Jika hari ini nama Anda tak muncul dalam "bocoran" daftar kabinet, jangan berkecil hati. Menjadi menteri bukan lagi jalan kemuliaan. Terlalu lama di sana juga mengundang kenistaan.
Pernah ada masa, presiden di Indonesia tak pernah berganti. Saat itu, mimpi tertinggi manusia di negeri ini hanya jadi menteri. Kalau tidak ya jadi bupati, atau sekadar berbaju korpri.
Presiden adalah dewa. Jika tak berbicara dengan terang, maka senyumnya ditafsir-tafsirkan, isyaratnya ditangkap dengan aneka ragam pengertian. Ia sungguh tak terjangkau. Ia tak berganti. Maka, menjadi pembantu presiden adalah sejauh-jauh mimpi.
Para menteri sungguh populer. Bahkan nama Menteri Ristek BJ Habibie menjadi bagian lirik lagu Iwan Fals. Terselip di bait tengah lagu Umar Bakri, Iwan Fals berdendang: “… Umar Bakri, Umar Bakri. Banyak ciptakan menteri. Umar Bakri… Profesor dokter insinyur pun jadi. Bikin otak orang seperti otak Habibie.”
Mereka yang masa kecilnya di era Orde Baru, siapa tak ingat nama dan wajah menteri-menteri seperti Harmoko, Ginanjar Kartasasmita, Marie Muhammad, Mochtar Kusumaatmaja, Benny Moerdani, Akbar Tanjung, Emil Salim …. Masih ingat mereka?
Para menteri anteng dalam kempitan presiden. Ada yang bertahan beberapa periode di kabinet, tetap di tempat semula, atau bergeser ke kementerian lain. Tak heran jika rakyat akrab dengan nama dan wajah mereka. Anak-anak balita bahkan didorong untuk tahu para menteri. Yang hapal nama lengkap dengan jabatannya digelari anak jenius, disiarkan di TVRI. Wartawan bertanya ke orang-tuanya, bagaimana gerangan cara mendidik anak sampai sepandai itu? Wahai …..
Menteri adalah jabatan teramat mulia, berkuasa, dan tak diusik-usik media dan jaksa. Tak ada kontroversi, bahkan ketika presiden mengangkat putri sulungnya menjadi Menteri Sosial, dan mengumumkannya dengan gaya yang khas: “Menteri Sosial, Saudari Siti Hardiyanti Rukmana”…. Sang ayah, sang patriark, memanggil anaknya dengan “saudari”, dan rakyat mendengarnya dengan senyum dikulum.
Pernah ada ribut-ribut soal menteri, ketika Menteri Pariwisata yang bujangan, Joop Ave, kabur dari Selandia Baru dikejar aparat keamanan karena dilaporkan berbuat tak senonoh kepada bellboy sebuah hotel di sana. Kepada wartawan ia mengelak: “Ah, nggak. Kami hanya sorong-sorongan.” Sejak itu, di perbincangan publik yang sinis, ia dijuluki “menteri sorong-sorongan”. Lalu atasannya, Presiden Soeharto meminta media tak lagi meributkannya. Indonesia pun kembali senyap dari perbincangan soal skandal menteri.
Setelah reformasi, 1998, jabatan menteri tak lagi istimewa. Menteri datang dan pergi tiada yang peduli. Sebagian besar mereka tak dikenal orang banyak. Bayangkanlah jika Anda ke mal besar dan bertemu Rachmadi Bambang Sumadhijo, Panangian Siregar, Hidayat Jaelani, Rozik Sucipto, Sunarno, Kusmayanto Kadiman, Suharna. Ada yang kenal? Ini nama-nama menteri pasca reformasi.
Cermati menteri yang kini duduk di kabinet kerja, berapa yang Anda kenal? Berapa yang namanya hanya tertiup sambil lalu?
Menteri yang dikenal publik hanya yang pernah bikin heboh, sudah dikenal sedari dulu, atau karena sering muncul di televisi: Susi Pujiastuti, Sri Mulyani, Puan Maharani, dll…
Menteri bukan lagi jabatan istimewa. Jabatan biasa. Bahkan ada yang sudah berbagi jabatan menteri sebelum berkampanye merebut tahta presiden -- walau gagal akhirnya.
Saat seorang presiden telah terpilih, ada yang menolak jadi menteri. Ada yang menerima jabatan itu tapi minta syarat ini dan itu. Bayangkan, ditawari jadi menteri tapi mengajukan syarat.
Jabatan menteri tak lagi berkilau. Di zaman Presiden Abdurrahman Wahid, Menteri Otonomi Daerah Ryaas Rasyid bahkan mengundurkan diri dari jabatannya karena tak sejalan dengan Presiden. Menjelang Pilpres 2019, MenPAN Asman Abnur mundur karena partainya mendukung calon presiden lain.
Begitulah.
Pasca reformasi, jabatan menteri tak sepenuhnya memuliakan pejabatnya. Jero Wacik, Suryadharma Ali, Said Agil Al-Munawwar, Imam Nachrowi, Idrus Marham, dll tahu benar, jabatan itu malah menyeret mereka ke dalam kehinaan. Mereka terjerat korupsi.
Sampai tahun 2019 lembaga anti-rasuah KPK telah memenjarakan 27 menteri dan kepala lembaga.
Menjadi menteri pun tak lagi identik dengan kekayaan. Gaji menteri 19 juta rupiah, tunjangan operasional sekitar 100 juta sebulan, tapi proposal dari partai, anggota DPR, kerabat, orang luar tak sedikit jumlahnya. Tak cukup dipenuhi dengan gaji dan uang operasional.
Bagi menteri yang memang sudah kaya sebelumnya, ini memang bukan soal. Saya ingat Jusuf Kalla, semasa menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, ia menarik duit dari perusahaan keluarganya, sedikitnya 50 juta rupiah sebulan untuk menambah-nambah biaya kantor.
Sodara-sodara sebangsa dan setanah air. Jika hari ini nama Anda tak muncul dalam "bocoran" daftar kabinet, jangan berkecil hati. Menjadi menteri bukan lagi jalan kemuliaan. Terlalu lama di sana juga mengundang kenistaan.
Selamat pagi para calon menteri…. Punna upa'.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews