Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak tempat eksotis, salah satunya adalah Papua. Keindahan alam maupun keanekaragaman kebudayaan di Papua yang telah mendunia juga ikut memperkaya kebudayaan Indonesia.
Pemerintah Indonesia juga secara khusus telah memberikan pembangunan lebih di Papua. Kendati demikian, keunggulan Papua seringkali tertutupi oleh aksi kelompok separatis yang menuntut Papua Merdeka.
Dalam menangani problema yang ada di Papua, tentu pemeritah tidak tingga diam, salah satu upaya perbaikan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah pemberian Otonomi Khusus (Otsus) kepada Papua. Otsus tertuang dalam Garis – Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 yang merupakan bagian dari Ketetapan MPR IV/1999.
Dalam GBHN tersebut tertulis: dalam rangka mempertahankan integrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan tetap menghargai kesetaraan dan keseragaman kehidupan sosial budaya masyarakat Papua, maka ditetapkan daerah otonomi khusus yang diatur dengan undang – undang, dan penyelesaian kasus – kasus pelanggaran hak asas manusia melalui peradilan yang jujur, adil dan bermanfaat.
Namun sayangnya, kebijakan otsus tersebut tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Pemerintah Indonesia tetap menggunakan cara – cara sentralistis dalam mengendalikan Papua selama lebih dari 30 tahun. Kebijakan tersebut akhirnya dianggap sebagai gula – gula politik untuk meredam gejolak politik di Papua.
Dari pengalaman tersebut, masyarakat Papua tetap tidak yakin denga kebijakan apapun yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia. Masyarakat Papua tidak menginginkan kebijakan Otsus maupun kebijakan lainnya, yang mereka inginkan adalah pelurusan sejarah dan memperjuangkan kemerdekaan.
Selain itu tercatat pada tahun 2001, sekitar 80 persen keluarga di Papua masih hidup dalam kondisi keterbelakangan dalam pertanian, ekonomi, pendidikan, kesehatan dan penguasaan ilmu pengetahuan serta teknologi. Saat itu harga barang – barang konsumsi di kota Jayapura lebih tinggi 45 persen terhadap Jakarta dan jauh lebih mahal lagi di daerah – daerah terpencil.
Untuk itulah akhirnya Pemerintah di tangan Presiden Jokowi, membangun beragam infrastruktur untuk Papua seperti pembangunan jalan, jembatan dan juga menyeragamkan harga BBM di seluruh Indonesia. Meski beragam upaya pembangunan digencarkan, pemerintah masih tetap harus menjaga Papua agar tidak mudah terprovokasi oleh kelompok separatis.
Manusia tidak bisa jahat karena warna kulitnya. Manusia jahat karena pikirannya dan niatnya. Jika bangsa Indonesia non – Papua mengejek orang – orang Papua dengan sebutan monyet, maka sesungguhnya mereka merasa lebih mulia sebagai makhluk hidup dari orang Papua. Tentu ini sebuah kejahatan.
Dalam konteks Papua, menghina orang Papua dengan sebutan monyet adalah rasisme model lama. Dalam teori Darwin, monyet adalah perkembangan makhluk pada tingkat yang belum sempurna. Artinya, belum mencapai tahapan menjadi manusia. Teori Darwin ini dalam kaitan teori rasisme sering dipakai untuk menjelaskan dominasi kulit putih terhadap kulit berwarna, khususnya kulit hitam.
Presiden pertama Republik Indonesia Ir Soekarno tak pernah beranjak dari seruan “Sabang sampai Merauke” sebagai wujud keutuhan kedaulatan Indonesia. Maka soal Papua adalah harga mati.
Dalam pidatonya yang berjudul “Djangan Ragu – Ragu Lagi”. Soekarno secara tegas mengatakan, Indonesia ialah segenap kepulauan antara Sabang dan Merauke. Ini merupakan dasar legal tuntutan Indonesia atas Papua.
Asvi Warman Adam selaku sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dengan atau tanpa daya pikat kekayaan alamnya, Soekarno tetap akan memperjuangkan Papua. Pasalnya, wilayah tersebut berada dalam lingkup kedaulatan nasional.
Ketua Gerakan Suluh Kebangsaan Mahfud MD mengatakan, Presiden Indonesia sejak era Soekarno hingga Joko Widodo selalu menaruh perhatian kepada rakyat Papua dan tidak pernah menganggap Papua sebagai anak tiri.
Mahfud bahkan mengapresiasi langkah presiden Jokowi yang telah membangun infrastruktur, agar Papua menjadi semakin maju. Bahkan Jokowi mengatakan bahwa membangun Papua bukan karena ingin menang Pemilu, tetapi karena Papua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari NKRI.
Dia mengingatkan agar jangan ada pihak yang mencoba memprovokasi agar Papua berpisah dari Indonesia. Menurutnya tidak ada jalan untuk itu, karena secara konstitusi, tidak ada referendum yang dapat dilakukan oleh suatu daerah.
***
Untuk itu marilah kita menyerukan bahwa Papua beserta seluruh budaya, rakyatnya dan bahasanya adalah bagian yang tak terpisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya Papua adalah Indonesia dan orang Papua adalah orang Indonesia.
Welcome Citizen Polite!
Setelah melalui perjalanan cukup panjang sebagai website warga menulis politik yang ekslusif, kini PepNews terbuka untuk publik.
Para penulis warga yang memiliki minat dan fokus pada dunia politik mutakhir Tanah Air, dapat membuat akun dan mulai menuangan ide, pandangan, gagasan, opini, analisa maupun riset dalam bentuk narasi politik yang bernas, tajam, namun tetap sopan dalam penyampaian.
Wajah berganti, tampilan lebih “friendly”, nafas tetaplah sama. Perubahan ini bukan hanya pada wajah dan rupa tampilan, tetapi berikut jeroannya.
Apa makna dan konsekuensi “terbuka untuk publik”?
Maknanya, PepNews akan menjadi web portal warga yang tertarik menulis politik secara ringan, disampaikan secara bertutur, sebagaimana warga bercerita tentang peristiwa politik mutakhir yang mereka alami, lihat dan rasakan.
Konsekuensinya, akan ada serangkaian aturan adimistratif dan etis bagi warga yang bergabung di PepNews. Aturan paling mendasar adalah setiap penulis wajib menggunakan identitas asli sesuai kartu keterangan penduduk. Demikian juga foto profil yang digunakan.
Kewajiban menggunakan identitas asli berikut foto profil semata-mata keterbukaan itu sendiri, terlebih untuk menghindari fitnah serta upaya melawan hoax.
Terkait etis penulisan, setiap penulis bertanggung jawab terhadap apa yang ditulisnya dan terhadap gagasan yang dipikirkannya.
Penulis lainnya yang tergabung di PepNews dan bahkan pembaca umumnya, terbuka memberi tanggapan berupa dukungan maupun bantahan terhadap apa yang ditulisnya. Interaktivitas antarpenulis dan antara pembaca dengan penulis akan terbangun secara wajar.
Agar setiap tulisan layak baca, maka dilakukan “filtering” atau penyaringan tulisan berikut keterangan yang menyertainya seperti foto, video dan grafis sebelum ditayangkan.
Proses penyaringan oleh administrator atau editor dilakukan secepat mungkin, sehingga diupayakan dalam waktu paling lambat 1x24 jam sebuah tulisan warga sudah bisa ditayangkan.
Dengan mulai akan mengudaranya v2 (versi 2) PepNews ini, maka tagline pun berubah dari yang semula “Ga Penting Tapi Perlu” menjadi CITIZEN POLITE: “Write It Right!”
Mari Bergabung di PepNews dan mulailah menulis politik!
Pepih Nugraha,
CEO PepNews