Membaca Ketidakhadiran Pramono-Rano di Pembekalan Kepala Daerah PDIP 

Dalam politik, seperti dalam filsafat juga, jawaban tidak selalu muncul dari pertanyaan yang lantang, tetapi dari jeda. Dari ruang kosong. Dari absen yang mencurigakan.

Selasa, 20 Mei 2025 | 06:38 WIB
0
35
Membaca Ketidakhadiran Pramono-Rano di Pembekalan Kepala Daerah PDIP 
Rano dan Pramono (Foto: bisnis.com)

Sesungguhnya ketidakhadiran Gubernur Jakarta Pramono Anung dan wakilnya Rano Karno pada pembekalan kepala daerah yang dilakukan oleh PDIP terjawab oleh pernyataan Ketua DPP PDIP bidang Pemerintahan dan Otonomi Daerah Ganjar Pranowo, bahwa Pramono Anung dan Rano Karno telah meminta izin tidak ikut pembekalan.. Alasannya karena Pramono berangkat haji dan Rano menghadiri Festival Film Cannes di Paris, Perancis.

Sampai di sini seharusnya publik paham. Akan tetapi logika dan terlebih lagi "kasak-kusuk" politik tidak selali berjalan linear dengan pernyataan resmi, bahkan pernyataan itu keluar dari mulut kader utama partai seperti Ganjar Pranowo. Ketidakhadiran kedua pasangan gubernur dan wakil gubernur Jakarta itu begitu kontras mengingat Lenteng Agung, di mana pembekalan bagi seluruh kepala daerah PDIP dilakukan, masih berada di Jakarta.

Orang Betawi bilang, jarak Lenteng Agung di Jakarta Selatan hanya sepelemparan batu saja dari Balai Kota yang berada di Jakarta Pusat. Sementara para kepala daerah dari seluruh Indonesia hadir mengikuti pembekalan. Tentu tanpa Sekjen Hasto Kristiyanto yang masih harus berurusan dengan hukum terkait Harun Masiku. Kemudi partai untuk sementara waktu diambil alih Ganjar, mantan capres di Pilpres 2024 lalu.

Saya coba memandang ketidakhadiran Pramono-Rano dari sisi yang lebih filosofis alih-alih analisa politik "garis keras". Ada kalanya dalam politik, kehadiran bukanlah satu-satunya bentuk eksistensi. Justru, ketidakhadiran bisa lebih lantang berbicara daripada kehadiran itu sendiri. Seperti halnya diam yang bermakna protes, atau bisu yang menyimpan luka yang dalam. Maka, ketidakhadiran Pramono Anung dan wakilnya itu di Sekolah Partai PDIP menciptakan ruang tafsir yang luas. Bukan sekadar absensi biasa, melainkan gejala yang menandakan sesuatu sedang tidak beres di jantung kekuasaan politik Jakarta dan bahkan mungkin di dalam tubuh PDIP itu sendiri. Wajar kalau kemudian memantik pertanyaan: ada apa ini?

Saya paham, Sekolah Partai PDIP bukanlah ritual administratif. Ia adalah momen sakral yang merepresentasikan penyelarasan ideologi, penyegaran militansi, dan simbol loyalitas terhadap garis partai dan utamanya kepada Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Mau mendebat tentang hal ini? Silakan saja. Tetapi dalam konteks ini, ketidakhadiran adalah sebuah deviasi. Ketika dua orang paling penting di ibu kota tidak hadir dan keduanya adalah kader PDIP militan, maka pertanyaannya bukan lagi "mengapa mereka tidak hadir?", tetapi "pesan apa yang sedang mereka (atau partai) kirimkan kepada publik dan internal?"

Filsuf Martin Heidegger pernah berkata bahwa manusia adalah Das Sein—kehadiran yang sadar, yang membuat dunia menjadi terbuka. Tapi dalam politik, kadang absence (ketiadaan) menjadi lebih eksistensial daripada presence (kehadiran). Di balik ketidakhadiran Pramono dan Rano, tersembunyi pertarungan tafsir apakah mereka sedang memprotes? Atau justru sedang "dijauhkan"? Maksudnya dijauhkan oleh PDIP dan terutama oleh penguasa utama partai, Megawati Soekarnoputri.

Ada dua kemungkinan yang patut dipertimbangkan. Pertama, ini adalah bentuk jarak yang disengaja oleh Pramono dan Rano terhadap pusat kuasa PDIP. Bisa jadi mereka sedang mengamati, berhitung, bahkan menciptakan ruang otonomi dari bayang-bayang Megawati yang besar dan struktur partai yang padat kontrol. Tetapi apa mereka berdua cukup punya nyali? Saya rasa tipis kemungkinannya.

Taruhlah jika ini yang terjadi, maka absensi mereka adalah bentuk eksistensi baru, yakni bukan untuk keluar dari PDIP, tetapi untuk menyatakan diri sebagai subjek yang memiliki tafsir sendiri atas loyalitas dan kesetiaan.

Kemungkinan kedua, mereka tidak sedang menjauh, tetapi dijauhkan. Ini menarik, bukan? Sebab dari sini terbuka ruang pertanyaan baru: apa salah mereka? Demikianlah filsafat tak henti-hentinya bertanya, termasuk filsafat politik. Nah, politik internal partai, seperti halnya dalam kerajaan, mengenal mekanisme sunyi, yakni pembekuan simbolik. Pramono dan Rano, meski masih menjabat, bisa saja telah “dibekukan” (memangnya es batu) dari pusat kekuasaan PDIP karena sesuatu yang tidak (atau belum) kita tahu.

Ketidakhadiran mereka di Sekolah Partai, jika ini benar, bukan pilihan mereka, tetapi bagian dari koreografi senyap kekuasaan. Dalam tradisi Jawa, ini bisa disebut sebagai bentuk "dipun-curigani"—diberi tanda tanya, dibiarkan menjauh, tanpa harus dimusuhi secara terang-terangan. Paham maksud saya sampai di sini?

Antara Loyalitas dan Kepercayaan

PDIP bukan hanya partai politik; ia adalah wadah ideologi yang dibangun dari rasa percaya. Megawati tidak memerintah dengan instruksi struktural saja, tetapi dengan kepekaan batiniah terhadap siapa yang patut dipercaya dan siapa yang sedang bergeser dari orbit. Dalam konteks itu, ketidakhadiran Pramono dan Rano bisa mencerminkan retaknya kepercayaan dimaksud. Meski belum menjadi pecah terang, tetapi ada retakan yang cukup untuk membuat mereka “tidak nampak”.

Apakah Pramono terlalu teknokratik bagi struktur PDIP yang sangat ideologis dan emosional? Apakah Rano meski populer sebagai figur publik dan seniman  tidak cukup militansi secara struktural dalam budaya partai yang ketat? Atau justru keduanya dianggap terlalu dekat dengan kelompok-kelompok yang tidak sejalan dengan arah ideologis PDIP pasca kekuasaan Presiden Jokowi? Entah syapa yang salah. ku tak tahu....

Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin tidak akan dijawab secara terbuka oleh PDIP, karena partai ini bekerja dalam logika simbol dan sinyal. Tetapi harus diingat, publik yang cermat akan tahu bahwa ketidakhadiran yang berulang adalah sinyal politik.

Di dunia yang serba tampak ini, kita sering mengukur kekuasaan dari siapa yang hadir. Tetapi dalam politik tingkat tinggi, yang absen justru bisa menjadi pusat perhatian. Pramono dan Rano sedang mengajar kita satu pelajaran penting: diam bisa menjadi pernyataan, dan ketidakhadiran bisa menjadi alat baca atas peta kekuasaan yang berubah.

Apakah mereka sedang melawan? Ataukah mereka sedang menunggu? Apakah mereka terlupakan? Ataukah sedang disiapkan untuk sesuatu yang lebih besar? Dalam politik, seperti dalam filsafat juga, jawaban tidak selalu muncul dari pertanyaan yang lantang, tetapi dari jeda. Dari ruang kosong. Dari absen yang mencurigakan.

***