Seberapa Bersalahkah Abu Janda?

Orang lupa, bahwa akan selalu ada orang-orang seperti Benny Wenda, Veronica Koman, atau Natalius Pigai yang terus menerus menjadikan Papua sebagai obyek sensitifnya.

Minggu, 31 Januari 2021 | 19:10 WIB
0
334
Seberapa Bersalahkah Abu Janda?
Pigai dan Permadi Arya a.k.a Abu Janda (Foto: tagar.id)

Harus diakui di antara pegiat sosial media, a.k.a pendukung Jokowi, Ahok, dst Abu Janda atau Permadi Arya (PA) adalah yang paling lebay. Ia menggunakan nyaris semua media, memakai pakaian nyentrik, membuat lagu-lagu parodi. Ia melakukan nyaris semua hal untuk menarik perhatian publik. Ia juga sangat rajin menyeret-nyerempet nama publik figur yang lebih besar. Suatu hal yang sangat tak perlu di dunia literasi politik praktis. Kalau tujuannya hanya mendongkrak popularitas ....

Ia juga satu-satunya yang memiliki iniasial atau nama alias. Nama Abu Janda sendiri jelas adalah ejekan bagi "kelompok kadrun" yang suka sekali mengganti nama menjadi kearab-araban. Sampai sekarang, saya juga gak ngerti buat apa begitu? Mengindentifikasi diri sebagai "orang Arab", yang mereka sinonimkan sebagai sesuatu yang lalu dianggap sebagai Islami.

Padahal keduanya tidak koheren sama sekali: Arab tidak selalu Islam, dan Islam bukan hanya orang Arab. Penghubungnya hanya satu lingua faranca-nya kebetulan Bahasa Arab...

Dan pilihan kata janda, yang dipadukan dengan kata Abu. Jelas sebuan satir yang keterlaluan mengejeknya. Abu identik dengan laki-laki, janda linier dengan perempuan. Apakah hal itu sebuah kesembronoan, waton lucu, atau sesungguhnya justru sangat ideologis dan filosofis?

Baca Juga: Mata Genit Abu Janda

Dalam dunia literasi hari ini, kadang hal-hal sepele justru kadang punya makna luar biasa. Tapi sebaliknya, hal-hal yang seolah "besar dan gagah", kalau dalam bahasa Jawa diejek sebagai ndakik-ndakik. Malah sesungguhnya tak lebih omong kosong yang hampa makna dan kedalaman.

Not in-depth! Gak dalem. Atau kalau dalam bahasa gaul hari ini un-faedah!

Secara pribadi, saya bisa memahami jika figur seperti Permadi Arya, Denny Siregar, Ade Armando, Eko Kuntadi terus berbicara. Bahkan beberapa di antara, secara resmi telah "dimediakan", untuk menyebut sebagai dimonetisasi. Walau bagi sebagian itu salah, turun harga, dan mencederai independensi.

Tapi bukankah, justru figur seperti saya ini yang "dianggap salah", ketika tak kunjung mau masuk ke dunia itu. Bertahan di dunia independen dan sosialistik yang ujung-ujungnya juga dianggap tak menghasilkan apa-apa.

Pengalaman itu, saya rasakan ketika hendak menulis serial "Hikayat Kali Code", yang terpaksa saya hentikan sementara. Justru karena diprotes sahabat maupun kerabat saya sendiri. karena dianggap sebuah ke-lebay-an dalam bentuk lain. Data dan gambar eksklusif kaya gitu kok diecer-ecer gratis. Padahal di luar sana, justru disebar-sebarluaskan, untuk keuntungan pribadi banyak orang. Tanpa sopan santun dengan menghilangkan penulis aslinya. Semula saya tidak peduli, tapi karena itu orang-orang dekat saya sendiri. Mosok saya ndableg!

Kembali ke pertikaian PA dengan Natalius Pigai (NP). Posisi saya sebenarnya netral! Tapi kalau harus condong, tentu saya sangat memahami dengan apa yang dilakukan Arya Permadi.

Jangan lupa NP itu memiliki catatan panjang "perilaku menyebalkan" yang tak mudah dilupakan orang. Khusus sebagai orang Jogja, saya akan selalu mengingat perilakunya ketika terjadi bentrok rasialis di kota saya. Ia sebagai Komisioner HAM, bukannya ikut meredakan situasi tetapi justru memprovokasi mahasiswa Papua untuk meninggalkan kota ini. Kota yang justru tempat dia menuntut ilmu. Kota yang justru ikut membesarkan nama dan karier politiknya.

Ia sama sekali menjadi berbeda 180 persen dengan ratusan ribu orang Papua yang pernah tinggal di Jogja. Yang tak sekedar berbaur, menyatu, dan larut dengan orang-orang lokal. Sebut saja misalnya Ayub Antoh, yang betul-betul menjadi "Njogjani", berbaur tinggal dan menjadi warga kampung setempat. Tidak tinggal secara ekskulusif di Asrama-asrama Daerah. Mau memperkuat kesebelasan lokal PSIM tanpa tuntutan materi berlebihan. Dan bahkan yang menyenangkan ketika ia bernyanyi campur sari berduet dengan Didi Kempot. Ia sangat ikonik...

Lalu dalam konteks NP, banyak orang menyalahkan PA karena dianggap berpotensi menyulut krisis baru di Papua. Ejekan PA melulu pada NP. Hanya karena ia menyindir "sudah selesaikah ia berevolusi". Lalu tiba-tiba orang membawanya ke persoalan rasisme. Yang seolah-olah menyandingkan bahwa evolusi itu selalu linier dari pergerakan dari manusia kera ke manusia modern? Bukankah semua orang juga mengalaminya. Tidak melulu NP atau lebih luas lagi orang Papua.

Bukankah semua manusia juga mengalami proses evolusi dalam semua aspek kehidupannya. Dari berkirim surat lewat kantor pos, lalu pakai e-mail, lalu menjadi semakin praktis lewat smartphone. Dari berjalan kaki, naik gerobak, lalu bermobil, lalu naik pesawat. Semua berevolusi, semua berubah secara lambat tapi pasti. Bukan kebetulan, kalau semua orang memanfaatkan NP karena profilingnya, karena gesturnya, karena cara bicaranya, karena kedangkalannya, karena....

Mereka yang memberi panggung itulah, yang sesungguhnya jahat!

Sesungguhnya orang-orang seperti PA inilah tandem berseteru sesungguhnya untuk melawan anomalis-anomalis lainnya seperti dulu Jonru, Buni Yani, Fadli Zon, Fahri Hamzah, dan sekarang AP. Mereka ini ada di panggung yang sama. Head to head. Lalu masalahnya, ketika mereka tak saling tersinggung. Lalu ada pihak ketiga, yang justru ikut naik panggung? Melaporkan ini itu atas nama kesetaraan, atas nama kehidupan berbangsa?

Dalam konteks pelaporan terhadap PA, Ketua KNPI terlalu kentara sekali cari panggungnya? Apakah salah? Ya silahkan saja. Tapi perbolehkan juga publik yang lebih "waras", akan nyinyir terhadapnya. Apa urusannya, lah wong si PA secara pribadi nggak bereaksi. Justru ia akan berharap organisasi-organisasi seperti KNPI yang out of age ini akan bereaksi. Lalu jangankan menuai simpati, tapi bersikap antipati. Dan berbalik arah...

Kasus PA ini sangat menarik bagi saya. Vibrasinya, rembetannya kemana-mana dan tak terduga. Bagaimana mungkin seorang sekelas Susi Pujiastuti tiba-tiba ngetwit ajakan untuk meng-unfollow PA. Dan hasilnya, ribuan orang berbalik arah justru meng-unfollow beliau. Sembari tiba-tiba, membenarkan Jokowi kenapa tidak lagi mengajak SP ke dalam Kabinet keduanya. Saya termasuk yang sangat terlambat memahami kasusnya. Kapan-kapan saya ceritakan. Saya gak mau menambah situasi makin remuk ancur, gak karu-karuan....

Orang lupa, bahwa akan selalu ada orang-orang seperti Benny Wenda, Veronica Koman, atau Natalius Pigai yang terus menerus menjadikan Papua sebagai obyek sensitifnya. Hal yang terus berlangsung, nyaris setelah lebih 50 tahun Papua bergabung dengan NKRI. Dan spirit itu justru semakin kuat, ketika ada pemerintahan baru di NKRI yang menyadari bahwa inilah saatnya memperbaiki kesalahan di masa lalu. Justru ketika Papua mulai dibangun secara lebih serius, merata, tertata, dan berkemanusiaan...

Jika akan menyalahkan AP, sesekali juga ingatlah pernyataan NP. Ketika ia menanggapi keinginan umat muslim sendiri untuk memberikan ucapan Natal bagi saudara-nya kaum Kristiani. Pigai bilang: "Ngapain orang muslim memaksa memberi ucapan selamat. Padahal kami tidak butuh...".

Pernyataan ini jauh lebih berbau SARA dan semua orang diam saja. Lalu ketika dikau tak berani menjewer NP, kita ikut-ikutan menyalahkan orang yang berani melakukannya. Dunia media sosial itu punya hukumnya sendiri. Kesadaran bijak kita seharusnya tak usah lah ikut terus-terusan membawa masalah sosial media ke dunia hukum formal. Cukuplah hukum sosial yang bisa kita saling tabalkan dan syak wasangkakan.

Kita suka, kita puji. Kita kecewa kita cela. Itu sudah lebih dari cukup!

NB: Satu-satunya yang unfaedah itu mengembangkan sikap permusuhan. Berbeda pendapat itu justru menyehatkan!

***