Jalan Sunyi Megawati

Jumat, 11 Januari 2019 | 07:59 WIB
0
156
Jalan Sunyi Megawati
Ilustrasi

Perjalanan panjang PDI yang kini menjadi PDI-P tidak pernah bisa lepas dari sejarah yang bernama PNI dan sosok Sukarno. Akhir 90-an, kondisi politik makin tidak jelas, dan adanya banteng yang berubah angin, lahirlah PDI-P, dan keadaan berubah arah. Soeharto dengan Golkarnya tumbang. Angin reformasi berhembus. Pemilu dan PDI-P pun menang.

PDI dalam era Orde Baru hanyalah pelengkap biar kelihatan demokratis. Pemenangnya jelas bukan partai, namun golongan yang akan mengusung dewan pembinanya dalam Sidang Umum MPR yang akan dengan aklamasi mengusung Jenderal Purnawirawan Soeharto menjadi presiden. Kata Iwan Fals sidangnya seperti paduan suara. Mengenai  wakil presiden juga akan tergantung Soeharto, jangan harap kumawani, seperti sekarang ini.

Posisi politik dalam tangan Soeharto seseorang, semua atas izin dan titah Soeharto. Mau jadi anggota dewan pun atas sepengetahuan si orang terkuat itu. Model demokrasi akal-akalan, pemilu hanya sebuah seremoni, pemilihan anggota dewan berdasar ketetapan partai politik, mana dikenal caleg nomor sepatu. Sepatu biasanya kan di atas 30, dan itu hanya penggembira. Nomor satu digit tiap provinsi itu jelas “tanaman” Soeharto.

Apalagi mau menjadi ketua umum partai politik, restu dan pengenalan Soeharto harus mendalam, sehingga bisa mengerti arah politiknya mau ke mana. Menjamin bahwa akan dalam genggaman si jenderal tersenyum itu. Stabilitas politik adalah segalanya bagi Orde Baru.

Posisi Golkar jelas tidak bisa tergantikan sebagai  pemenang pemilu, jauh sebelum pelaksanaan saja sudah ditentukan siapa juara, nomor dua, dan tiganya. Persentasenya juga sudah diketok, jadi komposisi di dewan itu hanya sandiwara.  Ketua Golkar, wakil ya PPP dan PDI. Komposisi alat kelengkapan dewan ya begitu juga. Kuning semua.

Keadaan 82 lumayan ada perubahan, ketika PPP bisa sedikit banyak berbicara, keadaan yang bisa mengubah peta politik. PDI di dalam kendali Suryadi,  memikirkan juga untuk bisa memperoleh suara sebagaimana PPP. Jangan berpikir soal Golkar, karena mereka memiliki AGB, ABRI, Golkar, dan Birokrasi itu ikatan kuat tak terpisahkan.  Jadi PPP dan PDI itu hanya rempah-rempah semata.

Melirik keluarga Sukarno cukup menjanjikan, apalagi PNI sebagai partainya Sukarno ada di dalamnya. Megawati pun masuk parlemen. Tentu sebagai anggota yang mendapatkan banyak sekali batasan dan dalam sorotan. Puluhan tahun terjadi demikian, dan masih juga yang sama  dialami.

Tindakan represif lebih terjadi ketika Megawati mendapatkan kepercayaan secara aklamasi  untuk menjadi ketua umum PDI. Jelas saja Soeharto meradang dan marah, potensial bahwa cengeramannya bisa berat, maka direkayasalah untuk tetap membuat Sukarno dan keluarga tetap kerdil. Kepentingan Soeharto dan didukung para penjilat elit PDI membuat keadaan itu memanas dan puncaknya pada 96.

Soeharto tumbang, pemilu, PDI-P yang kini dalam kendali Megawati secara penuh memenangkan pemilihan perdana usai masa otoriterisme. Masuk gedung dewan sebagai pemenang, namun tanpa pengalaman, membuatnya tersisih. Itu pun dijalani dengan lapang dada. Intrik politik oleh ahli politik membuatnya tersisih.  Dan itu juga dialami 2014 ketika ketua dewan diserobot oleh koalisi KMP yang ugal-ugalan.

Dalam kegiatan ulang tahun ke-46 PDIP, Megawati menyerahkan tumpeng kepada ajudan Soeharto, sekaligus wapres Soeharto di masa puncaknya, Try Sutrisno. Gambaran sikap sebagai negarawan yang tidak sebatas politikus.  

Perbedaan politik masa lalu itu bukan pemutus ikatan batin sebagai anak bangsa. Apa yang dinyatakan, bagaimana bangsa ini hendak dibawa adalah perilaku politikusnya.  Ini cukup memberikan harapan, bahwa kebersamaan di dalam perbedaan itu mungkin.

Hal yang sama juga ia lakukan berkaitan dengan Prabowo, di mana para lingkaran utama dan menengah bawahnya seolah membuat kubu yang sangat tebal, toh mereka masih bisa berhubungan sebagai mantan pasangan berkontestasi dalam politik. Hal yang wajar berbeda pilihan dalam konteks waktu dan politik itu.

Pengalaman sendirian di dalam banyak hal yang membuatnya cukup matang di dalam bersikap. Perhitungan politik yang  menyeluruh, kepentingan negara di atas kepentingan kelompok apalagi pribadi lebih mengemuka.

Pengalaman gagal itu bisa membuat orang mythomania, jika tidak dibarengi sikap jiwa yang kuat. Ternyata Megawati bisa mengatasi itu sehingga tidak menjual kebohongan untuk mendapatkan kekuasaan.  Hal yang sama diidap oleh pihak lain yang mengalami kegagalan yang sama sebenarnya.

Sikap akhir yang berbeda membuat perilaku berpolitiknya juga berbeda.  Pengalaman  yang sama dimaknai dengan berbeda, menghasilkan  hasil akhir yang berbeda pula.  Pembelajaran yang cukup  penting sebagai bangsa.

Politik itu berbeda wajar, alamiah, dan memang harus demikian. Bagaimana  perbedaan disikapi dengan dewasa dan bijaksana, ketika kepribadian politikusnya juga dewasa. Pribadi kerdil yang tidak pernah sanggup menerima kekalahan, mengharuskan kemenangan dalam  apa yang ia inginkan ini hanya pribadi anak-anak, di mana hanya mengandalkan pokok e.

Salam.

***