Gelar S3 untuk Pengakuan sebagai Pendakwah Populer

Agak aneh apakah pemuka agama itu saking sibuknya berkotbah tidak sempat berkontemplasi, tidak sempat meneliti diri sendiri apakah ia sudah sempurna sebagai manusia.

Minggu, 23 Februari 2020 | 20:22 WIB
0
221
Gelar S3 untuk Pengakuan sebagai Pendakwah Populer
Bangun Samudra (Foto: mediariau.com)

Agama dipercaya karena mengajarkan kebaikan dan mengutuk ketidakjujuran dan kejahatan. Agama menjadi penuntun manusia untuk mengurangi tindak di luar batas yang berakibat merugikan sesama maupun makhluk lain di bumi ini. Agama dengan segala permenungan, kata- kata mutiara dan inpiratifnya bisa mengubah dari yang buas menjadi santun dan penyayang.

Itulah mengapa hampir semua manusia di bumi ini mempunyai agama yang bisa mengurangi konflik dan peperangan terjadi. (harapannya). Tetapi sejauh perkembangan peradaban manusia berabad abad manusia telah ditelikung kebencian, ditelikung ketidakpercayaan hingga akhirnya membuncah menjadi saling menghilangkan nyawa padahal berlandaskan iman dan kepercayaan.

Ia membela agamanya dengan cara kekerasan, berani mati demi sebuah keyakinan dan harga diri. Agama yang diyakini dijadikan tameng untuk membunuh dan melakukan genosida karena seperti ada bisikan atau wahyu bahwa manusia menjadi wakil Tuhan untuk menumpas kebathilan menurut versi dan pemahaman diri sendiri.

Maka muncullah perang agama. Di situ ada pertumpahan darah, ada penghilangan nyawa, ada penghancuran peradaban, kebudayaan dan pemusnahan situs- situs hasil jerih manusia berbudaya.Manusia di sisi lain ingin berbuat baik tetapi membuat sengsara manusia lain. Sampai saat ini perang atas nama agama telah memakan jutaan nyawa dari abad ke abad.

Yang sekarang sedang menjadi fenomena yang membuat miris adalah ketika agama masuk dalam lingkup politik. Dicampuradukkan hingga membuat masyarakat bertanya-tanya mengapa gara- gara agama seakan-akan manusia menjadi terbelah, manusia menjadi saling membenci, manusia menjadi saling curiga satu dengan yang lain.

Bahkan ada manusia yang karena pindah agama dan demi menaikkan popularitas mau berbohong dan menipu riwayat hidup dan pendidikannya supaya dikagumi dengan cara membuat kotbah menjelek- jelekkan agama lamanya. Ia menipu dengan menampilkan riwayat pendidikan yang superior S3.

Dari sejarah mulanya ternyata ia tidak lulus SMA dengan spesifik pendidikan khusus pemimpin umat. Padahal dalam agama lamanya pendidikan dari jenjang dasar sampai tertinggi itu tercatat, terdata dan tersusun rapi. Akan ketahuan berbohong kalau ngomong tanpa data.

Mengapa agama mengajarkan berbohong dan menipu, mengapa demi popularitas ada seorang tokoh agama membuat pembohongan publik. Kalau mengajarkan agama berawal dari pembohongan bagaimana bisa mengajarkan kejujuran bagi umatnya.

Yang ada sekarang muncul selalu kecurigaan pada orang lain. Agama menjadi pemicu kebencian bukan ladang kasih yang menghasilkan rasa nyaman dan damai. Tempat ibadat tempat khusus manusia mengkhususkan diri berdialog dengan penciptanya saja dihambat pembangunannya dan malah diperkarakan ijin mendirikan bangunannya.

Semua demi satu keyakinan, satu pemahaman yang dipaksakan. Padahal manusia dilahirkan tidak pernah sama pun dengan pemikiran dan pilihan hidupnya. Karena keragaman manusia menjadi kaya, kreatif dan penuh dinamika. Tetapi ada orang dengan memaksa diri membuat orang menjadi sama dalam cara berdialog dengan Tuhan, dengan menghilangkan kesempatan keyakinan lain beribadah secara khusuk dan melakukan kebebasan dalam beribadah ditempatnya sendiri.

Semua karena banyak orang merasa “sok pinter” bermodal keyakinan diri, pintar bicara dan berani manggung. Ia menciptakan peluang untuk diri sendiri, dengan modal ilmu yang ia kantongi ia berkeliling dengan bahasa provokatif yang sedang disukai masyarakat yang tengah galau oleh ekonomi yang sedang lesu, dengan kemalasan yang muncul akibat ingin cepat bahagia dengan jalur cepat tanpa perjuangan, mau bersenang – senang dengan iming- iming nikmat dunia nikmat surga. Semua dihitung seperti matematika.

Jika melakukan ini maka akan ada imbalan itu, Jika menyumbang sejumlah anu maka akan diperoleh ono. Saya bukan ahli agama dan terus terang tidak cukup cerdas untuk menghafal ayat- ayat dala kitab suci. Dasar saya adalah kepercayaan dan keyakinan bahwa Tuhan selalu hadir disaat sedang mengalami kesulitan dan bersyukur ketika tengah mendapat anugerah dan kebahagiaan. Kadang dan sering lupa bahwa dalam keberuntungan dalam kebahagiaan memuncak saya sejenak lupa untuk berterimakasih kepada yang menciptakan saya di dunia ini.

Kadang sering bertanya bagaimana bisa percaya agama jika ternyata agama menjadi sumber konflik, pemicu utama kebencian. Meskipun saat ini agama tetap menjadi pegangan utama saya, saya mesti harus kritis terhadap sepak terjang pemuka agama yang memanfaatkan kepandaian berbicaranya hanya untuk memprovokasi manusia yang mendengarkan agar membenci manusia lain terutama yang tidak seagama, sekeyakinan yang disebut murtad atau kafir. Mereka adalah manusia kotor yang patut dibenci. Dan manusia diajarkan untuk sombong bahwa dirinya dan kelompoknyalah yang paling benar dan paling suci.

Agak aneh apakah pemuka agama itu saking sibuknya berkotbah tidak sempat berkontemplasi, tidak sempat meneliti diri sendiri apakah ia sudah sempurna sebagai manusia. Manusia tidak sempurna, dan akan selalu penuh kekurangan. Ia mempunyai kelebihan yang bisa dibagi tetapi bisa juga memberi masukan manusia lain untuk saling melengkapi.

Kerja sama, harmoni diperlukan agar manusia bisa mendekati sempurna meskipun tidak pernah benar- benar bisa sempurna. Dalam kontemplasi manusia meneliti diri, menjangkau yang tidak terjangkau melihat jauh – jauh bahwa masih harus selalu menimba ilmu dan pendewasaan diri agar bisa dicontoh manusia lain. Akhlak yang utama adalah keteladanan bukan hanya kata – kata dari mulut yang kadang menipu.

***