Kalau ambang batas dianggap memberatkan, bukankah ada caranya yaitu koalisi atau partai-partai kecil bergabung. Bukan egois harus calon dari partainya. Harus bisa ngukur diri dan tidak memaksakan diri.
Elang terbang selalu sendirian, menunjukkan keberanian sekaligus tanggung jawab. Tetapi, bebek selalu datang beramai-ramai, bergerombol tidak ada yang berani datang sendiri, kecuali bebek nyasar.
Demikian perumpamaan perorangan dan sejumlah partai politik yang ramai-ramai menggugat ambang batas pencalonan presiden 20 persen. Mereka ingin angka 20% diubah menjadi 0% yang berarti tidak ada syarat apapun bagi seseorang untuk dijadikan capres. Enak banget, ya?
Mereka ramai-ramai menggugat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi (MK), individu atau partai politik. Ambang batas capres 20% dari hasil suara pemilihan legislatif yang sah atau 25% dari kursi anggota DPR.
Di tengah pandemi yang jauh dari kata berakhir dan pilpres juga masih tiga tahun lagi tapi pembicaraan atau perdebatan capres makin ramai. Bahkan hasil rilis lembaga survei terkait elektabilitas bak jamur di musim penghujan yang selalu bermunculan. Lembaga survei baru juga banyak bermunculan.
Mengapa partai politik atau individu ramai-ramai menggugat ambang batas pencalonan presiden?
Pertama, karena pilpres 2024 adalah sudah tidak ada lagi calon petahana.
Seperti kita ketahui kalau ada calon petahana biasanya susah untuk dikalahkan. Sekalipun dalam pilkada banyak petahana yang kalah dengan pendatang baru.
Kedua, ambang batas dianggap jadi penghambat atau penghalang individu atau partai politik yang ingin mencalonkan diri. Sekalipun partainya tidak lolos ke DPR atau bisa mengirimkan wakilnya duduk di kursi Senayan.
Ketiga, rata-rata yang menggugat ambang batas pencalonan presiden dari partai politik yang kemungkinan tidak lolos ke DPR atau individu yang ngebet jadi presiden.
Bahkan ada partai politik, yaitu Demokrat, yang ngotot mendesak presiden untuk mengeluarkan Perppu untuk menghapus ambang batas 20% dengan harapan Demokrat bisa mencalonkan pangeran Cikeas sebagai presiden atau wakil presiden.
Padahal, dulu waktu Demokrat masih jaya dan menjadi partai besar justru mendukung ambang batas 20% pencalonan presiden. Tetapi setelah masa kejayaannya runtuh atau turun Demokrat ngotot menghapus ambang batas 20%. Ambang batas dianggap jadi penghalang.
Yang lucu, ada individu-individu yang ingin mencalonkan presiden tetapi tidak ingin melaui partai politik atau calon independen seperti dalam pilkada. Dan mereka juga menggugat ambang batas 20% sebagai syarat pencalonan presiden.
Dalam pilkada memang ada jalan bagi calon independen. Itupun harus mengumpulkan sekian ribu e-KTP. Artinya kalau calon independen presiden diperbolehkan, apakah sanggup mereka mengumpulkan e-KTP misal sebesar 5 juta?
Kalau ambang batas dianggap memberatkan, bukankah ada caranya yaitu koalisi atau partai-partai kecil bergabung. Bukan egois harus calon dari partainya. Harus bisa ngukur diri dan tidak memaksakan diri.
Baca Juga: Refly Harun-Denny Indrayana dan Ambang Batas Pencalonan Presiden Nol Persen
Mungkin hanya di negeri ini yang ribut-ribut ambang batas pencalonan presiden. Sedangkan di luar negeri baik yang dengan sistem parlemen atau presidensil tetap mewajibkan koalisi kepada partai-partai kecil yang tidak cukup atau memenuhi syarat.
Kalau dilihat dari rekam jejak hasil keputusan Mahkamah Konstitusi terkait keputusan ambang batas 20% pencalonan presiden, hasilnya ditolak atau tidak memenuhi syarat gugatan.
***
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews