Fakta dan Realitas Sosial Jurnalisme Netizen

Kita tidak bisa menggunakan teori, model, dan/atau instrumen keilmuan “dari luar” yang lazim digunakan dalam penelitian positivistik untuk menemukan dan memahami makna yang ada.

Jumat, 7 Januari 2022 | 07:44 WIB
0
363
Fakta dan Realitas Sosial Jurnalisme Netizen
Netizen (Foto: tagar.id)

Netizen, Jurnalisme Netizen, dan Keterbukaan Informasi

Sejauh yang bisa dilacak, kata Netizen atau Net (citizens of the Net) dinisbatkan kepada Michael F. Hauben, seorang peneliti yang menggunakan istilah tersebut pertama kali tahun 1992 dalam artikel berjudul “The Net and Netizens: The Impact the Net Has on People's Lives”. Artikel ini kemudian dipublikasikan oleh IEEE Computer Society Press tahun 1997. Kehadiran Net atau Netizen sendiri, sejatinya sudah mulai sejak tahun 1960an, menghuni ruang-ruang maya jejaring komputer seperti Internet, BITNET, FIDOnet, atau jejaring fisikal lain, seperti Usenet, VMSnet,dll.

Menurut Hauben (1995), Netizen atau wargaNet adalah seseorang (masyarakat awam, guru, peneliti, jurnalis, dll.) yang berpartisipasi aktif dalam jejaring komunitas maya atau Internet secara global. Mereka adalah sebuah institusi sosial baru, penghuni bersama ruang elektonik, yang akan terus berkembang sejalan dengan perkembangan Internet itu sendiri. Netizen adalah sebuah kekuatan sosial baru yang akan terus berkembang (the developing forces), yang terbentuk dari para pekerja keras atas dasar dedikasi, dan sukarela, di bawah kontrol dan kuasa masyarakat klas-bawah untuk memberikan sesuatu yang berharga bagi dunia melalui posting-posting yang diunggahnya.

Media Sosial (medsos) adalah istilah generik dari semua platform yang digunakan oleh Netizen untuk saling memproduksi dan berbagi informasi di ruang maya. Diantaranya adalah  Wikipedia dan berbagai projek sisternya, WebMK, WebBlog, Facebook, Instagram, Twitter, LinkedIn, MySpace, Snapchat, YouTube, WeChat, Tumblr, Quora, dll. Diantara platform medsos tersebut, Facebook, YouTube, WhatsApp, Facebook Messenger, dan Instagram menempati lima terbesar dihitung dari jumlah penggunannya (Wikipedia, 2021).

Evolusi medsos dari generasi ke generasi selanjutnya telah membawa perubahan yang sangat drastis, tidak hanya dari sisi jumlah pengguna atau partisipannya. Lebih dari itu, adalah adanya perubahan dalam hal subtansi atau konten informasi yang mereka posting. Di era informasi dan masyarakat terbuka saat ini, medsos mendapatkan momentum yang sangat tepat untuk bertransformasi menjadi sebuah platform "jurnalisme netizen" atau "jurnalisme warga/publik" (citizen journalism).

Citizen journalism (juga disebut sebagai collaborative media, participatory journalism, democratic journalism, guerrilla journalism or street journalism) secara konseptual berbeda dengan jurnalisme arus-utama (media massa). Di satu sisi, jurnalisme arus-utama (media massa) dikembangkan dari konsep “journalism is for citizens”, dimana warga hanya menjadi konsumen jurnalisme yang diproduksi, direview, dan didistribusikan oleh jurnalis profesional, dewan editor, dan penerbit. Di sisi lain, jurnalisme netizen dikembangkan dari konsep “journalism as citizenship”, dimana seluruh proses jurnalisme (pengumpulan, analisis, produksi, dan penyampaian informasi dan berita) dilakukan sendiri oleh netizen setiap saat dengan melibatkan masyarakat atas dasar sukarela dan partisipatif.

Netizen juga bisa mengaktualisasikan sendiri identitas, peran, dan aktivitasnya sendiri (a form of citizenship for actualizing citizens) (Campbell, 2015). Jurnalisme netizen juga menggunakan sumber-sumber alternatif di luar jurnalisme arus-utama. Sekaligus merupakan respon terhadap jurnalisme arus-utama (Radsch, 2012, Moeller, 2009).

Kehadiran jurnalisme netizen telah mendorong partisipasi warga negara tidak hanya menjadi penyampai informs atau berita belaka. Ia memungkinkan warga bisa menjadi sejarawan pemula yang dapat menciptakan momen penting, dengan perspektif baru yang kerap tidak dilaporkan oleh media-media massa arus-utama. Berbagai kasus seperti demonstrasi G20 di London pada tahun 2009; “Revolusi Hijau Iran” (The Iranian Green Movement) di Iran pasca pemilihan presiden tahun 2009; kematian Mohamed Bouazizi di Sidi Bouzid Tunisia tahun 2010; demonstrasi pro-demokrasi di Hongkong tahun 2019 yang terekspose melalui jejaring jurnalisme netizen merupakan fakta bahwa kehadirannya telah menandai era baru partisipasi publik dalam berbaga lini aktivitas, politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dll. dengan segala pro dan kontra yang mengiringi.

Jurnalisme netizen, kata Moeller (2009), merupakan “modal sosial” (social capital) yang menciptakan nilai bagi orang-orang yang terhubung, dan juga para pengamat, sebuah nilai yang menurut banyak orang tidak ada dan tidak dimiliki di media-media arus utama yang dikendalikan oleh elit politik atau korporasi. Ia telah menjadi kekuatan antitesis terhadap jurnalisme media massa arus-utama (cetak dan elektronik), yang dianggap telah menjelma menjadi media politik partisan (Ritonga & Syahputra, 2019); dan mengkooptasi publik untuk menyatakan pendapat secara terbuka, bebas, dan otonom (Radsch, 2012). Bisa jadi, karena alasan ini pula sejumlah media massa mainstream menginisiasi terbitnya jurnalisme netizen seperti kompasiana.com oleh Kompas.com, pasangmata.detik.com oleh detik.com, Indonesiana.id oleh Tempo, dan rubik.okezone.com oleh Okezone. Selain jurnalisme netizen yang diterbitkan oleh sekelompok jurnalis mereka secara independent seperti pepnews.com.

Jurnalisme netizen merupakan sebuah kekuatan arus-bawah (grass root) yang hadir dalam semangat kebersamaan diprediksi akan menciptakan “a new more democratic world”, meningkatkan kualitas hidup masyarakat melalui penciptaan peluang-peluang hidup baru. Kegiatan saling berbagi informasi antarnetizen juga menjadikan informasi, dan produk intelektual lainnya menjadi tersedia secara bebas dan terbuka bagi siapapun, dan menjadi milik kolektif (Hauben, 1995). 
 

Jurnalisme Netizen dan Big Data

Sebagai sebuah jaringan informasi berskala global, jurnalisme netizen dalam taksonomi Kitchin (2015), merupakan salah satu dari tujuh domain yang menyediakan “Maha Data” (Big Data). Istilah Big Data digunakan pertama kali tahun 1990an oleh John Mashey, ilmuwan kepala pada komunitas Silicon Graphics (SGI) (Diebold, 2012), dan mendapatkan momentum di awal 2000-an ketika analis industri Douglas Laney mengartikulasikannya dalam konsep “tiga V” (Volume, Velocity, dan Varietas) (Laney, 2013). Konsep ini kemudian berkembang menjadi “lima V” (dengan tambahan aspek Veracity, dan Value). Panimalar, Shree, dan Katherine (2017) mengartikulasikannya lebih lanjut menjadi “17 V”. Bahkan, Tom Shafer (2017) bekerja sama dengan Elder Research mengartikulasikannya menjadi “42 V”.   

Sejalan dengan semakin massifnya penggunaan Internet dan pengembangan ekosistem digital berbasis teknologi jejaring, keberadaan jurnalisme netizen sebagai salah satu penyedia Big Data menjadi sangat penting. Jurnalisme netizen mampu menyediakan data berupa informasi, berita, dan/atau opini publik yang dapat memberikan pemahaman mendalam mengenai kecenderungan sosial, politik, dan ekonomi serta perilaku individual dan kelompok, yang sangat bernilai sebagai objek penelitian dan sumber untuk pembuatan keputusan strategis yang lebih baik.

Kajian ilmiah menggunakan big data yang tersedia di ruang-ruang jurnalisme netizen dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dll. sudah sangat banyak dilakukan. Diantaranya adalah studi tentang aktivisme cyber di Mesir melalui jejaring media sosial (blog, Facebook, Twitter, dan YouTube) yang mampu menciptakan gerakan sosial baru yang mampu menggulingkan kekuasaan Presiden (Radsch, 2012); dan studi tentang peran partisipasi publik melalui jurnalisme netizen Twitter yang mampu mengubah keputusan pemerintah terhadap RUU Pilkada (Farisi, 2019).  Bahkan, American Psychological Association Style (APA Style) Edisi ke-7 telah memasukkan berbagai platform jurnalisme netizen seperti YouTube, podcast episodes, Twitter, Facebook, Instagram, Reddit, webpages on news websites, dll. sebagai referensi yang bisa disitasi di dalam karya tulis ilmiah (APA Style).

Studi Malik (2015) juga mengungkap dampak positif jurnalisme netizen (fb) terhadap munculnya gerakan kepedulian sosial baru untuk membantu masyarakat terdampak bencana alam, dan kemiskinan. Hal sama juga diungkap oleh Desta, FitzGibbon, dan Byrne (2012) bagaimana jurnalisme netizen (Voice of Kibera, VOK) memainkan peran penting dan positif dalam program perbaikan daerah kumuh di Kibera, Nairobi, Kenya; atau kontribusi jurnalisme netizen dalam membangun citra positif turisme Semarang oleh Triyono (2019), atau bagaimana dampak jurnalisme netizen terhadap terciptanya wacana dan ideologi yang mengamplifikasi dominasi laki-laki dan ketidaksetaraan gender dalam sejumlah kasus kekerasan rumah tangga seperti studi Patricia (2013).

Review Gilardi (2016) atas sejumlah studi bahkan mengungkap fakta bahwa jurnalisme netizen telah berdampak terhadap perubahan cara kerja demokrasi seperti bagaimana mobilisasi politik dan kampanye, polarisasi politik, perangkat pemerintahan, dan kelangsungan hidup rezim berkuasa. Selain itu, jurnalisme netizen mengubah cara-cara ilmu sosial dilakukan, diajarkan, dan disebarluaskan. Jurnalisme netizen juga menyediakan Big Data bagi penelitian ilmu-ilmu sosial; mendorong transparansi penelitian, kolaborasi, dan interdisipliner; serta mengubah cara temuan penelitian disebarluaskan di luar komunitas akademisi.

Studi jurnalisme netizen sebagaimana ditunjukkan di atas, bisa dilihat dari dua aspek, institusional dan substantial. Aspek institusional, dikaji dari dampak atau pengaruh jurnalisme netizen sebagai platform bagi Netizen untuk saling memproduksi dan berbagi informasi di ruang maya. Aspek substantial, dikaji dari konten yang diposting dan dibagi di ruang-ruang jurnalisme netizen. Kedua aspek jurnalisme netizen tersebut saling berkelindan dan terintegrasi.

Aspek Institusional: Jurnalisme Netizen sebagai Fakta Sosial

Aspek institusional, dari hasil kajian dampak atau pengaruh jurnalisme netizen yang ditunjukkan oleh sejumlah studi di atas menunjukkan bahwa kehadirannya telah menjadi sebuah “fakta sosial” (social fact) dalam konsep sosiologi Durkheim. Fakta sosial, kata Durkheim adalah segala hal yang ada dan objektif. “Social facts as things…as realities and are to be studied empirically, not philosophically" (Ritzer, 2011: 78). Sebagai “things”, fakta sosial merupakan sebuah realitas sosial objektif dalam kehidupan masyarakat. Ia memiliki karakteristik yang tidak bergantung pada apparatus konseptualnya, melainkan produk dari relasi-relasi sosial manusia dalam kehidupan masyarakat. Karenanya, fakta sosial hanya bisa dipahami secara empiris melalui kajian historis dan sosial atas praktik dan dampaknya di dalam kehidupan sosial, tidak hanya berdasarkan pemikiran apriori atau intuisi, juga tidak hanya melalui kajian filosofis (Durkheim, 1982; Ritzer, 2011).

Dalam pengertian seperti ini, jurnalisme netizen sebagai fakta sosial secara institusional bisa mengatur tindakan netizen sebagai individu, dan memiliki kekuatan memaksa (coercive forces) atas semua perilaku dan tindakan mereka atas kasus atau topik yang menjadi bahan perbincangan. Hal ini terjadi ketika para netizen secara kolektif membangun “konsensus bersama” atas pandangan, pendapat, persepsi atau opini atas satu kasus tertentu menjadi sebuah pendapat publik (public opinion).

Perubahan dari pendapat personal menjadi pendapat bersama (publik) yang terbentuk melalui relasi dan interaksi antarnetizen inilah yang memungkinkannya mampu membangun kesadaran kolektif, dan memiliki kekuatan kolektif untuk “memaksa” individu netizen untuk berperilaku dan bertindak, seperti halnya paradigma, kebudayaan, norma, nilai, agama, ideologi, dll. yang memiliki daya regulatif dan koersif bagi individu di dalamnya. Jurnalisme netizen kata Hauben (1995) merupakan “a grand intellectual and social commune in the spirit of the collective nature present at the origins of human society” (p.2).

Penting dikemukakan, bahwa jurnalisme netizen sebagai fakta sosial tidak selalu teramati secara inderawi (may not seem to be observable), karena fakta sosial bisa berwujud material dan/atau non-material. Jurnalisme netizen termasuk fakta sosial material (material social facts), yakni sebagai pranata sosial yang menjadi kanal komunikasi dan interaksi antarnetizen secara virtual. Tetapi kesadaran kolektif netizen yang terbentuk dari hasil komunikasi dan interaksi di platform jurnalisme netizan bersifat non-material (non-material social facts). Untuk mengkajinya, bisa dilakukan dengan mengkaji pendapat publik (public opinion) yang diposting dan viral atau trending sebagai perwujudan empiriknya.

Aspek Substansial: Jurnalisme Netizen sebagai Realitas Sosial

Aspek substantial jurnalisme netizen adalah konten yang diposting dan dibagi netizen sebagai hasil konstruksi sosial mereka (personal atau kolektif) atas fenomena-fenomena yang dikenali dan pahami (politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, dll.). Setiap konten yang dikonstruksi dan diproduksi oleh netizen melalui aktivitas komunikasi dan interaksinya dengan netizen-netizen lain, berdasarkan teori sosiologi Berger dan Luckmann (1966) merupakan “realitas yang dikonstruksi secara sosial” (reality is socially constructed) oleh netizen sebagai hasil dari dua proses yang terjadi secara bersamaan, yaitu, pertama, operasi dan proses skematik internal netizen dan kedua, komunikasi dan interaksi timbal-balik dengan netizen lain.

Sebagai realitas sosial, konten jurnalisme netizen memiliki dua karakteristik yang saling berkelindan, yaitu realitas sosial objektif dan realitas sosial subjektif. Pertama, realitas sosial objektif konten jurnalisme netizen merujuk pada objek (fenomena, peristiwa, kejadian atau masalah) faktual yang menjadi topik perbincangan netizen. Kedua, realitas sosial subjektif konten jurnalisme netizen merujuk pada pernyataan netizen sebagai konstruksi/rekonstruksi terkait dengan objek.

Apa yang dimaksud dengan “realitas” dalam tulisan ini menggunakan definisi Berger dan Luckmann (1966), “reality' as a quality appertaining to phenomena that we recognize as having a being independent of our own volition (we cannot 'wish them away')” (p. 13). Bahwa realitas adalah kualitas yang berkaitan dengan fenomena yang kita kenali sebagai pribadi yang independen. Dengan pengertian seperti itu, konstruksi konten jurnalisme netizen tersebut lebih merupakan realitas fenomenologis daripada realitas positivis; dan makna “empiris” konten jurnalisme netizen hanya bisa dipahami dari dalam proses dan konteks sosial dari mana konten jurnalisme netizen itu dihasilkan, bukan dari luar konteks pembentukannya sebagaimana dipahami oleh tradisi positivisme.

Dalam terminasi David Weinberger (Maher, 2005), realitas epistemik yang dikonstruksi oleh media massa arus-utama dan jurnalisme netizen memiliki dua model yang berbeda, dan tidak bisa dibandingkan (incommensurable). Pertama, model realitas fenomenologis, yaitu realitas epistemik yang dikonstruksi oleh jurnalisme netizen dari jejaring subjektivitas, berbasis pada otoritas de facto netizen (de facto authority), memuat pesan-pesan ajek atau persisten yang menyuarakan aktivisme, dan menawarkan kebenaran kontestatif. Kedua, model realitas positivistik dan demonstratif Aristotelian, yaitu realitas epistemik yang dikonstruksi oleh media mainstream (media-massa) dengan kontrol yang sangat ketat dan hierarkhis dari pemilik media atau dewan editor (de jure authority), memuat pesan-pesan temporal yang merefleksikan dan mengkristalisasi kebenaran.

Dalam kaitan ini, sangat baik mencermati empat pemaknaan “pengetahuan” (connaissance, savoir) oleh Foucault (1972). Pertama, pengetahuan adalah apa-apa yang bisa diucapkan seseorang dalam suatu praktek diskursif dan tidak bisa dispesifikasikan oleh kenyataan tersebut. Kedua, pengetahuan adalah ruang dimana subjek bisa menempati satu posisi dan berbicara tentang objek-objek yang dikenalinya dalam diskursus. Ketiga, pengetahuan adalah wilayah koordinasi dan subordinasi pernyataan-pernyataan di mana konsep muncul, dan didefinisikan, diterapkan, dan ditransformasikan. Keempat, pengetahuan ditentukan oleh kemunginan penggunaan dan penyesuaian yang diberikan oleh diskursus (p. 182-183).

Dari pemaknaan Foucault tersebut, di atas, hal yang penting terkait dengan pengetahuan (realitas) yang dikonstruksi netizen di dalam jurnalisme netizen adalah bahwa setiap pengetahuan (realitas) niscaya terbentuk dalam praktik diskursif partikular, dan praktik diskursif apapun bisa didefinisikan oleh pengetahuan yang dibentuknya. Dengan kata lain, antara “makna” (pengetahuan atau realitas yang dikonstruksi oleh netizen) dan “konteks” (jurnalisme netizen sebagai ruang praktik diskursif partikular), memiliki kaitan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lain, dan bagaimana makna, pengetahuan atau realitas itu dipahami. Konteks yang berbeda akan menghasilkan struktur makna, pengetahuan atau realitas yang berbeda pula.
 
Wasana Kata

Terkait dengan fenomena jurnalisme netizen di atas, penting untuk dipahami bahwa sifat “empirik” dari pendapat publik sebagai “konsensus bersama” diantara para netizen tidak bisa dipaksakan dan tidak bisa dibandingkan dengan sifat empirik menggunakan pandangan positivime Comte (1896). Sistem sosial yang membangun jurnalisme netizen berbeda dalam watak atau fitrahnya dengan sistem alam. Masing-masing memiliki karakteristik yang unik yang tidak bisa dibandingkan antara yang satu dengan yang lain.

Sistem sosial bersifat “sui generis”, “unique”, yang terbentuk dari paduan antara sistem representasi dan kondisi mental (Durkheim, 1982; Ritzer, 2011); paduan antara faktisitas objektif dan makna subjektif (Berger dan Luckmann (1966); atau paduan antara pengetahuan dan konteks (Foucault, 1972). Sebuah prinsip yang oleh Kuhn disebut sebagai “ketidaksebandingan paradigma” (incommensurability of the normal-scientific traditions) (Kuhn, 1970: 103).

Seperti juga ditegaskan oleh Capra (2000), bahwa visi atas realitas perlu didasarkan pada kesadaran akan saling-hubungan dan saling-ketergantungan esensial dari semua fenomena—fisik, biologis, psikologis, sosial, dan kultural. Karena itu, tidak ada satupun teori dan model yang lebih fundamental/penting daripada teori dan model lainnya, dan semuanya akan sama-sama bersifat konsisten. Teori-teori dan model-model tersebut akan melampaui batas-batas perbedaan disiplin konvensional. Bahasa apapun yang digunakan akan cocok untuk menggambarkan berbagai aspek susunan realitas yang saling berhubungan dan bertingkat-tingkat.

Dengan prinsip ini, maka untuk mengerti secara memadai jurnalisme netizen sebagai fakta dan realitas sosial sebagai “sui generis” atau “unique” harus dikaji dari dalam konteks sosial dimana fakta dan realitas sosial tersebut dikontruksi.

Kita tidak bisa menggunakan teori, model, dan/atau instrumen keilmuan “dari luar” yang lazim digunakan dalam penelitian positivistik untuk menemukan dan memahami makna yang ada.

Comte mengakui, bahwa ilmu alam dan ilmu sosial memiliki ketentuan-ketentuan dan aturan-aturan yang berlaku untuk masing-masing. Tetapi, apa yang dikonseptualisasikan Comte tentang sosiologi (plato.stanford.edu/) berbeda dari konseptualisasi saat ini oleh para sosiolog (Ritzer, 2011).
Semoga menginspirasi.
 

Tangsel, 4 Januari 2022

_________________________

Penulis adalah Dosen prodi Pendidikan IPS FKIP, dan Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Terbuka (LPPM-UT).