Perjalanan panjang PDI yang kini menjadi PDI-P tidak pernah bisa lepas dari sejarah yang bernama PNI dan sosok Sukarno. Akhir 90-an, kondisi politik makin tidak jelas, dan adanya banteng yang berubah angin, lahirlah PDI-P, dan keadaan berubah arah. Soeharto dengan Golkarnya tumbang. Angin reformasi berhembus. Pemilu dan PDI-P pun menang.
PDI dalam era Orde Baru hanyalah pelengkap biar kelihatan demokratis. Pemenangnya jelas bukan partai, namun golongan yang akan mengusung dewan pembinanya dalam Sidang Umum MPR yang akan dengan aklamasi mengusung Jenderal Purnawirawan Soeharto menjadi presiden. Kata Iwan Fals sidangnya seperti paduan suara. Mengenai wakil presiden juga akan tergantung Soeharto, jangan harap kumawani, seperti sekarang ini.
Posisi politik dalam tangan Soeharto seseorang, semua atas izin dan titah Soeharto. Mau jadi anggota dewan pun atas sepengetahuan si orang terkuat itu. Model demokrasi akal-akalan, pemilu hanya sebuah seremoni, pemilihan anggota dewan berdasar ketetapan partai politik, mana dikenal caleg nomor sepatu. Sepatu biasanya kan di atas 30, dan itu hanya penggembira. Nomor satu digit tiap provinsi itu jelas “tanaman” Soeharto.
Apalagi mau menjadi ketua umum partai politik, restu dan pengenalan Soeharto harus mendalam, sehingga bisa mengerti arah politiknya mau ke mana. Menjamin bahwa akan dalam genggaman si jenderal tersenyum itu. Stabilitas politik adalah segalanya bagi Orde Baru.
Posisi Golkar jelas tidak bisa tergantikan sebagai pemenang pemilu, jauh sebelum pelaksanaan saja sudah ditentukan siapa juara, nomor dua, dan tiganya. Persentasenya juga sudah diketok, jadi komposisi di dewan itu hanya sandiwara. Ketua Golkar, wakil ya PPP dan PDI. Komposisi alat kelengkapan dewan ya begitu juga. Kuning semua.
Keadaan 82 lumayan ada perubahan, ketika PPP bisa sedikit banyak berbicara, keadaan yang bisa mengubah peta politik. PDI di dalam kendali Suryadi, memikirkan juga untuk bisa memperoleh suara sebagaimana PPP. Jangan berpikir soal Golkar, karena mereka memiliki AGB, ABRI, Golkar, dan Birokrasi itu ikatan kuat tak terpisahkan. Jadi PPP dan PDI itu hanya rempah-rempah semata.
Melirik keluarga Sukarno cukup menjanjikan, apalagi PNI sebagai partainya Sukarno ada di dalamnya. Megawati pun masuk parlemen. Tentu sebagai anggota yang mendapatkan banyak sekali batasan dan dalam sorotan. Puluhan tahun terjadi demikian, dan masih juga yang sama dialami.
Tindakan represif lebih terjadi ketika Megawati mendapatkan kepercayaan secara aklamasi untuk menjadi ketua umum PDI. Jelas saja Soeharto meradang dan marah, potensial bahwa cengeramannya bisa berat, maka direkayasalah untuk tetap membuat Sukarno dan keluarga tetap kerdil. Kepentingan Soeharto dan didukung para penjilat elit PDI membuat keadaan itu memanas dan puncaknya pada 96.
Soeharto tumbang, pemilu, PDI-P yang kini dalam kendali Megawati secara penuh memenangkan pemilihan perdana usai masa otoriterisme. Masuk gedung dewan sebagai pemenang, namun tanpa pengalaman, membuatnya tersisih. Itu pun dijalani dengan lapang dada. Intrik politik oleh ahli politik membuatnya tersisih. Dan itu juga dialami 2014 ketika ketua dewan diserobot oleh koalisi KMP yang ugal-ugalan.
Dalam kegiatan ulang tahun ke-46 PDIP, Megawati menyerahkan tumpeng kepada ajudan Soeharto, sekaligus wapres Soeharto di masa puncaknya, Try Sutrisno. Gambaran sikap sebagai negarawan yang tidak sebatas politikus.
Perbedaan politik masa lalu itu bukan pemutus ikatan batin sebagai anak bangsa. Apa yang dinyatakan, bagaimana bangsa ini hendak dibawa adalah perilaku politikusnya. Ini cukup memberikan harapan, bahwa kebersamaan di dalam perbedaan itu mungkin.
Hal yang sama juga ia lakukan berkaitan dengan Prabowo, di mana para lingkaran utama dan menengah bawahnya seolah membuat kubu yang sangat tebal, toh mereka masih bisa berhubungan sebagai mantan pasangan berkontestasi dalam politik. Hal yang wajar berbeda pilihan dalam konteks waktu dan politik itu.
Pengalaman sendirian di dalam banyak hal yang membuatnya cukup matang di dalam bersikap. Perhitungan politik yang menyeluruh, kepentingan negara di atas kepentingan kelompok apalagi pribadi lebih mengemuka.
Pengalaman gagal itu bisa membuat orang mythomania, jika tidak dibarengi sikap jiwa yang kuat. Ternyata Megawati bisa mengatasi itu sehingga tidak menjual kebohongan untuk mendapatkan kekuasaan. Hal yang sama diidap oleh pihak lain yang mengalami kegagalan yang sama sebenarnya.
Sikap akhir yang berbeda membuat perilaku berpolitiknya juga berbeda. Pengalaman yang sama dimaknai dengan berbeda, menghasilkan hasil akhir yang berbeda pula. Pembelajaran yang cukup penting sebagai bangsa.
Politik itu berbeda wajar, alamiah, dan memang harus demikian. Bagaimana perbedaan disikapi dengan dewasa dan bijaksana, ketika kepribadian politikusnya juga dewasa. Pribadi kerdil yang tidak pernah sanggup menerima kekalahan, mengharuskan kemenangan dalam apa yang ia inginkan ini hanya pribadi anak-anak, di mana hanya mengandalkan pokok e.
Salam.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews