Jokowi dan Permasalahan Etik yang Melingkarinya

Etika itu bukan persoalan benar salah, baik buruk. Tapi elok atau tidak. Orang Jawa bilang pantes ora, wangun pora.....

Jumat, 6 Desember 2019 | 19:40 WIB
0
520
Jokowi dan Permasalahan Etik yang Melingkarinya
Presiden Joko Widodo (Foto: IDN Times)

Saya sebenarnya ingin puasa menuliskan tentang Jokowi di awal masa jabatan keduanya. Tidak fair sesungguhnya, mengomentari apa yang terjadi hanya setelah kabinet kedunya dilantik belum lagi 100 hari bekerja. Tapi sebagaimana, jargon populer hari-hari ini apalah arti penjumlahan hari. Ia hanya deret hitung, yang bergerak samapai titik ia harus berhenti. Bisa cepat, bisa lambat!

Tapi tampaknya, Jokowi sedang dihukum oleh persoalan-persoalan etik yang saya pikir cepat atau lambat akan menimpanya, ketika ia memutuskan melakukan apa yang disebut "politik kompromi". Sebagai orang yang ikut bekerja dua kali memenangkannya, di kotak yang bernama "relawan".

Tentu yang harus pertama-tama kami persoalkan selalu saja masalah etika. Apalah artinya teknis, yang itu bisa siapa saja. Bisa yang paling profesional, hingga yang paling boneka layaknya orang-orangan sawah (baca: bebegig). Yang bebegig-pun kalau beruntung, ia akan menjadi berjasa dan populer, bila ia tiba-tiba mendapat mestakung-nya.

Sebaliknya yang paling profesional, kompeten, dan bersih sekalipun kalau lagi nahas dan terpeleset, ia tak lebih pesakitan berompi oranye itu. Saya sangat bisa paham, bila setelah pelantikan ini Jokowi justru malah sedang ribet mengenali para pembantu terdekatnya itu. Apa pun istilahnya: adaptasi, re-conditioning,habituasi, re-orientasi. Tampak dari minimnya atau ambigu atau gagu-nya pergerakan positif dalam beberapa waktu terakhir.

Persoalan yang digelisahkan warga Nahdlatul Ulama (NU), akhirnya menemukan bentuk nyatanya. Saat Menag yang dijabat eks-militer yang sialnya justru think-tank dari pendirian FPI. Tampak gagah di awal, tapi jadi tampak bloon saat ia harus bersikap terhadap FPI.

Baca Juga: Memaksakan "Khilafah" melalui AD/ART FPI

Persoalan FPI ini sesungguhnya bukan saja delik nasional, tapi ternyata telah mengundang banyak reaksi internasional. Bukan saja karena kiprahnya, tapi terutama tentang nama provokatif yang digunakannya Front Pembela Islam. Front sendiri bisa mengacu pada sikap keras, dengan padanan kata garda artinya ia berdiri paling depan. Kedua, tentang pembela. Di sini sangat jelas konteksnya, bahwa ada sesuatu yang ditindas, direndahkan, dikalahkan, dianaktirikan. Dan tentu saja, kata ketiga yang paling rawan: Islam. Disini menjadi salah kaprah, seolah Islam adalah satu.

Satu-satunya kelompok yang mendaku bahwa Islam itu hanya satu dan tak boleh berbeda, hanya kelompok Wahabi. Persoalannya Wahabi saat ini sedang dipermasalahkan di nyaris semua sudut bumi, karena sikap eksklusif, suka memaksakan kehendak, dan gaya intoleransinya. Tak kurang dari Erdogan sebagai figur pemimpin Islam moderat Turki mengecam eksistensi FPI. Apalagi, di dalam negeri, FPI sendiri menunjukkan sikap kurang bersahabat dengan banyak pihak, dengan hobi membikin keresahan, bila tidak ditambah kerusuhan.

Dalam konteks inilah, Jokowi seolah tidak hadir mewakili perasaam ratusan juta rakyatnya, dan seolah tunduk dengan kelompok ini yang jumlahnya konon tak lebih dari 200 ribu orang itu. Di sini persoalan etika Jokowi sangat dipertanyakan! Kemana kau berpihak?

Persoalan kedua yang juga menyangkut etika yang bisa merisak Jokowi adalah KPK dan Novel Baswedan. Ini duapolly, dua keping mata uang yang bukan sahja harus ditarik, tapi juga diberangus. KPK lama sudah terlalu sarat beban konspirasi, sesuatu yang sebetapapun ditutup-tutupinya bau busuknya tetap kuat menguar keluar. Apa sih sulitnya terbuka saja tentang duduk persoalan penyiraman air keras. Seberapa berat sih ongkos politiknya? Dibandingkan dengan ketidakpastian hukum dan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan.

Jokowi mustinya sangat belajar dari persoalan KTP-E semasa SBY. Itu persoalan yang sebenarnya sederhana sekali dan mustinya, setiap pelaku adalah whiste blower untuk yang lainnya. Bukan tebang pilih, melindungi Mendagri-nya yang belagak pilon gak tahu apa-apa, hanya untuk melindungi kepentingan Sang Presiden-nya. Novel Baswedan itu identik Anis Baswedan di DKI Jakarta, seolah tak tersentuh. Bagaimana seorang yang berteriak keras memberantas korupsi, sesunggunya adalah penyemai, perawat, dan bahkan penggiatnya.

Baca Juga: Pemimpin Revolusioner

Dalam waktu dekat, pimpinan KPK baru yang dari Polri itu akan efektif bekerja. Saya tidak tahu, apakah diamnya mereka adalah ancang-ancang untuk berteriak dan bersikap lantang. Ataukah justru sebaliknya, sedang melakukan rekonsialisasi dan kompromi untuk tidak menjadi apa-apa. Jika ya, saya akan ikut berteriak sekali lagi Jokowi hanya ditelikung dengan apus-apus!

Dan persoalan terbesar, yang sesungguhnya adalah penyakit paling terkutuk adalah betapa kotornya BUMN yang ada di negeri ini. Perusahaan negara yang sesungguhnya mampu menjadi pelayan publik dengan hak monopoli, subsidi negara, dan berbagai fasilitas lain dari pemerintah. Ternyata tak lebih sapi perah bagi banyak pihak. Mulai dari pegawainya sendiri, para pensiunan yang semstinya sudah usang dan berkarat, hingga para pemain politik dan oligraki bisnis hitam.

Kasus penyelundupan Harley Davidson dan Bromton oleh seorang Dirut kelahiran 1974 itu sungguh menampar muka. Bagaimana mungkin generasi semuda itu sudah bergaya hidup hedonis, tanpa malu memanfaatkan fasilitas jabatannya. Lagi-lagi ini persoalan etika yang sangat serius, betapa marwah korupsi itu tidak melaulu menyangkut pemilik etnis besar dan agama mayoritas, dan ini gilanya adalah sebuah suku dan agama minoritas yang selama ini saya pribadi menganggapnya benteng terakhir keluhuran budi yang tersisa.

Saya sepakat bahwa persoalan ini bukan melulu persoalan adminitrasi, tetapi kriminal yang semestinya ditindak tegas. Bukan sekedar dipecat, tapi harus dimejahijaukan. Bahwa konsekuensinya adalah ia menggigit banyak pihak lain, tentu itu justru yang seharusnya diharapkan. Mestinya semua orang sadar bahwa Garuda bukanlah anak emas yang selalu mendapat prioritas, kalau ia tak lagi layak diteruskan. Ditutup itu jauh lebih baik. Murah tidak, korup jalan terus...

Jokowi sudah cukup banyak dirundung persoalan-persoalan etika. Sesuatu yang pada mulanya selalu kita pahami sebagai pendukungnya, tersimpan maksud baik. Walau dengan pertanyaan dasar yang sama: maksud baik siapa? Buat siapa tepatnya!

Kita gembira ketika Mei lalu, ia berucap tak punya beban lagi untuk periode keduanya. Tapi ternyata gampang luluh oleh seorang kolokan dari timses-nya yang bernama Projo. Persoalan etisnya, ia bukanlah figur yang tepat untuk sekedar duduk. Tapi ia tetaplah dipilih atas nama apa pun. Dan ternyata bahwa siapa saja yang dipilihnya tak lebih para "pengejar setoran" bagi kelompoknya masing-masing.

Dan bila ia ternyata ia sendirian, ia memang belibet dan canggung dengan persoalan-persoalan etika yang dilahirkan dan seolah dibesarkannya sendirian. Saya siap kecewa bila terus berharap bahwa Jokowi adalah presiden dengan legacy yang baik, sesuatu yang luhur untuk diteruskan para pewarisnya.

Persoalannya menjadi sangat serius: ketika kita berbicara bahwa pelajaran etika terbaik ada dan bermula dari keluarga. Tapi apa jadinya: jika semasa ia menjabat, ia membiarkan anaknya mengikuti jejak ayahnya untuk mulai mengecap rasanya berkuasa.

Itulah persoalan etika dasar yang mulai pecah. terkuak, dan nyata dalam diri Jokowi dan keluarganya. Etika itu bukan persoalan benar salah, baik buruk. Tapi elok atau tidak. Orang Jawa bilang pantes ora, wangun pora.....

***