Buzzer, Influencer, Relawan, dan Demonstran

Para partisan, relawan, demonstran, influencer dan buzzer adalah produk demokrasi. Mereka pendukung sekaligus menjadi pendobrak yang mengancam demokrasi.

Jumat, 19 Maret 2021 | 09:19 WIB
0
334
Buzzer, Influencer, Relawan, dan Demonstran
Ilustrasi perangkat buzzer (Foto: Pranata printing.com)

Tampaknya, hingga saat ini debat (mendekati pak kusir) tentang “buzzer” dan “influencer” sebagai salah satu produk paling menonjol di era keterbukaan informasi digital dan Internet of Thing (IoT) masih akan terus berlanjut, dengan segala pro-kontra yang mengiringi perjalannya.

Dalam ensiklopedia mbah Wiki, fenomena buzzer pertama kali muncul tahun 1973 di Rusia. Saat itu, istilah buzzer digunakan di dunia komunikasi radio yang menyiarkan suara-suara dengung yang berulang-ulang, pesan-pesan suara yang sesekali terdengar dan adanya galat pada gawai pembangkit listrik (generator). Atau yang kemudian dikenal sebagai kode panggil “UVB-76, UZB-76, MDZhB, ZhUOZ”.

Di era Internet dan media sosial (medsos), istilah buzzer pun hanya digunakan oleh korporat untuk keperluan promosi produk. Istilah buzzer meluas penggunaannya tatkala mereka terlibat dalam peristiwa sosial-politik yang melibatkan para politisi, partai politik, dan organisasi massa (independen atau berafiliasi).

Dalam penelitian oleh tim peneliti Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) tahun 2017, dan Universitas Oxford berjudul 'The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation', melaporkan bahwa Indonesia menjadi satu dari 70 negara yang menggunakan “pasukan siber” (buzzer) untuk sejumlah kepentingan sepanjang 2019. Disebutkan juga, bahwa sejumlah pihak yang menggunakan buzzer adalah politisi, partai politik, organisasi massa, dan kalangan swasta.

Lebih lanjut dinyatakan, bahwa di Indonesia penggunaan buzzer dimaksudkan untuk menyebarkan propaganda pro-pemerintah atau pro-partai, menyerang oposisi, hingga membentuk polarisasi.

Mereka digerakkan oleh bot dan manusia secara langsung dengan memanfaatkan beragam media sosial (Twitter, WahatsApp, Instagram, dan Facebook), dan bukan oleh robot atau akun yang ‘diretas’ seperti yang terjadi di Brazil, Jerman, Korea Utara, hingga Rusia. Mereka juga menggunakan disinformasi dan memanipulasi media untuk menyesatkan pihak yang menjadi target. Selain itu, buzzer juga dikerahkan untuk memperkuat konten yang ada di media sosial.

Pertanyaannya, apakah semua buzzer seperti itu. Mereka dikoordinasi, diorganisasi, dan dibayar oleh politisi, partai politik, kalangan swasta atau bahkan oleh pemerintah..??? ataukah mereka mengkoordinasi dan mengorganisasi diri secara mandiri atau independen, dan juga tanpa dibayar. Misalnya oleh para relawan atau pendukung politisi, partai politik, swasta atau pemerintah. Apakah buzzer, influencer ini merupakan fenomena dan pemain baru dalam pergulatan sosial dan politik tanah air...?

Jawabnya "tidak semua". Hasil studi CIPG mengungkap bahwa ada dua motif utama yang menggerakkan seseorang atau akun tertentu menjadi buzzer (dan juga relawan dan demonstran). Pertama, motif komersial yang ditandai dengan aliran dana. Kedua, motif sukarela yang didorong oleh ideologi atau rasa kepuasan tertentu terhadap suatu produk dan jasa.

Buzzer dan influencer sejatinya juga merupakan fenomena dan terdiri dari aktor-aktor sosial-politik lama yang bermetamorfosis, dan juga aktor-aktor baru. Mereka tidak lain adalah para partisan, relawan dan demonstran dalam kegiatan sosial-politik lama di ruang real-nyata, yang kemudian 'hijrah' di ruang virtual-maya menjadi influencer dan buzzer. Dengan kata lain, para partisan, relawan, demonstran, influencer dan buzzer adalah produk demokrasi. Mereka merupakan pendukung, dan sekaligus juga bisa menjadi pendobrak yang mengancam demokrasi.

Para partisan, relawan dan demonstran (kelompok pertama) adalah para 'citizen', warga masyarakat sipil (civil society), produk demokrasi jalanan / demokrasi ekstraparlemen. Sedangkan buzzer dan influencer (kelompok kedua) adalah para 'netizen', warga masyarakat berjejaring (networked society), produk demokrasi digital. Dan karena itu, sejatinya, kedua kelompok tersebut memiliki sifat dan karakter yang tidak jauh berbeda atau memiliki persamaan.

Kedua kelompok tersebut ada yang muncul dan dibentuk atas dasar emosi, keinginan, ide atau issu yg sama. Kehadiran mereka di medan real-nyata atau virtual-maya murni untuk memperjuangkan demokrasi, kebenaran, keadilan dll. Tetapi, dari kedua kelompok tersebut ada pula yang 'di-undang', 'di-hadirkan' dan/atau 'di-bayar' serta tidak saling mengenal antara satu dengan yang lain. Mereka juga sama-sama bekerja secara sistematis dalam tim atau kelompok yang diorganisasi oleh politisi, partai politik, dan/atau kalangan swasta.

Kedua kelompok tersebut juga memiliki sifat korosif dan destruktifnya kurang lebih sama. Akan tetapi, melihat skala dan tingkatannya, aksi para partisan, relawan dan demonstran ini lebih sistematif, terstruktur, massif, dan brutal daripada yang dilakukan para influenzer dan buzzer. Kelompok pertama destruktif, karena menyakiti seseorang atau kelompok yang berseberangan, dan merusak fasilitas umum secara nyata. Kelompok kedua destruktif, karena juga menyakiti seseorang atau kelompok yang berseberangan. Bahkan juga menyasar karakter seseorang (personal character assasination).

Di satu sisi, kedua kelompok sama-sama memiliki nilai dan karakter positif, yaitu menyuarakan pendapat, isu penting dan berusaha menggiring opini publik untuk memperjuangkan keadilan, kebenaran dengan cara-cara yang bertanggung jawab dan beradab. Kedua kelompok juga sama-sama muncul dan bangkit dalam sejarah perjuangan sosial-politik masyarakat (civil society atau networded society).

Di sisi lain, kedua kelompok juga sama-sama memiliki nilai dan karakter negatif ketika bersifat merusak, provokatif, hasut, dengki, kebencian, dll. yang merusak tatanan sosial-politik masyarakat demokrasi.

Baca Juga: Dewan Pers dan Ketakutan terhadap Buzzer

Perbedaannya, kelompok pertama bersifat kolosal, fisikal, komunal, dan memproduksi pesan yang disebarkan dari mulut ke mulut (lisan) dan tertulis melalui lisan, sms, medsos, selebaran, dll. Target mereka adalah kelompok atau institusi yang dianggap dan diyakini tidak demokratis, bertindak tidak adil, dll.

Sedangkan kelompok kedua lebih bersifat personal, dan memproduksi pesan tertulis yang disebarkan melalui medsos secara massif melalui akun-akun asli, anonim dan/atau bot). Target mereka bukan kelompok atau institusi, melainkan lebih ke personal, pribadi yang pendapatnya dianggap berseberangan, tidak disetujui/disukai, dan karenanya cenderung pada pembunuhan karakter (character assasination). Sebuah tindakan yang juga pernah dilakukan oleh media massa (koran dan tabloid) beberapa waktu lalu terhadap seseorang.

Tetapi yang pasti, kedua kelompok itu adalah buah simalakama demokrasi. Karenanya, kitapun harus jujur, fair, dan terbuka menyikapi kedua kelompok tersebut dengan segala sisi positif dan negatifnya.

Justru di sinilah sulitnya berdemokrasi, karena demokrasi pada akhirnya, tidak samata-mata berada di ranah  “reason” (kritis, reflektif, rasional, logis, dll) tetapi juga (bahkan cenderung) di ranah “emotion” (benci, dengki, nyinyir, dll.).

Salam Demokrasi.

***