Wisuda Nurul Huda Susanti

Namun akankah Nurul, Aisyah, Gina, Mella serta jutaan anak-anak lain di negeri ini akan mendapatkan senjata itu untuk mengubah "dunia"-nya?

Minggu, 16 Februari 2020 | 05:49 WIB
0
186
Wisuda Nurul Huda Susanti
Saya bersama Nurul Huda (Foto: Dok.pribadi)

Tak terasa, hari ini Nurul diwisuda sebagai Sarjana Hukum di Unisba, Bandung. Ceritera perjalanan Nurul dan ketiga temannya, Mela, Aisyah dan Gina, cukup penjang. Mereka adalah empat anak perempuan desa yang beruntung dapat melanjutkan sekolah hingga perguruan tinggi. Umumnya, teman-teman di desanya, sekolah terhenti hanya sampai SD atau SMP. Sungguh anugrah Tuhan mereka berempat dapat melanjutkan sekolah hingga perguruan tinggi. Semoga Mela, Aisyah dan Gina segera menyusul.

Terimakasih pada banyak pihak yang telah ikut mendukung pendidikan mereka hingga sampai tahap ini. Semoga ini bisa menjadi bakti sekali lagi bahwa siapapun, bila diberi kesempatan, dapat tumbuh berkembang dan menjadi orang terdidik. Sungguh pendidikan adalah investasi terbaik untuk melakukan perubahan.

Saya kutip kembali tulisan saya di tahun 2015 yang menceriterakan drama Nurul saat pertama kali mendapat bantuan hingga dapat kuliah. Setelah itu banyak uluran tangan dari banyak pihak yang ikut membantu termasuk bantuan teman-teman Diaspora Indonesia yang saweran dan tersalurkan bantuannya sejak Januari 2017. Dukungan Bu Vera Carolina juga sangat luar biasa yg secara khusus ikut menyumbang biaya hidup bulanan Nurul selama kuliah sejak 23 Mei 2018. Tentu banyak lagi dukungan dari pihak lain, termasuk dukungan perhatian dan tenaga.

Tangis di Hadapan Menteri

Ini masih terkait ceritera kunjungan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri ke Desa Cisarua, Kecamatan Tegalwaru, Purwakarta di hari Senin 21 Desember 2015 lalu. Di sela sela acara menyaksikan Gerakan Dapur Mandiri yang melibatkan 560 ibu ibu desa menanam sayur mayur di pekarangan rumah, Menteri Hanief saya pertemukan dengan Nurul Huda Susanti (16 tahun), salah satu contoh anak di desa ini yang tumbuh tanpa ibu. Sejak kecil, Nurul harus hidup dengan kakek dan neneknya yang telah renta karena ibunya harus ke Saudi Arabia menjadi TKI. Kini telah 9 tahun, Nurul tak melihat wajah ibunya. Sedang ayahnya telah meninggalkan dirinya entah ke mana.

Saya sendiri mengenal anak ini tiga tahun lalu saat ia menangis bingung menjelang tamat SMPN 3 Tegalwaru. Banyak anak desa seperti Nurul ini, di hari hari menjelang tamat sekolah justru menjadi hari yang membingungkan karena ia tak tahu harus berbuat apa. Kakek nenek Nurul yang mengasuhnya menyatakan tak mampu lagi membiayai sekolah selanjutnya yang jaraknya cukup jauh dari desanya. Padahal sebagai salah satu siswa terbaik di sekolahnya, Nurul masih sangat ingin melanjutkan sekolah.

"Jadi sudah berapa tahun kamu ditinggal ibu bekerja di Saudi Arabia?" Menteri Hanif bertanya singkat.

"Sembilan tahun." Jawab Nurul.

"Jadi kamu tak pernah bertemu selama 9 tahun dengan Ibu?"

"Belum.." Jawab Nurul pelan hampir tak terdengar.

" Tapi apakah Ibu masih suka berhubungan dengan kamu?" Tanya Pak Menteri lagi.

"Masih Pak. Tapi sampai saat ini belum juga pulang".

"Terus..Bapakmu di mana?"

Mendapat pertanyaan ini, Nurul tampak tergagap. Kali ini, air matanya tak lagi dapat terbendung.

"Sejak Ibu pergi ke Saudi,... Bapak juga pergi. Tapi...entah ke mana.....dan tak pernah mengabarkan."

Melihat Nurul tiba tiba menangis, seluruh jajaran Kemenaker yang saat itu ikut mendengarkan percakapan ini terhening. Menteri Hanif juga terdiam seperti tak tahu harus berbuat apa.

"Saya....saya.. baru mendapat berita ...bahwa Bapak telah meninggal. Tapi ...saya tak tahu di mana dia." Nurul terbata terisak dan ia pun tak lagi bisa meneruskan ceritera.

Saya coba mengalihkan pembicaraan.

"Doakan saja Bapak dan Ibumu ya Nurul. Yang penting sekarang kamu bisa menyelesaikan sekolahmu."

Ya. Nurul saat ini memang berada pada tahun terakhir di SMK. Bagaimana ia dapat melanjutkan ke SMK? Begini ceriteranya. Di tahun 2013, menjelang Nurul tamat SMP, rombongan siswa SMP Internasional Mentari Jakarta datang ke desa ini untuk bakti sosial. Beberapa siswa SMPN 3 Tegalwaru ditugaskan guru untuk mendampingi para siswa dari Jakarta ini. Selama beberapa hari mereka bergaul dan bertukar fikiran. Dua kelompok siswa sebaya, yang satu dari kota, dengan latar belakang keluarga kaya, dan yang satu lagi dari desa dari keluarga dengan ekonomi seadanya. Mereka bertukar fikiran menyambung rasa saling berempati.

Apa yang terjadi? Dari interaksi ini, banyak siswa SMP Mentari yang merasa iba. Rupanya ada salah satu siswa SMP Mentari Jakarta yang menceriterakan nasib teman temannya di desa ini kepada orang tuanya. Ada orang tua yang simpati setelah mendengar ceritera anaknya. Akhirnya ia bersedia membantu pembiayaan awal sekolah Nurul beserta tiga teman perempuan lainnya. Dengan sedikit nekat, saya mendorong agar mereka mencoba masuk sekolah yang mereka suka.

Akhirnya, atas bantuan para guru, Nurul bersama dua siswi lain, yaitu Mela Siti Rahayu dan Aisyah dapat bersekolah di SMK Farmasi Purwakarta dan tinggal di asrama. Seorang siswi lain, bernama Gina Fatwati juga melanjutkan sekolah di SMAN 1 Tegalwaru. Atas dukungan beasiswa BNI Syariah, keempat anak ini kini tengah menyelesaikan tahun terakhir di sekolahnya.

"Jadi setelah nanti selesai sekolah ini, kalian ingin melanjutkan sekolah ke mana?" Saya memancing pertanyaan agar Menteri Hanif Dhakiri dapat mendengarkan cita cita mereka.

Sementara Nurul masih terisak, Mela yang sebelumnya lebih banyak mendengar menjawab:

"Saya sih inginnya kuliah di Fakultas Kedokteran..ingin sekali jadi dokter. Tapi...."

Ya..tapi...? Tapi bagaimana Mela dan ketiga anak ini dapat melanjutkan? Bila Nurul anak TKI, ayah Mela hanyalah pekerja perkebunan karet yang gajinya tak cukup untuk hidup sebulan. Demikian juga Aisyah dan Gina berasal dari keluarga sangat sederhana.

Saya mencoba menatap wajah Menteri Hanief Dhakiri mencoba menggali apa yang difikirkan dibalik wajah berkacamata itu. Saat itu saya hanya terbayang berapa trilyun rupiah devisa negara yang telah dihasilkan oleh para TKI di luar negeri. Mereka secara kolektif dengan pengorbanan luar biasa telah meninggalkan rumah dan keluarga bertahun tahun, berusaha merubah nasib dengan mengirimkan sebagian upah mereka ke tanah air dan menjaadi bagian dari devisa negara. Tapi bisakah sebagian uang devisa itu sedikit saja diteteskan pada anak anak seperti ini?

Fikiran saya terus melayang entah ke mana sore itu saat rombongan Menteri Hanif Dhakiri meninggalkan Desa Cisarua. Setelah desa kembali menjadi sunyi, Nurul dan Mela pun berpamitan sambil mencium tangan saya yang hingga kini masih terasa hangat. Sungguh sebuah ciuman di tangan yang bagi saya bermakna pengharapan yang begitu mendalam.

"Tapi...dapatkah anak anak ini melanjutkan sekolah tahun depan? Entahlah." Saya hanya dapat menggerakkan bibir begitu pelan. Dan hanya berharap...sungguh berharap!

Upaya Memutus Keterbelakangan

Suatu pagi di bulan Juni 2016, empat anak remaja putri datang menemui saya. Mereka bernama Nurul, Mella, Aisyah dan Gina. Hari itu mereka dengan gembira menceriterakan bahwa mereka telah berhasil tamat menyelesaikan SMK/SMA mereka. Alhamduillah.

Tak terasa, tiga tahun telah berlalu. Nurul, Mella, dan Aisyah terlihat lega dapat menyelesaikan SMK Farmasi Purwakarta yang ia harus lalui dengan suka duka. Selama tiga tahun mereka harus meninggalkan kampung halaman dan tinggal bersama dalam satu kamar asrama yang sempit. Gina yang memutuskan untuk bersekolah di SMA 1 Tegalwaru, juga wajahnya berseri. Walaupun ia bersekolah hanya beberapa kilometer dari rumahnya, namun tetap memerlukan biaya transportasi yang tak kecil. Maklum di kampungnya tak ada transportasi umum rutin. Nenek dan Kakeknya yang mengasuhnya juga merasa tak mampu membiayai buku dan peralatan sekolah lainnya. Di desa tempat mereka berasal, siswa putri memang terbilang jarang yang melanjutkan sekolah setelah tamat SMP.

Sambil saya ikut merasakan rasa gembira mereka, saya pun mencoba mengingat peristiwa tiga tahun lalu, saat pertama kali saya bertemu mereka. Saat itu, wajah keempat anak-anak ini terlihat begitu muda, bahkan Aisyah yang tubuhnya mungil terlihat seperti anak anak. Mereka duduk di kursi yang sama dengan kursi yang ia duduki hari ini. Namun berbeda dengan hari ini, saat itu mereka duduk dengan wajah sendu. Hari perayaaan sekolah yang harusnya disambut bahagia karena mereka baru lulus SMP, malah disambut dengan kesedihan.

Rupanya keempat anak ini sangat berhasrat ingin melanjutkan sekolah tetapi mereka merasa tak memiliki harapan mewujudkan impiannya. Karena itu mereka bersedih justru di hari perpisahan sekolah. Mella, yang kedua orang-tuanya hanya bekerja sebagai buruh harian perkebunan karet, sudah pasrah tak akan melanjutkan sekolah, walaupun ia termasuk siswi terbaik di sekolahnya. Sama halnya dengan Aisyah dan Gina. Mereka berasal dari keluarga sangat bersahaja dan bahkan "broken home." Ayahnya telah meninggalkan mereka sejak kecil. Mana mungkin ada biaya untuk melanjutkan sekolah?

Yang lebih menyedihkan adalah nasib Nurul yang ibunya saat itu telah 6 tahun meninggalkan dirinya untuk menjadi TKW di Saudi Arabia. Nenek dan Kakeknya mustahil mampu membiayainya. Ayahnya? Entah di mana keberadaannya karena sejak ibunya berangkat ke Saudi Arabia, ia pun pergi meninggalkan rumah tanpa pamit.

Saat bertemu dengan saya tiga tahun lalu, Nurul menangis tersedu. Ia menangis karena tak hanya sedih tak dapat melanjutkan sekolah, namun ia juga kawatir luar biasa karena neneknya akan segera menikahkannya dengan seorang pemuda di kampungnya. Nurul merasa tidak siap untuk hidup berumah-tangga. Itulah gambaran sepintas tiga tahun lalu.

Saat ini, di tengah mereka merasakan syukur, saya mencoba mengingatkan mereka untuk berterimakasih kepada semua pihak yang telah ikut membantu dan membiayai mereka bersekolah di SMK atau SMA. Tanpa dukungan dari berbagai pihak yang "saweran" membiayai, mustahil biaya sekolah, asrama, praktikum dan peralatan sekolah, dapat terpenuhi.

Saya juga mencoba ngobrol beragam kejadian selama tiga tahun lalu. "Kalian ingat bukan, ketika para guru menemani kalian belanja peralatan sekolah, peralatan dapur, lemari buku, kipas angin dan lain-lain?"

Mereka serempak mengangguk. Saya sengaja mengingatkan kembali hal ini agar keempat anak ini tak lupa pada jasa para guru mereka yang tidak saja telah menjadi guru yang baik selama di SMP, tetapi menghantarkan mereka ke jenjang pendidikan berikutnya. Tak disangka, ceritera "flash back" ini membuat anak-anak menangis. Mereka pasti teringat tentang betapa besar peran para guru dalam menjaga mereka.

Saya pun menyebut segenap jasa para donatur yang telah ikut membiayai mereka. "Coba kamu buat surat, ceriterakan pengalaman kalian bersekolah, dan tulis apa yang kalian cita-citakan ke depan. Jangan lupa berterimakasih pada mereka." Saya sengaja mengingatkan hal ini karena banyak anak-anak Indonesia tak memiliki kebiasaan kuat mengucapkan "terimakasih" saat mendapat pertolongan dari pihak lain.

Tentu tamat SLTA bukanlah tingkat pendidikan yang cukup. Harus ada upaya lebih jauh untuk melanjutkkan sekolah hingga tingkat perguruan tinggi. Tapi rupanya tak mudah bagi mereka untuk memahami seluk beluk proses pendaftaran dan test masuk perguruan tinggi. Ketidaktahuan dan keterlambatan informasi nyaris menggagalkan mereka untuk dapat memasuki bangku kuliah. Untung para guru bertindak sigap dan mencarikan perguruan tinggi yang masih membuka pendaftaran dan baik untuk mereka. Akhirnya Nurul diterima di Fakultas Hukum, Aisyah di Fakultas MIPA jurusan Farmasi dan Gina di Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Bandung. Sementara Mella, yang sebenarnya memiliki nilai lebih baik semasa sekolah di SMK, belum beruntung dan masih menunggu perguruan tinggi yang bersedia menerimanya.

Terlepas dari berita bangku kuliah yang telah tersedia bagi mereka, tanda-tanya besar sebenarnya masih menyelimuti semua fikiran anak-anak ini. Hingga hari ini sebenarnya belum ada kepastian kelanjutan kuliah mereka karena kepastian pembiayaan kuliah belum tersedia. Padahal waktu pendaftaran akhir telah mepet, biaya awal harus dibayar pada minggu ketiga bulan Juli 2019 ini (19 atau 22 Juli?).

Ada sebagian kabar gembira untuk Nurul. Menteri Tenaga Kerja, Hanief Dhakiri, secara pribadi telah menyanggupi pembiayaan kuliah Nurul. Mungkin Pak Menteri merasa iba saat bertemu Nurul dalam kunjungan kerja, dan mendengar ceritera Nurul yang sudah berpisah dengan Ibunya yang bekerja sebagai TKW di Saudi Arabia (saat ini telah terpisah dengan ibunya selama 9 tahun). Kini tinggal Aisyah, Gina dan Mella, menunggu nasib adakah dukungan biaya untuk mengubah nasibnya?

Di media sosial ini, saya tulis ceritera ini dengan harapan kita dapat berbagi empati untuk melakukan sebuah perubahan ke arah kehidupan lebih baik. Ini tidak hanya perubahan bagi Nurul, Aisyah, Gina dan Mella, namun juga perubahan untuk jutaan anak anak lain yang mengalami hal sama, atau bahkan lebih tragis.

Saat saya menulis ceritera ini, saya pun segera teringat kata-kata Nelson Mandela: "Education is the most powerful weapon we can use to change the world." Saya juga termasuk yang mempercayai pernyataan ini.

Namun akankah Nurul, Aisyah, Gina, Mella serta jutaan anak-anak lain di negeri ini akan mendapatkan senjata itu untuk mengubah "dunia"-nya? Semoga saja ada di antara kita yang berlebih, bersedia berbagi, membantu mereka. Please help them!

***