Paradoks Demokrasi di Medsos

Minggu, 20 Februari 2022 | 18:10 WIB
0
359
Paradoks Demokrasi di Medsos
Ilustrasi paradoks demokrasi

Tujuan dari kemerdekaan untuk mengeluarkan pendapat adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dan itu dilindungi konstitusi. Faktanya, demokrasi di ruang publik berwajah ganda. Bahkan kini memunculkan beberapa paradoks yang bisa mencemari demokrasi dan demokratisasi. Contohnya? Pemolisian WargaNet adalah salah satu buah dari paradoks ini.
 

Evolusi Media Sosial

Menurut laporan perusahaan media asal Inggris, We Are Social, bekerja sama dengan Hootsuite dalam laporannya "Digital 2021: The Latest Insights Inti The State of Digital" menyatakan bahwa sekitar 61,8% (170 juta) dari total 274,9 juta penduduk Indonesia adalah WargaNet, pengguna medsos. Awalnya, penggunaan media elektronik, terutama media sosial (medsos) oleh WargaNet +86 untuk menjalin persahabatan, membangun komunitas agar bisa saling berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan konten-konten sesuai dengan pendapat masing-masing. Bahkan, di era informasi dan masyarakat terbuka saat ini, medsos mendapatkan momentum yang sangat tepat untuk bertransformasi menjadi sebuah platform "jurnalisme netizen" atau "jurnalisme warga/publik" (citizen journalism) (Farisi, 2022).

Medsos kemudian berevolusi menjadi ruang partisipasi sosial dan politik bagi WargaNet +86 untuk mendukung program dan tokoh-tokoh tertentu. Secara embrionik hal ini dimulai sejak Pilpres tahun 2014, terutama melalui platform Facebook (69 juta atau 27% pengguna), dan Twitter (>30 juta atau 12% pengguna) (Farisi, 2019). Sejak itu, medsos berubah secara eskalatif dari fungsi sosial ke fungsi politik partisan, disertai dengan kemunculan media-media sosial (personal, grup/komunitas) yang menjadi pendukung dan berafilisasi pada tokoh-tokoh tertentu (politik, keagamaan, masyarakat, dll.).

Kelahiran era "post-truth" memperparah situasi ini. Ruang-ruang medsos tidak lagi sepenuhnya ramah, dan memberikan rasa aman dan nyaman bagi warganya. Medsos menjadi ruang digital yang pekat dengan perdebatan tentang “kebenaran” yang lebih mengutamakan emosi daripada nalar. Bahkan perdebatan tersebut keluar dan menyimpang dari inti kebenaran itu sendiri. Era post-truth seakan memberi ruang bagi siapapun untuk membangun kebenaran di atas fondasi narasi kebohongan dan hoaks yang terus-menerus diproduksi, reproduksi secara berulang-ulang sehingga publik meyakininya sebagai sebuah kebenaran.

Pemolisian di Ruang Medsos

Berawal dari inilah, media sosial menjadi sangat potensial melahirkan fenomena pemolisian (= pelaporan ke polisi) atau lazim dikenal dengan istilah “pemolisian media sosial” (social media policing), yang diantaranya berujung pada pemidanaan yang menyeret WargaNet +86 ke hotel prodeo. Untuk keperluan tersebut, kepolisian RI membentuk divisi khusus, yaitu Polisi Siber yang bertugas dalam hal penegakan hukum terhadap suatu kejahatan siber di Indonesia. Satuan tugas ini biasa disebut dengan Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) di bawah naungan Bareskrim Polri.

Fenomena ini terjadi, karena kemerdekaan berpendapat yang diekspresikan oleh WargaNet +86  melalui postingan-postingan di ruang-ruang medsos tidak lagi sesuai koridor hukum. Postingan mereka di medsos tidak lagi mengakui dan menghormati atas hak dan kebebasan orang lain. Konten pendapat telah melanggar kesusilaan, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan/atau pengancaman, menyebarkan berita bohong dan menyesatkan, kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan golongan, dan pengiriman ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Sejumlah studi atas fenomena pemolisian di ruang medsos sudah dilakukan (misalnya oleh Suseno, 2016; Mujab, 2019; Haryani, dkk., 2018; Rahutomo, tt).

Berdasarkan data pada laman patrolisiber (https://www.patrolisiber.id/), jumlah kasus pemolisian sejak Januari 2018 sd. Februari 2022 sebagai berikut.

Dari data di atas, kasus tertinggi adalah penghinaan/pencemaran nama baik (78.1%). Diikuti kasus berita bohong/palsu (hoax/fake news) (10.4%), provokasi/penghasutan (6.5%), penistaan agama (3.3%), dan pornografi anak (child porn) (1.8%). Sementara itu, data yang dirilis Mabes Polri (2018) menunjukkan bahwa bahwa sepanjang 2017, Polri telah menangani 3.325 kasus kejahatan ujaran kebencian (hate speech) Angka tersebut naik 44,99 persen dari tahun sebelumnya (2016) yang berjumlah 1.829 kasus (Jawa Pos, 2018).

Berdasarkan asal wilayah penyebarannya, konten negatif “terbanyak” berasal dari Jawa Barat (7.184 konten). Disusul wilayah Banten (3.464 konten), Yogyakarta (1.167 konten), Sumatera Utara (868 konten), Sumatera Selatan (564), dan Kalimantan Timur (520 konten). Sedangkan dari wilayah lain di Indonesia, jumlah konten negatif yang diposting kurang dari 400 konten. Jumlah konten negative “terendah” (di bawah 50 konten) berasal dari wilayah Riau (41 konten), Maluku Utara (36 konten), Jawa Timur (30 konten), Sumatera Barat (28 konten), Sulawesi Barat (22 konten), dan Papua (7 konten) (https://www.patrolisiber.id/).

 Mengawali tahun 2022, ada tiga kasus pemolisian di ruang media online (medsos, medimas) kembali heboh dengan berita terkait kasus “Allahmu lemah” yang bernuansa SARA oleh pegiat medsos FH; kasus “Jin Buang Anak” oleh EM seorang  jurnalis senior Indonesia yang saat ini aktif di Forum News Network; dan kasus “Wayang Haram” oleh UKB seorang pendakwah.

Tidak semua kasus pemolisian tersebut berlanjut meja hijau. Selain kasus-kasus yang jelas secara hukum, ampaknya, hanya kasus-kasus yang menonjol dan viral di medsos saja yang berlanjut. Tak pelak lagi, jika pada tahun 2021 muncul fenomena “no viral no justice” dan “viral for justice”, yang kemudian diikuti sejumlah tagar seperti tagar #PercumaLporPolisi, #SatuHariSatuOknum, hingga #PercumaAdaPolisi. Fenomena ini mengekspresikan kekecewaan sekaligus harapan WargaNet atas kinerja kepolisian, sekaligus merupakan bentuk mobilisasi populis (pengguna internet/media sosial) dalam ruang digital yang berujung menjadi pressure group terhadap lembaga atau instansi yang bersangkutan.

Pemolisian memang dibolehkan di dalam ruang demokrasi, jika terkait dengan kasus-kasus seperti  jenis kejahatan penipuan dan content related cybercrime, seperti hoaks dan ujaran kebencian, prostitusi daring, online child pornography, dan cyber-terrorism. Logika yang digunakan adalah logika hukum. Tetapi, tentu di luar jenis itu, seharusnya ada ruang diskusi di mana masing-masing pihak yang berbeda pendapat dapat mengajukan argumentasi logis masing-masing, tanpa memasukkan faktor emosi.

 

Medsos dan Paradoks Demokrasi

Kasus-kasus pemolisian di ruang medsos seperti di atas, memperlihatkan beberapa fenomena “paradoks demokrasi”.

 

Paradoks pertama. Di satu sisi, revolusi digital, Internet, dan medsos telah meruntuhkan kepercayaan warga/publik atas para pakar yang selama ini menjadi salah satu demokrasi. Relasi kepercayaan warga-pakar pun merenggang, bahkan runtuh (collapses). Sentimen anti-keahlian dan anti-intelektualisme pun meluas, dan menggerus otoritas dan kontrol kalangan pakar (intelektual, cendekiawan, ilmuwan) atas wacana akademik dan kebenaran di ranah publik.

Di sisi lain, revolusi digital, Internet, dan medsos juga telah membantu memicu lonjakan egalitarianisme intelektual narsistik dan sesat dari WargaNet di ruang-ruang maya publik. Paradoks ini dinarasikan dengan apik oleh Nichols (2017) dalam “The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why it Matters”.

Fenomena intelektual narsistik ini diakibatkan oleh apa yang dinamakan efek Dunning-Kruger (Dunning-Kruger Effect), dan Bias Konformasi (Confirmation Bias). Efek Dunning-Kruger adalah sebuah fenomena bias kognitif dimana seseorang merasa lebih hebat, pintar, dan superior dari pakar. Efek ini diakibatkan oleh ketidakmampuan orang tersebut secara metakognitif untuk mengetahui segala kekurangannya (tidak tahu bahwa dirinya tidak tahu) (Kruger & Dunnging, 1999). Bias Konfirmasi adalah suatu kecenderungan bagi orang-orang untuk mencari (search), menafsirkan (interpretation), dan mengingat kembali (recall) informasi dan bukti-bukti yang mendukung pendapat atau kepercayaannya, serta mengabaikan bukti-bukti yang menyatakan sebaliknya (Wason, 1960).

Paradoks pertama ini kata Nichols (2017), menghadapkan demokrasi pada “spiral kematian” (a death spiral) yang menghadirkan fenomena pembusukan pemerintahan yang berbahaya. Yaitu apakah akan menuju pemerintahan massa (rule by the mob) atau menuju pemerintahan teknokrasi elitis (elitist technocracy). Kedua fenomena ini merupakan buah dari pemerintahan otoriter yang mengancam Amerika Serikat saat ini (era Trump). Pada titik ini, kehadiran Pakar di ruang-ruang virtual medsos sangat penting dan dinantikan. Tujuannya adalah untuk memberikan pencerahan (enlightment) kepada WargaNet, dan menjadikannya sebagai ruang demokratis yang berkeadaban (civilized democratic space) yang mampu menciptakan warganet beradab sebagai basis pembangunan masyarakat berjejaring (network society) (Farisi, 2021).

 

Paradoks kedua. Di satu sisi, demokratisasi yang dihembuskan oleh era Reformasi membawa angin dan nafas kemerdekaan warga dan penduduk untuk berekspresi dan berasosiasi secara bebas menggunakan beragam media dalam rangka untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Di sisi lain, pemikiran, sikap, perilaku, dan tidakan warga dan penduduk yang cenderung antagonis, dan mengindikasikan adanya fenomena arus balik ke arah "politik identitas" (identity politics). Sebuah fenomena politik partisan yang mengukuhkan kembali perbedaan identitas kolektif (politik, etnis, agama, bahasa, dll.) yang diekspresikan melalui beragam kanal medsos (Latif, 2013).

Arus balik politik identitas ini kata Latif telah membawa arus liar di balik maslahat demokrasi, dengan hadirnya aksi-aksi kekerasan terhadap warga dan penduduk keturunan. Kemudian, disusul oleh serangkaian kekerasan negara dan masyarakat, terutama di Papua, Timor-Timur, Aceh, Kalimantan Barat, Maluku, Jawa Timur, Jawa Barat, dan wilayah lainnya.

Fenomena arus-balik ini pernah terjadi juga pada globalisasi (globalization backlash). Di satu sisi, globalisasi memungkinkan terciptanya integrasi (sekaligus intedependensi) internasional melalui beragam relasi, konektivitas, dan transaksi pandangan dunia, produk, pemikiran, kebudayaan, dll. Di sisi lain, globalisasi dipersepsi sebagai “the triump of giant companies” (Micklethwait & Wooldridge, 2001) yang dikhawatirkan melahirkan “goncangan budaya” (cultural shock) yang dapat mengganggu keseimbangan di dalam kehidupan masyarakat.

Goncangan ini memunculkan dua Gerakan. Pertama, gerakan yang menyimbiosiskan antara produk global dengan kebudayaan asli/lokal (Glokalisasi). Kedua, Gerakan yang sepenuhnya kembali ke kebudayaan asli, kembali kepada kemandirian bangsa, Kedua gerakan arus anti-globaisasi tersebut bukan merupakan organisasi tunggal, melainkan terdiri dari banyak kumpulan organisasi antar individu dan koalisi, serta memiliki kekuatan dalam sektor-sektor utama (Bhagwati, 2004; Micklethwait & Wooldridge, 2001; Nayan, 2007).

 

Paradoks ketiga. Di satu sisi, demokrasi memerdekakan (membebaskan) setiap warga dan penduduk untuk menyampaikan pendapatnya. Termasuk mengkritik, betatapun kerasnya. Kritik adalah jantung kemajuan demokrasi, dimensi fundamental bangunan demokrasi. Kritik merupakan wujud dari hak warga dan penduduk untuk menyatakan pendapat yang dilindungi konstitusi. Karenanya, kritik disepakati sebagai salah satu instrumen kontrol untuk menghadirkan check and balance dalam berdemokrasi. 

Parameter kritik bukan berada di dalam diri pengritik, melainkan di dalam nilai, norma, umum yang disepakati bersama (keadilan, kebenaran, kemaslahatan, dll.). Karenanya, kritik harus dipahami sebagai sebagai penguatan terhadap demokrasi, bukan senjata merebut kekuasaan dengan mengotori ruang publik dengan fitnah, berita palsu, dan kebencian.

Di sisi lain, ada fenomena menarik yang bisa dinikmati di balik hiruk-pikuknya kritik-mengkritik. Pertama, ketika kritik tidak lagi masuk akal, tidak didukung oleh data valid dan motif a-moral. Sehingga, kritik menjelma jadi penaklukan sosial berbasis kebencian. Sejatinya, medsos sebagai ruang publik harus terbuka untuk beragam diskursus dan kritik, dengan senantiasa mengedepankan akal sehat, data valid, dan motif moral, kata Boni Hargens (2021) di dalam opininya, “Kritik dan Ruang Publik”.

Kedua, ketika para pengritik (kritikus) marah, emosi, dan bersikap berlebihan ketika dirinya balik dikritik. Pengritik tak mau dan tak terbuka untuk dikritik. Sikap “anti-kritik” semacam itu, tentu merupakan wujud dari sikap “anti-demokrasi”. Fenomena ini dinarasikan oleh Farisi (2021) di dalam tulisan “Ketika Pengritik Tak Mau Dikritik”. Lebih parah lagi, jika dalam suasana kritik-mengkritik ini hadir para partisan, relawan, demonstran, dan buzzer yang semakin meramaikan bursa kritik. Terlepas apakah kehadiran mereka dimotivasi oleh motif komersial yang ditandai dengan aliran dana, atau motif sukarela yang didorong oleh kesamaan ideologi atau perjuangan. Mereka semua, sama-sama produk demokrasi. Mereka pendukung demokrasi, tetapi sekaligus pendobrak yang mengancam kelangsungan hidup demokrasi (Farisi, 2021).

 

Tangsel, 20 Februari 2022

_________________________

Penulis adalah Dosen prodi Pendidikan IPS FKIP, dan Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Terbuka (LPPM-UT).