota keluarga Cendana adalah sebuah kutukan politik. Mungkin ada yang bisa membantu menjelaskan? Eh!

***