Di MK Denny Indrayana Gagal Praktikkan Teori Yang Ditulis di Bukunya

Disinilah idealisme Denny Indrayana dipertanyakan. Mirip dalam kasus suap Meikarta, dimana ia menjadi pengacara atau kuasa hukum pihak yang sedang berperkara dengan KPK.

Sabtu, 29 Juni 2019 | 22:32 WIB
0
1317
Di MK Denny Indrayana Gagal Praktikkan Teori Yang Ditulis di Bukunya
Denny Indrayana (Foto: Tribunnews.com)

Denny Indrayana adalah guru besar Fakultas Hukum UGM dan pakar hukum tata negara. Sejak bulan September 2018, yang bersangkutan mengundurkan diri sebagai dosen UGM. Namun begitu, statusnya masih sebagai ASN atau PNS. Artinya masih menerima gaji dari pemerintah.

Jadi pada waktu menjadi pengacara pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno yang sedang berperkara di Mahkamah Konstitusi, Denny Indrayana masih berstatus ASN atau PNS.

Denny Indraya pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Tetapi setelah tidak menjabat, ia malah menjadi tersangka dan kasusnya sampai saat ini tidak jelas. Saat itu Budi Waseso bertindak sebagai Kabareskrim yang terkenal dengan sebutan Buwas.

Akhirnya Denny Indrayana menyingkir atau menepi ke Australia, entah untuk menenangkan diri atau mengajar sebagai dosen. Dan kurang lebih satu tahun yang bersangkutan menepi di Australia.

Namun ketika Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan OTT kepada Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin dalam kasus perizinan Meikarta, nama Denny Indrayana tiba-tiba muncul menjadi pengacara atau kuasa hukum PT Mahkota Sentosa Utama sebagai pelaksana proyek Meikarta.

Denny Indrayana waktu itu berdalih tidak menjadi kuasa hukum untuk para tersangka dalam kasus suap Meikarta. Tetapi karena mendapat kritikan dan sindiran dari LSM atau penggiat anti korupsi, akhirnya Denny Indrayana mengundurkan diri sebagai kuasa hukum PT Mahkota Sentosa Utama.

Seperti kita ketahui, Denny Indrayana termasuk salah satu penggiat anti korupsi dan selalu membela KPK dalam pemberantasan korupsi. Kok sekarang malah membantu atau menjadi kuasa hukum pihak yang sedang berperkara. Kan aneh. Sekalipun dengan dalih profesional dan bukan menjadi pengacara pihak tersangka.

Nah, pada tanggal 1 Februari 2019 di Universitas Paramadina, Jakarta Selatan, Denny Indrayana sebagai Pakar Hukum Tata Negara meluncurkan buku dengan judul "Strategi Memenangkan Sengketa Pemilu".

Menurut Denny Indrayana, peluncuran buku tersebut supaya menarik seluruh kalangan yang ingin mengetahui strategi memenangkan sengketa pemilu. Atau bagaimana menyiapkan alat bukti, draf dan surat kuasa. Bahkan yang bersangkutan juga memberi tahu, bahwa batas waktu sangat terbatas, yaitu tiga hari setelah KPU sudah harus mendaftarkan permohonon gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Intinya, apa yang disampaikan Denny Indrayana berkaitan tata beracara di MK.

Buku itu ditulis Denny Indrayana sebagai pakar hukum tata negara dalam keadaan netral. Artinya tidak berpihak. Hanya semata-mata sebagai pakar hukum tata negara. Pikiran, perasaan dan emosi tidak terikat oleh kepentingan-kepentingan membela orang yang sedang berpekara di Mahkamah Konstitusi. Makanya isi buku itu bisa jernih dan netral. Belum terkontaminasi kepentingan politik atau kepentingan membela klien yang berperkara.

Nah, tiba-tiba Denny Indrayana menjadi pengacara atau kuasa hukum pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam sengketa hasil pemilu 2019, yang dianggap penuh kecurangan yang sifatnya "terstruktur, sistematis dan masif".

Mungkin Denny Indrayana mau mempraktekan teori  atau buku yang ia tulis dengan judul "Strategi Memenangkan Sengketa Pemilu" karena menurut Bung Karno, "teori tanpa praktek sama saja omong kosong,tetapi praktek tanpa teori sama juga ngawur".

Tapi juga perlu publik ketahui, sebelum menjadi pengacara pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Denny Indrayana pernah ikut lelang atau mendaftarkan diri  menjadi pengacara pihak KPU. Artinya Denny Indrayana ingin jadi pembela KPU di Mahkamah Konstitusi. Tapi oleh pihak KPU ditolak.

Bagaimana bisa seorang yang awalnya berniat ingin menjadi pembela KPU di MK malah sekarang berbalik arah menjadi lawan KPU? Dan menjadi pembela pihak yang sedang berpekara di MK melawan KPU.

Disinilah idealisme Denny Indrayana dipertanyakan. Mirip dalam kasus suap Meikarta, dimana ia menjadi pengacara atau kuasa hukum pihak yang sedang berperkara dengan KPK.

Kembali ke strategi memenangkan sengketa pemilu ala Denny Indrayana.

Kalau tadi Denny Indrayana berteori lewat buku dengan judul "strategi memenangkan sengketa pemilu". Sekarang Denny Indrayana ingin mempraktekkan teorinya dalam kasus sengketa pemilu, dimana ia menjadi kuasa hukum atau pengacara melawan KPU.

Apakah Denny Indrayana aka menggunakan jurus-jurus atau strategi yang ia pernah tulis dalam bukunya dengan judul "strategi memenangkan sengketa pemilu"?

Di sinilah idealisme Denny Indrayana diuji. Waktu menulis buku ia bisa bersikap independen dan netral dengan pikiran, perasaan yang jernih dalam melihat perkara dari sisi hukum. Sekarang Denny Indrayana tidak bisa lagi bersikap independen dan netral.

Pikiran, perasaan dan emosi tertuju, bagaimana supaya ia bisa memenangkan sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi. Karena ia dibayar untuk menjadi pembela, tentu membela kliennya. Ia harus menggunakan segala daya dan upaya bagaimana alat-alat bukti bisa meyakinkan para hakim.

Tapi sepertinya teori strategi yang ia tulis, jauh panggang dari api, yaitu tidak sesuai harapan. Teori-teori atau strategi memenangkan sengketa pemilu itu seakan susah untuk diterapkan dalam praktek atau alam nyata. Karena pikiran, perasaan dan emosi terikat oleh kepentingan dalam rangka membela klieannya.

Strategi dan alat bukti yang dibacakan di depan majelis hakim seakan mudah untuk ditangkis dan dipatahkan oleh pihak  pembela atau pengacara KPU.

Dan sembilan hakim MK pun terasa mudah untuk mematahkan tuduhan dan alat bukti yang diajukan di hadapan majelis hakim. Akhirnya sembilan hakim itu mengambil keputusan secara bulat "menolak semua gugatan" dari pemohon. Dan putusan ini tidak bisa diganggu-gugat karena bersifat final dan mengikat.

**