Makna "Lawan" dalam Kampanye Terbuka

Kita tidak boleh lagi mau direndahkan, bersikap lengah, apalagi mengalah oleh berbagai skandal busuk yang menyertai berbagai tindak negatif.

Rabu, 27 Maret 2019 | 12:36 WIB
0
477
Makna "Lawan" dalam Kampanye Terbuka
Ilustrasi Joko Widodo (Foto: Facebook/Andi Setiono Mangoenprasodjo)

Seperti yang kemarin saya tulis, kampanye tertutup (lebih tepatnya kampanye setengah hati) yang terlalu panjang. Di luar menghabiskan terlalu banyak energi, pikiran, tetapi terutama emosi. Mustinya kita paham, karena itulah biaya termurah untuk menjalaninya adalah dengan strategi ala "Cambridge Analytic" dengan menyebar hoaxs, fitnah, dan ujaran kebencian.

Hal ini tampak jelas dengan dipasangnya figur-figur tidak bermutu babar blas, sebagai juru bicara kelompok sebelah. Umumnya memiliki karakter sama: tampak hebat dan gagah tapi sebenarnya dungu dan kosong melompong, bersuara keras tapi mentah, dan yang agak memalukan ketika terbukti salah sekalipun mereka dengan enteng meralat tanpa rasa bersalah.

Coba kita sisir satu persatu mereka: Di Gerindra sebagai ujung tanduk terdapat tokoh sekelas Fadli Zon, seorang doktor, yang sebenarnya pendapatnya tak lebih kaset kusut. Selalu mengulang teks-teks yang sama, dengan ujung yang sama. Di bawahnya ada gedibal tak tahu malu sejenis Arif Puyuono yang saya gak tahu atas dasar apa orang tanpa nalar dan kompetensi seperti dia bisa dapat panggung.

Di Demokrat dipasang dua tokoh yang saya pikir tak kalah absurdnya, di pucuknya ada Andi Arief, pahlawan kesiangan ini bahkan ketika digerebek habis nyabu sambil nyabo sekalipun masih bersuara lantang. Tanda sakauwnya tak pernah berakhir. Kasusnya akan jadi aib yang selalu dikenang publik bahwa Demokrat adalah "partai anak manja" yang hanya siap menang, tapi tak pernah siap jadi kalah apalagi sekedar jadi oposisi.

Di bawahnya ada Ferdinand Hutahaean, seorang yang bersuara ceroboh. Bagaimana mungkin, PD akan bangkit 2024 dengan AHY-nya bila di tahun 2019 tanamannya melulu berisi gulma.

Di luar kepartaian ada Dahnil Simanjutak, Fahri Hamzah, atau para pecatan yang ketahuan belangnya sejenis Sudirman Said atau Rizal Ramli. Deret hitung ini makin panjang, bila manusia abu-abu, bayaran, dan sebenarnya S1 saja tak lulus seperti Rocky Gerung itu dapat porsi yang luar biasa besar untuk berbicara. Agak aneh, kalau dianggap terjadi Death of Expertise di sini. Bahkan dia ini hidup sudah lama selesai, tapi sialnya gak pernah mati-mati.

Tentang dua partai lain PKS dan PAN, ini partai gurem yang para calegnya sedang ribet berantem sendiri berebut suara. Keduanya sama saja dengan PD, sebenarnya setengah hati mendukung pasangan sebelah. Ketiganya sesungguhnya tak pantas dihitung apalagi dinilai tinggi!

Karena itu, sudah tepat Jokowi mencanangkan untuk melawan!

Kata "lawan" disini menjadi penting, berdasar beberapa pertimbangan mutakhir bahwa:

1. Tidak lagi banyak manfaatnya untuk mengekspose prestasi kerja Jokowi. Bagi para haters, kebencian mereka sudah permanen dan menetap. Saya pribadi berpendapat tak ada perlunya disadarkan atau disembuhkan. Untuk apa? Biarkan mereka menikmati rasa sakitnya hingga batas mereka bersedia menyembuhkan dirinya sendiri.

2. Sama tidak perlunya menunjukkan bahwa pasangan sebelah tanpa prestasi bahkan menunjukkan keburukan mereka. Ingat pepatah abadi barang busuk yang diburuk-burukkan justru akan mengundang rasa iba dan simpati. Biarkan mereka melakukan semua hal yang mereka suka di mass media, tapi hadang untuk masuknya berbagai hal negatif ke wilayah akar rumput.

3. Di wilayah akar rumput, program besar itu tak banyak gunanya. Mereka tak mengerti visi dan misi. Aksi-aksi sosial dan kunjungan turun ke bawah akan jauh lebih bermanfaat, daripada gerakan deklarasi dan pamer kaos. Jangan salah, berbagai kegiatan deklarasi yang terlalu banyak justru menunjukkan bahwa ada gap yang menganga besar antara kalangan terpelajar dan akar rumput. Deklarasi itu pintu masuk yang elitis, yang justru berpotensi dianggap tidak menyapa mereka sama sekali!

4. Artinya aktivitas yang efektif adalah menyapa sebanyak mungkin massa mengambang! Identifikasi, data, dan rangkut mereka. Janjikan untuk menjemput mereka ke TPS, bantulah kesulitan mereka jika punya kendala psikologis dan teknis. Jika setiap 2 orang pendukung aktif Jokowi melakukannya untuk 1 orang saja, pengaruhnya sudah cukup besar!

5. Oh ya jangan lupa tetap bergembira. Tetap lakukan dengan hati senang, tanpa beban. Jokowi kalah itu justru ilusi dan masih keajaiban. Tapi kemenangan itu keniscayaan yang ada di depan mata. Mangka dari itu selalulah tersenyum, manyun itu sungguh bukan dirimu!

Lalu apa yang dimaksud Jokowi sebagai LAWAN?

Laporkan sebanyak mungkin berbagai bentuk fitnah, pencemaran nama baik, ujaran kebencian, dan berita bohong kepada pihak yang berwenang!

Kawal setiap laporan tertulis, dan berikan bukti-bukti yang menguatkan. Pembiaran yang terus menerus selama inilah, terutama di tingkat pusat yang menyebabkan berbagai virus kebencian itu tetap bertahan. Bahkan terus menjalar ke daerah-daerah yang sebenarnya jauh lebih gampang melihat dan menilai hal-hal baik.

Kita tidak boleh lagi mau direndahkan, bersikap lengah, dan apalagi mengalah oleh berbagai skandal busuk yang menyertai berbagai tindak negatif tersebut. Kalau meminjam istilah yang lagi populer hari ini: TUMAN!

Itulah makna terbaik, paling efektif dan bisa dainggap mulia dari kata: LAWAN!

Tulisan untuk sahabat-sahabat SMAN 3 Bandung Angkatan 86, yang tak malu-malu lagi turun gelanggang: membela orang baik! Selalu bangga padamu, kawan....

***