Refly Harun-Denny Indrayana dan Ambang Batas Pencalonan Presiden Nol Persen

Kalau tidak dibatasi aturan ambang batas pencalonan ini, bisa dibayangkan ada ratusan dan bahkan ribuan perorangan yang ingin mencalonkan diri sebagai Presiden melalui partai politik tertentu.

Selasa, 4 Januari 2022 | 07:41 WIB
0
537
Refly Harun-Denny Indrayana dan Ambang Batas Pencalonan Presiden Nol Persen
Partai Ummat (Foto: Republika.co.id)

Ketika Partai Ummat berencana melakukan uji materi tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold ke Mahkamah Konstitusi, partai baru yang didirikan mantan Ketua MPR sekaligus mantan Ketua Umum PAN Amien Rais, mereka menyiapkan tim hukum berisi 20 orang. Di antara mereka, tersebutlah Refly Harun dan  Denny Indrayana.

Dua nama ini cukup menggetarkan ranah hukum. Refly Harun adalah seorang pengacara yang banyak menangani perselisihan Pilkada, sedangkan Denny adalah mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM yang beberapa waktu lalu tersisih di Pilkada Kalimantan Tengah memperebutkan kursi gubernur dengan kekalahan sangat tipis.

Semua pengamat dan politikus partai politik, termasuk Ketua Umum Partai Ummat Ridho Rahmadi umumnya menilai, syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dinilai tidak masuk akal dan tidak sehat bagi proses regenerasi kepemimpinan.

Persyaratan 20 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen suara di pemilu sebelumnya untuk mengajukan capres-cawapres dianggap cara untuk paling efektif untuk menjegal calon potensial dan menjadi cara untuk melanggengkan kekuasaan.

Ambang batas pemilihan presiden 20 persen kursi di Dewan saat ini dianggap tidak membuka dan memberi kesempatan yang luas kepada kader terbaik bangsa dan hal ini hanya bisa terjadi bila syarat ambang batas 20 persen dihapuskan, kemudian diubah menjadi nol persen.

Menurut Ridho, penggunaan hasil di pemilu sebelumnya sebagai dasar pencapresan juga tidak logis. Alasannya, kondisi saat pilpres berbeda dengan situasi lima tahun lalu dan hasilnya bisa berubah. Pun pelaksanaan pemilu serentak semenstinya menggugurkan syarat tersebut.

Dengan masuknya pengajuan gugatan Partai Ummat ini, kini tercatat sudah 14 judicial review atas pasal yang sama dalam undang-undang yang sama. Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi telah menerima 13 permohonan uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.

Harian Kompas menyebutkan, dari 13 permohonan uji materi Pasal 222, kebanyakan dinyatakan tidak dapat diterima. Tujuh perkara di antaranya bermasalah dengan legal standing atau kedudukan hukum pemohon, termasuk permohonan yang diajukan oleh Rizal Ramli dan Abdulrachim Kresno pada 11 Januari lalu. Perkara lainnya kandas karena sikap MK yang memandang ambang batas pencalonan presiden merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) sehingga diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya.

Adalah masuk akal MK yang mengkategorikan ambang batas pencalonan presiden merupakan kebijakan hukum terbuka, sebab pengajuan untuk perubahan pasal tersebut ada di tangan pemerintah dan DPR, sehingga perjuangan seharusnya dilakukan di parlemen melalui wakil-wakil parpol yang duduk di sana.

Persoalannya, bukankah Partai Ummat belum memiliki anggota legislatif di Senayan?

Di sini memang letaknya seni sekaligus perjuangan berpolitik. Tidak memiliki wakilnya di DPR karena belum teruji di Pemilu bukan berarti kesempatan berjuang di parlemen pupus. Politik adalah seni melobi dan mempengaruhi orang. Garis politik di Senayan juga jelas, Merah, Hijau, Kuning, Biru, Putih dan seterusnya. 

Identifikasi diri itu penting, misalnya Partai Ummat yang memilih ideologi "Islam Rahmatan Lil Alamin" dengan posisi partai sayap kanan, akan dengan mudah menemukan partai seideologi dan senapas, yaitu PKS, PAN, PKB atau PPP. Maka lobi dilakukan kepada para petinggi partai-partai tersebut.

Ada juga partai nasionalis seperti Partai Demokrat, Nasdem, Gerindra, Golkar dan PDIP, namun di antara kelima partai "nasionalis"  itu hanya Demokrat yang masuk akal untuk didekati dan dilobi. Alasannya, Demokrat pun senada seirama, segendang sepenarian dalam melancarkan tuntutan ambang batas pencalonan presiden nol persen yang dikenal dengan sebutan "PT 0%" itu.

Baca Juga: Mengintip "Kejahilan" Refly Harun

Partai-partai lain di luar Demokrat seperti PDIP dan Gerindra cenderung diam dan tidak perlu bereaksi karena posisi mereka sudah aman. Dengan perolehan kursi lebih dari 19 persen, misalnya, PDIP tinggal menyeret "partai gurem" untuk berkoalisi pun jadi. Pun Gerindra yang dipimpin Prabowo Subianto, mau berkoalisi dengan PDIP atau partai lain pun aman untuk memuluskan pencalonan presidennya.

Ketentuan ambang batas pencalonan presiden sudah sejak lama mendapat penolakan. Alasannya, syarat minimal kepemilikan kursi atau perolehan suara untuk mengusung capres-cawapres berpotensi menimbulkan politik transaksional. Itu pulalah yang menjadi dalil utama permohonan Gatot Nurmantyo.

”Secara sosiologis, pemberlakuan ambang batas pencalonan presiden memunculkan fenomena pembelian kandidasi,” demikian tertera dalam berkas permohonan yang didaftarkan ke MK. Singkat cerita, syarat minimal kepemilikan kursi atau perolehan suara untuk mengusung capres-cawapres berpotensi menimbulkan politik transaksional.

Benar bahwa masyarakat diberi banyak pilihan capres dan cawapres sebagaimana tercermin dalam jajak pendapat Litbang Kompas yang dilakukan Juni 2020 lalu. Namun, dukungan yang kuat dari parpol tetap tidak bisa dilupakan sebagai basis politik kekuatan pasangan capres-cawapres. Bukankah penetapan ambang batas pencalonan presiden 20 persen juga hasil kesepakatan wakil parpol di Parlemen dengan pemerintah pada masa lalu yang menjadi acuan Pemilu saat ini?

Memang tidak ringan

Hasil jajak pendapat Harian Kompas itu menyebutkan, bagi kelompok yang setuju masih diberlakukan, ambang batas bertujuan untuk membatasi jumlah pasangan capres-cawapres. Sebaliknya, kelompok responden yang menyatakan ambang batas pencalonan presiden tidak diperlukan menginginkan munculnya lebih banyak lagi capres-cawapres. Pilpres tidak dimonopoli kekuatan parpol besar atau pemenang pemilu juga menjadi alasan kelompok ini.

Pasal 6A Ayat 2 menyebutkan, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

Berikutnya syarat pencalonan presiden disebutkan di Pasal 222 UU No 7/2017 yang menyatakan bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.

Artinya, memang tidak mudah bagi seseorang mencalonkan dirinya sebagai capres-cawapres, ada kompetisi yang harus dilalui terlebih dahulu, yaitu Pemilu legislatif. Di ajang inilah pembuktian apakah sebuah partai politik diminati kemudian dipilih rakyat atau sebaliknya "dicuekin" rakyat.

Baca Juga: Di MK Denny Indrayana Gagal Praktikkan Teori Yang Ditulis di Bukunya

Partai kadang tidak selalu terkait dengan caleg atau calon anggota legislatif masing-masing partai. Jika calonnya bisa "dijual" dan diterima rakyat, pemilih cenderung mengabaikan partai yang mengusungnya. Rakyat lebih memilih orang, bukan partai politik.

Kalau tidak dibatasi aturan ambang batas pencalonan ini, bisa dibayangkan ada ratusan dan bahkan ribuan perorangan yang ingin mencalonkan diri sebagai Presiden RI melalui partai politik tertentu.

Yang paling masuk akal, alasan penghapusan PT 20% menjadi PT 0% itu agar tokoh parpol -sebutlah ketua umum partai- dengan kursi minim pun bisa mencalonkan diri sebagai presiden. Juga perseorangan bersuara vokal yang merasa dirinya sudah pantas menjadi Presiden mendapat tempat.

Namanya juga usaha.

***