Para Machiavellian Itu

Di Pilpres 2019 ini ada aroma tumpangan yang disadari dan juga dimanfaatkan Prabowo, dengan sentimen atas SARA dan wacana khilafiah.

Jumat, 17 Mei 2019 | 06:29 WIB
0
877
Para Machiavellian Itu
Prabowo dan Amien Rais (Foto: WowKeren)

Apakah Amien Rais mentor politik Prabowo? Mungkin lebih pas menyebut sebagai cocomeo Prabowo. Sebagai cocomeo, Amien Rais harus memasok teks-teks perlawanan. Agar kemaluan Prabowo tak makin membesar.

Karena kalau kemaluan membesar, makin repot mau disalurkan ke mana? Titiek Soeharto makin jelas posisinya, semakin menjauh bagai puisi Chairil Anwar, cintaku jauh di php. Apalagi Titiek Soeharto gagal melenggang ke Senayan dengan Partai Berkarya asuhan Tommy Soeharto, yang juga electoral threshold-nya tak terpenuhi.

Menuding lawan curang, tak menerima hasil pertandingan (karena dianggap curang itu), adalah hal klasik jika datang dari pihak yang kalah. Karena itulah diberi nama pecundang. Menurut Mbah Kyai Socrates dari Yunani, “Ketika kalah dalam debat, fitnah menjadi alat bagi pecundang.”

Mengapa Prabowo harus melakukan “itu” semua? Karena hanya itulah cara menutupi kemaluan atas kekalahan. Dari sejak awal ketika maju lagi, setelah kalah dari Pilpres 2014, dan bertemu lagi dengan Jokowi, kemenangan bagi Prabowo adalah mustahil. Makin tidak sebanding karena Jokowi adalah pertahana. Gimana pun, jauh panggang dari api.

Baca Juga: “Ten Years Challenge” Amien Rais, Perubahan Wajah "Sang Reformis"

Apalagi selama lima tahun, perkembangan Prabowo cuma ‘memajukan’ jadwal ‘penarikan saksi’ lebih cepat dari Pilpres 2014 lalu. Waktu itu, tuntutan Prabowo juga sama, meminta KPU mendiskualifikasi capres lawan, dan menuding pemilu curang serta tak mau mengakui hasilnya. Kemajuan lainnya, dalam pilpres kali ini Prabowo berani ngeklaim sebagai pemenang, meski dikoreksinya lagi dari 62% ke 54%.

Ngeklaim menang tapi menuding Pemilu (atau Pilpres) berlangsung curang. Menuding curang dan banyak pelanggaran, tapi nggak mau menggugat ke MK (Mahkamah Konstitusi) sebagaimana bunyi aturan main atau UU Pemilu, yang dibuat parlemen. Dan masih banyak kelucuan yang komedian Indonesia paling lucu pun tak sanggup menyaingi.

Andi Arief memuji langkah Prabowo yang tidak akan melakukan ‘aksi kekerasan’ sebagai bijaksana. Betapa hebatnya cap ‘bijaksana’ di jaman post-truth ini. Karena jika benar bijak, Prabowo semestinya ikuti aturan, prosedur hukum dan UU. Bukannya main ancam dan tuding. Akan lebih bijak lagi, jika waktu beberapa lembaga survei mengumumkan hasil quickcount, Prabowo langsung lempar handuk dan ngasih proficiat pada Jokowi.

Tapi jalan yang ditempuh makin gelap dan lucu. Baik karena gelap maka lucu, maupun karena lucu maka gelap. Senyampang itu, Amien Rais yang mewacanakan people power pertama kali, berkait hasil Pemilu Serentak 2019, kini mengganti nama dagangan menjadi ‘kedaulatan rakyat’. Itu setelah dagangan ‘people power’ tidak laku atau direduksi militansi palsu para pelakunya.

Meski doktor politik, cocomeo politik lulusan AS ini disertasinya mengenai politik Timur Tengah. Jadi kalau analisisnya masih ngigau dengan fenomen-fenomena negara tempat Rizieq Shihab mendekam, bisa dimaklumi. Dimaklumi kalau banyak ngawurnya untuk diterapkan di Indonesia.

Amien Rais jelas menghina rakyat Indonesia, yang 80% dari pemilik hak suara dalam Pemilu Serentak 2019 kemarin, sudah menunjukkan kedaulatannya pada 17 April 2019. Itu dalam rangka mereka memberi mandat yang ditunjuknya untuk duduk di parlemen dan pemerintahan (presiden). Dan dari kedaulatannya itu, dalam pilpres di atas 50% memilih Jokowi, di bawah 50% memilih Prabowo. Meski cuma selisih 1%, tetap saja yang kalah tersingkir, yang menang dilantik.

Itu setidaknya hasil sementara dari 80% suara masuk dari situng realcount KPU. Jumlah itu, dipastikan stabil, dan berapa pun perolehan sisa suara untuk Prabowo, tak akan menggoyahkan angka suara untuk Jokowi. Itu karena kita konyol-konyolan ngikuti otak parno, yang sebenarnya bukan tak mengakui quickcount lembaga survey, melainkan tidak mengakui kekalahannya. Toh PKS percaya hasil quickcount, karena partai itu selamat dari ancaman delegitimasi publik.

Selain sikap PKS yang diam-diam berbeda dengan Prabowo, Demokrat dan PAN pun sudah goyang dangdhut imannya. Mereka lebih terang-terangan bersikap kritis pada Prabowo, dan mengambil jarak. Kini Prabowo hanya dikelilingi orang-orang yang menginisiasi ijtima ulama untuk pencapresannya dulu.

Itu pendukung inti Prabowo, yang selama ini (juga dimanfaatkan PKS) dengan isu ‘ganti Presiden’ dan agenda lainnya yang bau-bau khilafah sebagai penyumbang terbesar suara Prabowo. Pilpres 2019 ini memang ada aroma tumpangan, yang disadari dan juga dimanfaatkan Prabowo, dengan sentimen atas SARA dan wacana khilafiah yang memperhadapankan agama (Islam) dengan nasionalis sekuler.

Meski dalam pidato kemarin (14/5) Prabowo mengatakan tidak ambisius, sudah lelah, rasanya Prabowo tidak konsisten, untuk mengatakan tidak jujur. Ia sangat ambisius, dan machiavelian sebenarnya.

Baca Juga: Amien Rais dan Malaikat-malaikat Pendoa

Track recordnya sejak menjadi prajurit hingga diberhentikan (1998), menjelaskan hal itu, dan tidak jelas dibantahnya. Oleh ambisi masing-masing, ditambah Amien Rais, Prabowo agaknya juga tidak peduli dengan akibatnya, ketika membuka kotak pandora politik identitas, yang terang-terangan juga diwacanakan Amien Rais.

Menurut Robert Kiyosaki, motivator sohor itu, kegagalan menginspirasi pemenang. Tapi, katanya, kegagalan menghancurkan pecundang. Dan itu tahap berikutnya yang akan dituju, oleh mereka yang tak malu-malu jika kemaluannya membesar. Tapi loyo.

@sunardianwirodono

***