Banyu Mili Menduwur

Mereka tak mau berkaca kalau Gus Dur saja yang sedemikian kuat basis massa, akar kerakyatan, modal kecerdasan, ketulusan hati bisa mudah dijungkalkan. Bersedia turun dan tak ingin kembali.

Senin, 11 Mei 2020 | 06:27 WIB
0
303
Banyu Mili Menduwur
Ilustrasi gangster (Foto: amazon.com)

Dua tokoh, yang kemudian membesar menjadi dua keluarga, atau dua gank yang paling tidak ingin saya tulis lagi adalah AB dan SBY. Menuliskan nama panjangnya saja saya sudah malas. Tapi apa boleh buat saya harus melakukannya. Kali ini sekaligus saja....

Perilaku keduanya bagi saya sesungguhnya sudah tak lebih dari gaya dan karakter gangster. Tolong dicatat gangster dan bukan mafia. Terlalu jauh menyebut mereka mafia, dan kalaupun iya mereka seperti itu, pasti akan cepat dibantah. Bedanya mafia dan gangster, pada konteks cara mereka membangun patronase ke bawah.

Mafia berakar pada kesetiaan dan jangka panjang, sedang gangster lebih pada ketaatan berjangka pendek. Gangster punya kendali di atasnya, ia tak lebih anak wayang dan boneka. Sedang mafia sebaliknya, merekalah yang bercita-cita dan berperilaku jadi pengendali, hingga harus selalu bekerja di balik layar.

Persamaannya, lebih pada mereka selalu punya target dan musuh yang sama: apa yang disebut kelompok penguasa yang ada di atasnya. Karena itu, mereka tidak pernah betul-betul menjadi "sangat berkuasa", tapi selalu membuat resah, gaduh, dan kontra-produktif. Dan jangan lupa ganster sebetapa pun buruknya perilaku mereka, selalu punya pendukung. Sekriminal apa pun tindakan mereka, selalu ada sisi pembenaran, sekaligua ada pembelanya.

Hal ini bisa dipahami karena filosofi yang mereka gunakan adalah watak air. Ke atas mereka terus menyembur, ke bawah mereka terus mengalir. Dan ia sendiri merasa diri adalah waduk, wadah yang ingin makin membesar.

Catat sekali lagi beda antara danau dan waduk. Danau bisa terjadi secara alami, tapi waduk tentu by design. Seberapa pun desa, sawah ladang, atau hutan hilang mereka tenggelamkan untuk kepentingan itu. Mereka tidak akan peduli. Seberapun besar rakyat harus berkorban dianggap sebagai ongkos perjuangan.

Anda tahu arti waduk dalam bahasa Sunda? Waduk itu t*hi, sedang istilah ngawaduk bermakna membual, tukang bohong. Cocok buat mereka. Dalam khazanah budaya Jawa, waduk lebih buruk lagi nalarnya. Ia bermakna egoisme, kemaruk, keserakahan. Lagi-lagi cocok buat mereka...

Cukup lama saya membutuhkan waktu untuk memahami perilaku AB dan keluarga SBY ini. Antara keduanya sebenarnya punya ciri dan watak yang sama: keduanya lone ranger. Seorang yang sesungguhnya tak banyak teman, tapi pandai memanfaatkan pertemanan. kalau tidak ingin memanipulasi dan membayar dukungan. Mereka (pejuang yang) bekerja sendirian. Ini menjelaskan kenapa keduanya tampak tangguh di permukaan, tapi sesungguhnya sangat rapuh bila kemudian dikuliti secara lebih mendalam.

Dalam kasus AB sangat jelas, walau tampak banyak pendukungnya. Tapi pendukugnya adalah kelompok berbayar. Ia sendiri, tak akan mungkin bergabung secara resmi dalam satu partai tertentu, karena sifat dasarnya memang parasit. Ia lebih suka mendompleng pada apa yang sudah jadi dan siap pakai.

AB adalah seorang oportunis sejati! Dengan ciri paling dasar gampang menghalalkan segala cara, tidak terlalu peduli kata orang di luar dirinya, ndableg dan tak kenal lelah. Terhadap oportunis seperti dia, orang lain (yang berseberangan dengan dirinyalah) yang akan jauh lebih mudah lelah. Dalam falsafah Jawa, ia menggunakan ilmu banjir bandang, sefara asat. Menghabisi musuhnya dengan membuatnya lelah tak berdaya.

Ia barang kali belajar banyak dari Boris Yeltzin seorang oportunis sejati Russia yang melulu berjuang demi dirinya sendiri. Dia tidak peduli bahwa akhirnya negara sebesar dan sekuat seperti Uni Soviet akhirnya hancur berkeping-keping. Hanya demi ambisi untuk bisa jadi penguasa tertinggi!

Sedang SBY, tentu karena usia dan juga ruang geraknya lebih luas. Ia tentu butuh dan memiliki kendaraan sendiri. Dengan cara yang lagi-lagi khas kaum oportunis. Tidak perlu rumit bikin platform baru. Cukup contek sana, comot sini. Jadilah ia punya partai yang namanya sendiri gampang familiar, karena selain menjadi epigon, sekaligus patron dari induknya di AS. Maka tak heran ia sering dijuluki sebagai American Boys, bebeknya Amerika.

Perpaduan antara dukungan dari luar tersebut di atas, dari tentu dari dalam melalui bapak (sesungguhnya) yang berkuasa secara otoriter selama 32 tahun itu. Membuatnya mampu bertahan selama 10 tahun berkuasa. Apa yang dipahamai secara subyektif oleh dirinya sebagai "sebuah sukses". Menunjukkan bahwa sukses pribadi itu sama sekali berbeda dengan prestasi obyektif secara naional, apalagi internasional. Walau sesungguhnya dua periode kepresidenan di bawah dirinya adalah perpanjangan waktu 32 tahun yang lebih parah itu.

Banyak momentum terbaik hilang, bahkan secara sosial politik jauh lebih buruk. Itu legacy hancur-hancuran yang ditinggalkan. Ya sekali lagi justru dipahami secara sepihak sebagai sukses. Sukses endasmu semplak!

Kedua-dua tokoh ini memiliki pola gerak yang sama yaitu bermain playing-victim. Selalu mendudukkan dirinya (seolah) jadi korban. Cara paling gampang untuk menuai simpati publik, tentu dengan cara membayar mahal media untuk membuatkan framing-nya. Karena itulah cara yang paling gampang untuk terus merangsek naik ke atas. Bagi keduanya sesungguhya sejenis rebound, balik lagi! Karena mereka merasa pernah ada di situ, geer menganggap diri lebih pantas, dan (jelas) ingin kembali lagi ke sana.

Dalam konteks inilah mereka menggunakan falsafah Jawa yang disebut sebagai banyu mili menduwur. Air mengalir ke atas. Semua orang tentu akan melihat, bahwa berdasarkan reputasi (baca: track recordnya): hal tersebut mustahil. Untuk itu cara sederhana ia gunakan adalah berperilaku sebagai petugas damkar (pemadakam kebakaran) menyemprotkan air terus ke atas. Ada atau atau tidak ada kebakaran. Tapi selalu meggangap ada kegentingan.

Tentu butuh biaya besar dan usaha keras. Mereka akan terus menggunakan banyak isu, seremeh apa pun. Berseteru dengan siapa pun. Tapi dengan satu target tetap. Dalam hal ini Jokowi sebagai musuh bersama mereka.

Bedanya barangkali: kalau AB untuk mencoba peruntungan naik ke atas. Ke tampuk kekuasaan tertinggi, sekecil apa pun kans-nya. Sedang bagi SBY (dan keluarganya), karena sudah jauh lebih mustahil. Minimal tak diutak-atik berbagai kasus hukumnya di masa lalu....

Sebagai orang Jawa (baca Kejawen), perilaku AB maupun SBY itu menggelikan, sekaligus lebih mengundang rasa iba dan kasihan. Mereka sama sekali tidak mau belajar dari seorang bapak bangsa seperti Gus Dur. Yang berprinsip mulia untuk tidak bersedia mengejar atau mempertahankan kekuasaan dengan prinsip segala cara.

Mereka tak mau berkaca kalau Gus Dur saja yang sedemikian kuat basis massa, akar kerakyatan, modal kecerdasan, ketulusan hati bisa mudah dijungkalkan. Bersedia turun dan tak pernah ingin kembali. Karena ia menyadari bahwa kekuasaan itu di luar ironik sekaligus tragik.

Lah kalian (berdua) itu siapa? Kalian itu hanya boneka (atau gangster) yang harus selalu "membayar, berisik dan manipulatif" untuk sekedar bisa terus tampil di panggung.

Kuatmu sampai kapan, melawan kehendak alam...

***